Suku Maya
Aku akan dibumbui dengan rempah-rempah, lalu dimakan oleh monster Tuhan paling sempurna, dan akan menjadi benda lembek yang berbau. Namun, sebelum semua itu terjadi Aku akan mendongeng untukmu di tengah kerumunan makhluk yang menjemput kematiannya sendiri.
Aku akan mendongeng suatu cerita kehidupan yang diharap bisa sampai ke kuping dan masuk ke otak monster-monster itu tanpa keluar dari kuping sebelahnya. Kumohon jangan tertidur, Aku hanya ingin bermanfaat.
*
Di sebuah desa di hutan bumi, pada suatu malam yang gelap tak lama sehabis meredanya hujan lebat yang ditemani kilat, Aku dan dua saudaraku terlahir. Kata Ibu bentuk kami masih belum sempurna, tidak punya kedua kaki, mulut, dan bahkan matapun belum kami miliki. Ibu terus memeluk kami, memberikan kehangatan, dan kesabaran sampai kami menjadi anak yang memiliki fisik yang sempurna, selama itu pula Ibu mengurangi rasa bosannya dengan menghitung berapa kali matahari terbit. Katanya Ibu sangat tidak sabar menanti kami.
Saat masih dalam keadaan belum sempurna, Aku yang hanya bisa merasakan kehangatan Ibu dan kesempitan ruang ketidaksempurnaanku. Setiap hari ?Aku tidak tahu waktu pagi atau malam? Kami selalu didongengkan oleh Ibu tentang monster yang sangat rakus dan tamak.
Kata Ibu, monster-monster itu telah memenggal kepala ayah hanya karena mencium kaki seorang anak monster. Rasanya aku ingin cepat keluar dan membalas dendam pada monster-monster itu, tetapi kata Ibu mereka adalah “makhluk” Tuhan paling sempurna, jadi makhluk-makhluk kecil seperti kami harus pasrah.
Oiya kata Ibu, Tuhan itu makhluk yang baik, karena membuat kami hidup menjadi anak Ibu. Tuhan juga menciptakan matahari yang menyinari bumi dan menemani ibuku dengan cahayanya. Aku jadi ingin cepat-cepat berfisik sempurna dan juga ingin melihat cahaya matahari.
*
Huh tunggu sebentar ya, padahal sedang mengantre tetapi malah berdesak-desakan. Sepertinya hanya Aku disini yang memiliki otak cerdas dibanding makhluk-makhluk sejenisku. Tunggu sebentar, Aku akan keluar dari kerumunan ini dan mengalah, Aku akan mengantre ke belakang.
Huh, maaf kak permisi mau lewat, huh…
Dorong sana dorong sini, sikut sana sikut sini.
Perjuangan untuk mendapatkan oksigen memang sulit, tunggu sebentar ya!
Debukk
Gadebukk
Bukk
Ahh, akhirnya aku bisa bernapas. Aku kira akan mati sesak nafas dan terinjak oleh makhluk sejenisku. Oke, Aku akan lanjutkan dongengku saat Aku sudah memiliki fisik sempurna. Hei, jangan dulu kamu memejamkan mata! Kumohon jangan tertidur, Aku hanya ingin bermanfaat.
*
Di bawah pohon mangga, Aku dan Ibu memakan buah mangga yang sangat manis sekaligus merasakan semilir angin yang menyejukkan badan dan sepertinya juga menenangkan hati Ibu. Akhir-akhir ini Ibu merasa murung, karena kehilangan dua anaknya. Saudara pertamaku mati karena tidak bisa beradaptasi dengan cuaca ekstrem ?badai hujan dan angin kencang? membuatnya sakit flu dan selalu bersin-bersin, lalu saat matahari hadir ia sudah tidak bernapas.
Lalu saudara keduaku mati dibunuh makhluk bengis yang mulutnya selalu saja bercakap tidak jelas, selalu mengeluarkan lidah panjangnya. Sejak saat itu Ibu menyuruhku untuk tidak bermain dengan anak makhluk itu. Jadi, bagaimana mungkin seorang Ibu tidak akan murung?
Setiap embun mulai jatuh ke tanah, Ibu selalu berdoa pada Tuhan agar Aku tidak mati dalam kesia-siaan. Aku harus bermanfaat sebelum kematian datang. Setiap embun yang jatuh Ibu terus berdoa seperti itu hingga tidak ada lagi embun yang menetes. Sejak saat itu Aku selalu bertanya, “Harus bermanfaat kepada siapa Aku ini?”
Saat bulan mulai hadir di langit, angin malam makin dingin, dan para jangkrik hutan mulai bernyanyi aku memutuskan untuk bertanya pada Ibu.
“Apa tujuan Tuhan menghidupkan Aku?”
