Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Jan 03, 2021

Surat Kecil untuk Tuan dan Puan

Di hari pertama sekolah, Reinanda sangat antusias menyambut tahun ajaran baru, pelajaran yang baru dan kenalan yang baru. Reinanda atau sering disapa Adda, adalah Siswa SMP yang baru beranjak dari SD, Adda adalah seorang anak Piatu yang hanya hidup berdua bersama Bapaknya di gubuk kecil yang bersebelahan dengan sawah yang di garap oleh bapaknya.

Bapaknya pun hanyalah seorang buruh tani dan cuma lulusan SMA, dia sempat mengenyam bangku pendidikan tinggi, namun karena terkendala persoalan biaya dia harus di drop out dari universitas.

Ditengah kondisi pandemi Covid-19, yang mengharuskan Adda belajar secara online. Ibe Patiroi, Bapaknya, harus mencari penghasilan tambahan untuk membelikan Adda sebuah hp, agar Adda bisa ikut dalam proses pembelajaran.

Setelah seminggu Adda harus absen dalam pembelajaran, bapaknyapun membelikannya sebuah hp dengan harga 400 ribu, hp yang Cuma bisa hidup ketika di cas, layarnya sedikit retak dan kameranya sudah tidak berfungsi dengan baik. Dengan senang hati penuh senyum Adda menerimanya.

Adda seorang anak yang rajin. Ia sangat suka membaca, menulis, dan kadang menggambar untuk menghapus kesendiriannya dikala ayahnya pergi ke sawah. Sehabis makan malam Ibe kadang berangkat kembali ke sawah untuk mengatur perairan sawah yang digarapnya, kadang juga hanya mencari belut untuk di santap bersama anaknya.

Sementara itu Adda sibuk membaca satu demi satu buku-buku koleksi ayahnya. Buku favoritnya adalah Bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Adda sangat jatuh cinta dengan sosok Minke, menurutnya kata-kata Minke dalam Bumi Manusia sangat keren, dan tak pernah ia jumpai kalimat-kalimat sekeren itu dalam dunia nyata.

Malam yang suntuk dan jam sudah menunjukkan pukul 11.00, Ibe pulang dari sawah membawa beberapa ekor belut yang masih hidup, kaki yang masih berlumpur melangkah ke kamar Adda, dan Ibe mendapati Adda yang masih duduk, sibuk mengeja titik-titik aksara Bumi Manusia.

“Adda’ kenapa belum tidur?
Tanpa berbalik Adda menjawab “sedikit lagi Pa,,”

Dengan masih memegang ember yang berisi belut, Ibe melangkah mendekati meja baca Adda dan dilihatnya Adda sibuk membaca buku, tangan kiri Ibe mengelus kepala Adda dan tangan kanannya masih memegang ember berlumpur itu.

“Buku apa yang kau baca sayang?”, Tanya Ibe
“Bumi Manusia Pa.. karya Pramoedya Ananta Toer” jawab Adda dengan masih dielus-elus.

Tanpa suara Ibe beranjak dari kamar Adda untuk membersihkan lumpur yang masih menebeng di betisnya itu.

Dua gelas teh diletakkan Ibe di balai-balai depan rumahnya serta memanggil Adda yang masih membaca di kamarnya. Nampak wajah semangat riang yang menunjukkan tidak adanya rasa kantuk yang di rasakan Adda, di letakkannya buku itu di pangkuannya, di antara mereka dua gelas teh.

Adda sibuk meniup-niup teh buatan Bapaknya itu sementara Ibe sibuk menggulung cerutu. Obrolan di mulai saat Ibe selesai menggulung cerutu dan mulai membakarnya, hisapan pertama dan kemudian dihembuskannya ke udara yang di peluk petang.