Ibu menjawab pertanyaanku, “Agar kamu bermanfaat bagi makhluk Tuhan lainnya.”
“Jadi, apakah Ayah bermanfaat sebelum terpenggal? Apakah saudara-saudaraku bermanfaat sebelum ajal menjemput mereka?” tanyaku sambil membuat tempat tidur untuk kami berdua.
Namun Ibu hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Beberapa waktu suasana hening, hanya suara angin yang terdengar pada kupingku. Aku mulai tertidur. Namun aku mendengar suara bisik Ibu yang berkata Aku tidak boleh mati sia-sia.
*
Wahhhh… cepat sekali. Sedikit lagi adalah giliranku. Sepertinya mau Aku mengantre paling depan atau paling belakang pun semua makhluk akan mendapat gilirannya untuk bertemu dengan mati. Oiya, mau main tebak-tebakan? Aku akan dibumbui rasa pedas atau rasa asin ya?
Baiklah, sebelum Aku menemui ajalku, Aku akan memberitahu dirimu. Kumohon jangan menguap dahulu! Tinggal sedikit lagi! ahh, matamu sudah merah mengantuk, apakah kamu begadang tadi malam? Aku ingin kamu mendengarkan dongengku sampai selesai dan meneruskan dongengku kepada monster-monster paling sempurna itu.
*
Di desa di hutan bumi, pada suatu hari yang terik, matahari membunuh Ibu. Apakah cinta Ibu pada matahari mulai berkurang? Padahal dulu yang menemani Ibu setiap bosan harus memeluk kami berhari-hari adalah matahari. Dulu kata Ibu matahari menyehatkan tetapi saat ini bahkan monster-monster itu juga banyak yang dibunuh oleh matahari.
Aku melihat para monster-monster itu kesakitan, beberapa dari mereka berbadan kurus tertinggal tulang berselimut kulit. Aku mulai berpikir, badan mereka menjadi mengkerut masih lebih baik badanku yang berisi dan bertenaga. Aku berpikir untuk membuat monster-monster itu menyesal bersifat egois di bumi. Ya, Aku mulai menuju tempat mereka dengan berani!
Namun sial, Aku terkena perangkap buatan mereka! Salah satu kakiku terikat ke atas pohon, aku bergelantungan terbalik. Aku bisa melihat wajah girang para monster itu. Wajah-wajah mereka Bahagia, mulut mereka menyeringai kelaparan terlihat dari air-air liur yang banjir. Mata mereka berapi seperti siap memanggangku hidup-hidup.
Sebelumnya dari jauh kukira badan mereka lemah tak berdaya, ternyata tidak. Sifat rakus menguasai kepala-kepala mereka. Salah satu mahkluk itu memotong tali yang mengikat salah satu kakiku dan lainnya menangkapku mengadahkan tangan mereka untuk menangkapku. Sial, Aku akan mati dengan tidak bermanfaat.
Ya, disinilah Aku sekarang. Di penjara yang sempit ini aku akan menemui ajalku. Tanganmu seperti ingin bersalaman denganku. Aku sangat berterima kasih meskipun kamu hanya mendengar saja. Tapi sebelum itu setidaknya Aku telah bermanfaat mendongeng sebuah cerita untukmu agar dirimu tidak merasakan kejamnya cahaya matahari saat ini. Tanganmu sepertinya benar-benar ingin bersalaman denganku. Maaf aku tidak sempurna, aku tidak punya tangan seperti dirimu.
“Ah, tanganmu kenapa terus melambai ke depan wajahku?”
“Ah, Aku paham, kamu ingin tangan kecilmu itu ku cium ya?”
Aku mulai mendekatkan wajahku ke telapak tanganmu perlahan-lahan, lalu ku cium dengan sangat lembut tanganmu itu. Sebelum kulepaskan bibir ini pada tanganmu Aku hanya ingin mengeluarkan rasa penasaranku.
Aku tidak tahu apakah kematianku nanti akan bermanfaat atau tidak. Maukah kamu sebutkan apa manfaatnya Aku hidup, dari Aku kecil hingga sudah hampir dewasa seperti ini, wahai monster kecil yang mendengar dongengku?
*
“Matokkkkk… matok tangan bayi saya!”
“Tolong, pak!”
ucap Ibu yang sedang mengajak main anaknya di sekitar belakang rumahnya.
“Kan sudah dibilang jangan dekat-dekat!”
“Cepat obati bayimu!”
“Biar saja makhluk ini akan ku penggal dan nanti kau masak biar kenyang kita!”
Ucap Bapak sambil mencekik leher makhluk ?baru didapat dari pinggir desa? yang akan dipenggal.
Penulis: Dewi "Sanovsa" Novitasari, merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Memiliki hobi membaca lingkungan dan menuliskannya secara imajinasi. Saat ini penulis berkegiatan di UKM Belistra.