“Cita-citamu apa nak?”
Adda berhenti membaca dan berpaling ke pertanyaan Bapaknya

“Tidak tau Pa.. saya mau pintar, rajin, punya sawah dan ladang sendiri seperti Nyai Ontosoroh, saya juga mau bebas seperti Minke’, tidak diperintah, tidak memerintah” jawab Adda

“Wahh.. hebat kamu nak, apa yang bisa engkau lakukan untuk itu.? Punya ladang yang luas dan hidup bebas seperti Minke?. Sedangkan kamu tau,? Penulisnya saja Pramoedya Ananta Toer dipenjara, dan buku itu. Buku yang kau pegang itu, buku itu ditulisnya saat dia dipenjara di Pulau Buru, juga buku itu sempat dilarang untuk di baca apalagi di sebarkan” Ibe Menerangkan sambil menikmati cerutunya

“Kenapa bisa begitu Pa..? buku sekeren ini harus dilarang begitu?” Tanya Adda dengan sambil batuk-batuk, dan di teguknya kembali teh hangatnya.

Sapuan angin malam membuat Adda dingin dan sedikit batuk-batuk, ditambah sekarang musim hujan dan membanjiri beberapa daerah di belahan pulau Sulawesi.

“Sudah nak, panjang ceritanya, engkau belum bisa paham, sekarang kau fokusnya belajar saja dulu, biar pintar, biar kelak seperti Minke’ atau Nyai Ontosoroh” seru Ibe sambil berdiri dan matanya mengawasi ayam peliharaannya.

“ceritakan saja Pa.. ayo ke kamarku ceritakan, aku anggap saja itu dongeng biar cepat tidur.”

“ah sudah masuklah saja, kapan-kapan bapak ceritakan. Masuklah nak, sudah tengah malam, takutnya nanti kamu sakit!”

Adda menghabiskan teh nya dan dengan memeluk buku Adda melangkah masuk ke kamarnya, masih terngiang di kepala Adda kalimat yang di ucapkan oleh Bapaknya, obrolan singkat yang diwarnai minum teh itu membuat kepala Adda melahirkan berjuta tanya, “kenapa bisa buku favoritku ini, yang keren ini bisa dilarang? Apa salahnya?”. Ini bukan kali pertama Adda bingung terhadap sesuatu.

Pernah sewaktu Adda ujian kenaikan kelas, salah seorang temannya pergi liburan bersama sanak keluarganya dan mengunjungi beberapa Negara di dunia, alhasil temannya itu absen dalam ujian kenaikan kelas. Hal yang membuat Adda Bingung adalah bagaimana mungkin kawan sekelasnya itu bisa naik kelas?

Sedangkan dia tidak ikut ujian. Pertanyaan itu sempat diutarakannya ke gurunya, namun gurunya hanya diam tanpa sepatahkata pun. Pertanyaan itu baru terjawab saat penerimaan raport kenaikan kelas, seluruh orang tua murid di undang, dan kawan yang pergi liburan itu membawa ayahnya yang tidak lain adalah anggota Dewan di daerahnya sekaligus pemilik yayasan yang membantu biaya sekolah Adda.

Sepulangnya dari penerimaan raport, Adda baru menceritakan itu kepada Ibe Patiroi. Ibe hanya tersenyum dan menjawab dengan santai, “Begitu sudah biasa nak, yang begitu sudah ada saat bapakmu ini masih kecil seperti Adda, diamkan saja nak, kan dia baik membiayai separuh biaya sekolah Adda?, diamkan saja nak. Belum waktunya Adda mengurus seperti itu. Adda cukup fokus saja belajarnya.”

Pagi yang cerah menyapa, kicauan burung menyambut dengan riang. Tak ada tanda-tanda hujan akan mengguyur. Ibe baru saja membuatkan sarapan untuk Adda. Telur dadar, tumis kangkung dan nasi hangat. Adalah hidangan favorit keluarga itu. Dan hidangan itu menjadi hidangan setiap harinya, kadang telur di ganti tempe atau tahu kadang belut atau ikan.

Hanya pada waktu panen dan hari raya saja mereka bisa menyantap daging. Sehabis menyiapkan sarapan Ibe memakai baju dinas hariannya, baju hasil pembagian bergambarkan foto caleg dan lambang partai, lengkap dengan mottonya.

Baju yang sedikit kekuning-kuningan karena setiap hari bermandikan lumpur ini menjadi baju kebanggaannya, sebab lewat baju yang selalu menemani kesehariannya ini, dia bisa memberi makan anaknya dan orang lain. Diambilnya cangkul dan racun hama kemudian berjalan kaki menyusuri jalan setapak persawahan.

Pekerjaan Ibe di sawah tidak begitu sulit, hanya saja dia harus bertarung dengan teriknya matahari dan punggung yang sering kali pegal karena harus tunduk untuk mencabut rumput. setelah mencabut rumput dia kemudian menyemprotkan racun pembasmi hama, agar supaya padinya bisa tumbuh dan bisa menghidupi masyarakat Indonesia.

Pada pertengahan hari waktu yang riang bagi para petani, masing-masing saling berbagi bekal, duduk bersama, tertawa bersama, dan makan bersama.

Dari kejauhan nampak Adda sedang berjalan di tengah persawahan yang luas, tersenyum kepada bapaknya memperlihatkan giginya yang putih. Adda memang anak yang cantik dengan matanya sekaligus manis dengan senyumnya, posturnya tinggi dan rambutnya yang terurai panjang membuatnya terlihat lebih anggun. Stamina bapaknya terasa pulih kembali menjumpai anak yang sangat dia sayangi.

Adda duduk di samping bapaknya, dielus-elusnya kembali kepala Adda dengan penuh kasih sayang.

“Bagaimana pelajarannya nak?” tanya Ibe sambil mengelus kepala anaknya.
“Baik Pa.. tadi ada tugas dan sudah ku kerjakan, tugas PPKN Pa.. Bu Guru memberikan soal tentang Kemerdekaan Indonesia. Karena katanya berhubung sudah mendekati 17 Agustus. Cuman ada satu soal yang buat aku bingung Pa, jawabannya tidak ada di buku bacaan”

“Apa nak?” tanya bapaknya dengan singkat

“Pertanyaannya begini Pa. Apa yang kamu berikan untuk Indonesia?, saya tidak tau apa jawabannya Pa.. jawabannya hanya kuceritakan tentang Papa… papa yang baik, papa yang memberi makan banyak orang-orang di Indonesia, itu saja Pa,, saya tidak tau apa yang saya beri untuk Indonesia, bahkan belum ada yang saya beri untuk Indonesia Pa… apa yang Indonesia mau sih Pa…? Indonesia kan sudah merdeka. Kenapa Bu guru menyuruh kita berikan sesuatu kepada Indonesia Pa?”

Sambil tertawa terbahak-bahak Bapaknya menjawab, “nak… kamu belajar saja dulu yang rajin, sekolahnya yang rajin, dan juga selalu senyum. Ahh itu hal yang terkeren untuk Adda berikan kepada Indonesia nak!”

“Memangnya Indonesia mau Adda senyum Pa?” Tanya Adda sambil tersenyum menahan giginya nampak.
“Iya dong anak Bapak kan manis, Indonesia pasti maulah” jawabnya dengan nada bercanda

Adda hanya tersenyum, tanpa balasan kata, sambil terus memegang buku bapaknya itu. Tidak berselang lama obrolan kembali di mulai dengan Adda melontarkan pertanyaan tentang dilarangnya buku-buku keren Pramoedya Ananta Toer.

“Pa… kenapa buku-buku Pram yang keren ini pernah dilarang?”

“Ooo.. buku-buku itu memang pernah dilarang oleh pemerintah sebab pada waktu itu Pram sebagai penulisnya dituduh terlibat anggota Partai Komunis Indonesia, Pram juga dituduh berkhianat menjual Negara Indonesia ini ke Republik Rakyat Cina. Jadi pada waktu itu Pram juga sempat diteror, rumahnya di lempari oleh beberapa orang. Sebab dia di tuduh PKI, bukan hanya dia, karya-karya Pram lainnya di cap mengandung unsur-unsur PKI. Pram di tuduh PKI karena Pram pernah aktif di organisasi, namanya Lembaga Kebudayaan Rakyat, Lembaga itulah yang sangat dekat dengan PKI bahkan, ada beberapa orang-orang penting di PKI sebagai pendiri Lembaga ini, tau kau apa itu Lembaga nak?”

“Tidak Pa..”
“Lembaga itu seperti OSIS di sekolah mu, seperti Organisasi begitu”
“Ohhh, kan bagus Pa.. Bu guru juga suruh kita untuk aktif di organisasi!”. Seru Adda dengan sedikit mengangguk.

“Memang bagus nak..! bagus sekali, cuman pada waktu itu, waktu zaman Pram masih hidup, ada beberapa organisasi yang dilarang oleh Pemerintah pada waktu itu. Organisasi itu dilarang karena menurutnya organisasi itu hanya menentang pemerintah saja, tidak memberikan untung bagi pemerintah, Organisasi itu hanya membuat kekacauaan saja bagi pemerintah. Makanya organisasi itu dilarang. Bahkan waktu Pram hidup dan aktif menulis dia dipenjara, di penjara itulah dia menulis buku yang kau pegang itu, walau beberapa kertas tulisannya sempat di bakar, dihilangkan, dilarang untuk di baca. Yahh begitulah nak dulu, waktu Pram masih hidup, waktu Bapak belum lahir”.

Adda hanya mengagguk sambil memberi ekspresi kurang paham penjelasan Bapaknya.

10 Agustus, setelah semua pekerjaan sawah telah diselesaikan oleh Ibe. Dia mengajak anaknya untuk ke pasar mencari penjual bendera dan umbul-umbul. Adda sangat bersemangat, sebab dia dengan Bapaknya akan berangkat ke pasar untuk membeli buku tulis, beberapa buku bacaan, dan juga bendera.

Untuk kemudian dikibarkannya di depan rumahnya dan di balai-balai persawahan tempat peristirahatan para buruh tani. Setelah pelajaran dan tugasnya selesai siang harinya, merekapun berangkat bersama, meggunakan becak yang kadang digunakan Ibe untuk mengangkut kayu bakar.

Sesampainya mereka di pasar, mereka pertama kali mengunjungi pedagang bendera dan umbul-umbul. 20 ribu rupiah cukup untuk mebeli dua lembar bendera dan selembar umbul-umbul. Ibe mendapat uang lebih yang dihasilkannya dari menjual 3 rak telur ayam kampung.

Keluarga kecil itu pun melangkahkan kaki menuju penjual buku-buku, disana ragam buku-buku di tata rapi untuk didagangkan, seperti buku bacaan undang-undang, ada kitab suci Al-quran, buku-buku agama, ada pula buku tentang siksa neraka. Tapi Adda hanya tertarik dengan buku-buku sastra dan juga buku-buku yang berbau sejarah.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi sampainya mereka ke penjual buku, perhatian Adda teralih dan tertuju kepada Ibu Pengemis yang sedang menenankan anaknya yang sementrara itu menangis kencang, mungkin karena anaknya lapar, atau hanya kepanasan. Dengan melepas geggaman Bapaknya, Adda berlari dan diberikannya senyum manis ala Adda dan juga 2 koin pecahan 1000 Rupiah. Senyum Ibe dengan mata berbayang anaknya dan ibu pengemis dari kejauhan.

Buku undang-undang 1945 hasil amandemen, seperangkat alat tulis, bahan makanan dan beberapa lembar bendera telah di belinya. Adda pun pulang dengan terkuai-kuai, dan dengan tangannya yang terus digenggam Bapaknya. Bunyi rangka becak yang mulai rapuh karena terus meggencet bebatuan jalan di tambah terik menyengat dari matahari membuat Ibe mulai kliyengan.

Sampailah mereka di gubuk kecil, tempat keluarga itu hidup bahagia. Setelah Ibe dan Adda merapikan barang-barang mereka, Ibe mengajak Adda untuk membantunya mengikat bendera dan dikibarkan di muka rumahnya.

“Adda bantu bapak yooo’ pasang bendera. Biar bagaimanapun keadaan keluarga kita, kita harus tetap turut merayakan dan mempringati hari kemerdekaan kita. Kita harus bangga dan cinta kepada negara kita sendiri, ratusan tahun kita di jajah mulai dari fikiran hingga hidup kita. Semuanya di rampas demi kepentingan penjajah. Dan nanti, 17 Agustus nanti. Kita bersama akan memperingati juga merayakan kemerdekaan Negara kita tercinta ini nak. Mari bantu Bapak nak.”

“Baik Pa..” jawab Adda dengan perasaan yang membara-bara akan perkataan Bapaknya itu.

“Untuk memperingati kemerdekaan ini Adda cukup belajar yang baik yahh mulai sekarang. Supaya Adda jadi manusia pintar seutuhnya, jadi manusia sadar bisa memberi yang terbaik untuk Indonesia. Nanti kalau Adda sudah besar Adda jadi manusia yang cerdas kayak Nyai Ontosoroh. Adda akan tau kok apa yang harus Adda berikan untuk Indonesia”.

Kalimat yang di dengar Adda dari Bapaknya ini membuat Adda merasa bangga menjadi bagian dari Rakyat Indonesia. Kalimat yang membakar semangatnya untuk terus belajar agar bisa memberi yang terbaik untuk Indonesia.

Setelah memasang bendera di muka rumahnya, Adda mulai membuka buku Undang-Undang yang di belinya di Pasar tadi, mengusap lembar demi lembar, memperhatikan pasal demi pasal, dan mencermati bab demi bab.

Disisi lain, Ibe bersiap untuk ke sawah yang digarapannya, tidak ada pekerjaan berat yang harus di selesaikannya sore itu, hanya saja dia ingin menghilangkan kepeningannya selepas dia dari pasar.

Baru saja beberapa langkah dari rumahnya menuju ke sawah, terlihat pemilik sawah yang memiliki puluhan hektar sawah itu datang memasang spanduk bahwa tanah yang di garap Ibe akan di jadikan PLTU. Sontak dada Ibe merasa sesak melihat juga spanduk itu terbentang di depan matanya.

Seketika seluruh indranya menjadi mati rasa, pusing kepalanya semakin menjadi-jadi seakan kepalanya akan meledak, dia memikirkan masa depan Adda kalau dia sampai kehilangan pekerjaan akibat sawah yang digarapnya akan dijadikan PLTU. “Ya Tuhan apa yang harus kami lakukan kalau begini?” kalimat yang selalu berulang dalam hatinya seiring dengan indranya yang mati rasa.

Melihat hal itu Ibe memutar arah langkah kakinya menuju balik kerumahnya, dengan tangan yang memegang erat bendera yang akan dipasang di balai-balai sawahnya, Ibe menitiskan air mata yang kemudian jatuh membasahi kaki hitamnya. Ia menyeret kakinya dengan sangat pelan dan kemudian duduk di balai-balai depan rumahnya.

Ia duduk merenungi nasibnya, merenungi nasib kawan buruh petani lainnya dan merenungi masa depan anak yang dia cintai. Hal itu yang membuat emosi Ibe membara, Ibe berteriak “Ahhh Kaparat!”, macan yang sudah lama ditidurkannya sejak dia di Drop Out, bangun kembali dan menunjukkan taringnya. Dari dalam rumah Adda berlari keluar, dikira Bapaknya menghadapi Penjahat yang akan mencuri ayam piaraannya.

“Pa… Ada apa? Ada pencuri Pa.?
Ibe langsung diam dan memeluk Anaknya. “Tidak apa-apa nak, Bapak hanya mengusir anjing yang akan mencuri anak-anak ayam bapak.
“Kenapa mata bapak merah? Berkaca-kaca?”
“Tidak nak..” jawab Ibe sambil bersedu-sedu

Kemudian duduklah mereka di balai-balai depan rumahnya, tanpa suara dari kedua mulut keluarga itu, hanya kicauan burung dan matahari senja yang mewarnai sore itu, juga penanda bahwa gelap akan segera menyapa.

Adzan magrib berkumandang, keduanya bergegas masuk ke rumah, dinyalakannya Ibe pelita yang digantung depan rumahnya. Selepas makan malam, Ibe membuat dua gelas teh, segelas untuknya dan segelas lagi untuk anaknya. Duduk diam mereka berlanjut, masih di tempat yang sama. Hanya beberapa tegukan dari keduanya, di mulailah percakapan mereka dengan Ibe yang mengatakan.

“Bapak akan kehilangan pekerjaan nak, sawah Pak X akan dijadikan PLTU, otomatis bapak tidak akan bisa bertani lagi, dan mungkin rumah kita akan digusur untuk dijadikan kompleks PLTU”. Kata Ibe dengan suara pelan

“Terus kita tinggal dimana Pa?”

Ibe kembali terdiam. Pertanyaan yang dilontarkan Adda, serupa dengan pertanyaan yang membelenggu benak Ibe. Pertanyaan yang tidak bisa terjawab olehnya. Pertanyaan yang hanya berputar-putar, menari, mengejek dan seakan mengancamnya dengan badik. Pertanyaan yang seakan menjadi Tanya terakhir bagi hidupnya.

“Kenapa Pak X mau mebangun PLTU Pa? kita harus laporkan Pak X ke Negara Pa! Kita itu dilindungi dan dipelihara oleh Negara Pa.. pasal 34 ayat 1 ku baca bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Bukan kah kita termasuk fakir miskin Pa? dan Ibu pengemis di pasar itu kan juga fakir miskin Pa?

Ibe kembali terdiam, Ibe berencana mengumpulkan kawan-kawan Buruh lainnya kemudian berencana untuk melakukan aksi demonstrasi menghentingan pembangunan PLTU yang akan menghilangkan pekerjaan puluhan kepala keluarga, termasuk dirinya.

14 Agustus, Ibe mengumpulkan 23 kawan buruh, Ibe berorasi di depan para kawannya layaknya jendral lapangan aksi sewaktu dia masih Mahasiswa. “Kita harus melawan kawan! Kita harus bergerak menantang para kaparat asing yang akan merenggut tanah dan hidup kita! Ini memang bukan tanah kita secara hukum, tapi ini tanah milik bangsa Indonesia, tanah milik kita!, milik rakyat Indonesia. Hidup Kaum buruh tani! Hidup rakyat Indonesia!”

Orasi demikian membakar semangat 23 buruh tani lainnya, membakar emosi jiwa di tengah momen memperingati kemerdekaan Indonesia, termasuk Adda yang pada saat itu berdiri di samping Bapaknya. Dengan lantang para buruh tani dan Adda bersuara membalas teriakan Ibe. “Hidup kaum buruh tani!! Hidup rakyat Indonesia!

Keesokan harinya, seperti yang direncanakan Ibe dan kawan lainnya. Para buruh yang lain mengumpulkan keluarga mereka, ada yang membawa anak dan istri mereka, ada pula yang mengajak petani dari desa lainnya. Kawan buruh dan massa aksi lainnya berkumpul di halaman rumah Ibe, karena jaraknya tidak begitu jauh dari sawah yang mereka garap.

Langkah kaki gerombolan massa aksi mengarah ke deretan eskavator tak bertuan itu. Hanya terlihat aparat kepolisian dengan pentungan dan tamenganya yang sedang mengamankan aksi demonstrasi.

Juga para massa demonstrasi lengkap dengan peralatan aksinya, ada yang membawa cangkul, ada yang membawa ember untuk menghalau terik matahari, ada juga yang membawa arit. Ini hanya sebagai simbol bahwa mereka segenap kaum buruh tani yang merasa hidup mereka akan di renggut oleh asing yang akan membangun PLTU di daerahnya.

Diarah lain pula terlihat spanduk bekas yang ikut bersuara dengan tulisan, disana tertulis. “Kaum buruh Tani menolak penggusuran dan pembangunan PLTU!”

Spanduk bersuara digantung di badan eskavator tak bertuan itu, Ibe dan kawan buruh lainnya terus bersuara menolak pembangunan sekaligus penggusuran. Walau tanpa tuan tanah itu tidak menyurutkan semangat Ibe dan para buruh lainnya serta Adda dan para anak lainnya.

Hingga petang mereka tetap berada di lokasi tanpa ada yang dengar. Melihat Adda yang mulai mengantuk dengan raut muka yang kelelahan, Ibe mengantar Adda balik ke rumahnya untuk istirahat.

Hampir pukul 10 malam, pihak kepolisian berusaha bernegosiasi dengan Ibe selaku wakil dari kaum buruh.

“Saya meminta para demonstran untuk segera membubarkan diri, beristirahat di rumah, mengingat sekarang adalah waktu istrahat, oleh karena itu sebaiknya para warga segera balik ke rumah masing-masing” ucap aparat kepolisian. Dengan pikiran yang mulai jenuh ditambah tubuh yang mulai kelelahan, dan juga melihat anak-anak mulai terlelap dalam pangkuan Ibunya, maka Ibe memustuskan untuk membubarkan massa aksi dan pulang untuk beristirahat.

15 Agustus, hari berjalan seperti biasanya, di lokasi sudah tidak terlihat lagi aparat kepolisian yang berjaga, hanya saja eskavator tanpa tuan itu masih tetap berada di tempatnya, dan sudah tak nampak lagi spanduk dari para demonstran yang kemarin digantung pada badan eskavator.

Hari ini sudah tak ada lagi aktivitas di sawah hanya burung dan tikus yang sementara menggerogoti tanaman padi. Hari ini masih meninggalakan bekas penat karena harus berjuang untuk membela tanah rakyat. Adda berinisiatif untuk menuliskan surat untuk pengelola Negara yang di titipkan kepada Bupati pada saat upacara 17 agustus nanti.

Dia mau tanah rakyat tidak jadi dibangunkan PLTU, agar penggusuran tidak terjadi. Dan juga buruh tani termasuk Bapaknya tidak kehilangan pekerjaan.

“Assalamualaikum Bapak atau Ibu. Nama saya Reinanda saya biasa dipanggi Adda, umur saya 13 tahun, saya sekolah di SMPN Bangga Negara, ayah saya bekerja sebagai petani di tanah Pak X dan Ibu saya sudah meninggal, cita-cita saya mau bebas seperti Minke dan punya ladang dan sawah yang luas seperti Nyai Ontosoroh, walau belum sudah ku baca, Bapak atau Ibu negara pasti sudah baca semuanya kan?.

Bapak atau Ibu Negara yang baik, disini saya hidup dekat dengan sawah tempat bapak saya bekerja, dan sawah itu akan dibangun PLTU oleh Pak X, bapak saya dan teman petani lainnya akan kehilangan pekerjaan, juga rumahku mungkin akan digusur kata bapakku. Saya meminta tolong kepada Bapak atau Ibu Negara untuk membatalkan pembangunan itu, agar bapakku dan temannya bisa bekerja dan hidup bahagia lagi. Di Undang-undang 1945 pasal 34 ayat 1.

Negara memelihara kami dan anak-anak terlantar seperti Ibu pengemis juga anaknya di pasar yang kutemui kemarin waktu pergi beli bendera, jadi tolong Bapak atau Ibu Negara. Pelihara kami, kami hanya minta agar pembangunan PLTU itu tidak jadi, itu saja Bapak atau Ibu Negara. Sekian moga Bapak dan Ibu Negara bisa sehat terus dan masuk surga.”

Surat itupun dilampirkan gambar dari coretan tangan Adda sendiri, disana Adda menggambar dirinya beserta ayahnya yang saling bepegang tangan, latarnya ada pegunungan yang ditemani matahari terbenam yang sedang tersenyum, burung-burung beterbangan mengelilingi pegunungan, dan tergambar pula sawah yang ditumbuhi padi yang masih hijau, serta rumahnya, serta jalan setapak yang tiap hari mereka lalui.

Gambarnya memang terlihat biasa saja ala tangan anak-anak yang akan beranjak remaja, tapi gambar itu melukis harapan Adda dan keluarga lainnya agar kampungnya tidak menjadi tempat pembangunan PLTU yang menggusur rumah mereka dan mencemarkan limbah yang dapat membunuh mereka secara perlahan.

17 Agustus, hari ini adalah hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Pagi-pagi sekali Adda bergegas mempersiapkan seragam sekolah SMP nya untuk digunakannya upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih di kantor daerah, jarak dari rumah Adda ke kantor daerah lumayan jauh, perlu waktu sejam mengayuh becak untuk sampai disana.

Ibe dengan perasaan yang masih sangat emosi, mempersiapkan becaknya, didandaninya, dan diberinya bendera berukuran kecil di setiap sisi becaknya. Tak lupa dia menggantung lambang burung garuda sebagai simbol Negara di muka becaknya. Jam menunjukkan pukul 6:00, merekapun berangkat dengan semangat menatikan Sang Saka Merah Putih berkibar yang diiringi lagu Indonesia Raya.

Melalui hiruk-pikuk perkotaan, mereka tak lupa mampir untuk membeli beberapa lembar masker. Sampailah mereka di gedung mewah kantor dimana pejabat bekerja demi rakyatnya. Setiap sudut-sudut lapangan upacara di sediakan tempat membersihkan tangan, semua partisipan yang mengikuti upacara diharuskan menggunakan masker, agar mencegah penyebaran Covid-19.

Di daerahnya memang termasuk daerah zona hijau, dalam artian daerah yang tidak terdampak Covid-19, namun penggunaan masker dan belajar online menjadi keharusan di daerahnya. Adda menjumpai kawan-kawan barunya dan guru-gurunya yang baru kali kedua dia liat, setelah sebelumnya dia berjumpa di sekolah saat mengambil folmulir pendaftaran.

Lagu Indonesia Raya berkumandang, Bendera Perah Putih mulai berkibar, terbang ke langit layaknya garuda yang baru bebas dari urungan penjajah. Semua memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih itu. Setelah upacara telah selesai, Adda berlari menuju ke Bapaknya, mengambil surat yang tadi di titipnya untuk kemudian di berikan kepada Bupati.

Seorang diri dia menunggu di belakang panggung penghormatan, ayahnya menunggu di becaknya, menunggu Adda memberi surat itu, Ibe tak tahu bahwa amplop itu bersisi surat dan gambar untuk Bupati, dia mengira bahwa amplop itu hanya berisi tugas yang harus dikumpulnya pada gurunya.

Turunlah Bupati dari panggung penghormatan, dilihatnya seorang anak kecil berseragam SMP yang mulai lusuh memegang secarik amplop putih. Adda dengan senyum manisnya memberi tangan ke Bupati untuk bersalaman, Bupati membalas dengan salaman dan bertanya.

“Dari sekolah mana kamu?”
“SMP Bangga Negara Pak” jawabnya dengan masih mempertahankan senyum manisnya,
“Ini ada surat Pak, saya tulis sendiri untuk Bapak Bupati”

Bupati menerima surat itu dan di berikannya kepada ajudannya, tanpa berkata lagi, Bupati bergegas pergi meninggalkan Adda yang masih terus memperhatikan tubuh-tubuh besar yang berjalan di depannya. Pandangan Adda tak lepas dari tubuh besar Bupati dan ajudannya hingga Bupati masuk ke gedung yang paling mewah di tempat itu, di depannya bahkan parkir deretan mobil mewah, putih, biru, merah hingga hitam, semuanya mengkilat dan berpelat merah.

Hari-hari berjalan seperti sediakala hanya saja sudah tak ada lagi pekerjaan di sawah yang harus diselesaikan Ibe. Ibe hanya mengurus ternak ayam kampungnya, dan bebepa ekor itik yang didapatkannya dari pemberian tetangganya sesama buruh tani.

Tiga hari setelah peringatan kemerdekaan, Adda telah menuntaskan buku Pram Bumi Manusia, itulah yang tiap hari dilakukannya setelah pelajaran sekolahnya usai, sesekali dia menggambar pegunungan dan sawah, juga orang-orang yang sedang tersenyum, hampir mirip dengan gambar yang di berikannya ke Bupati.

Esok harinya, saat mentari baru saja menampakkan sinarnya, suara gemuruh truk yang mengangkut tanah timbunan mulai berlalu lalang. Mesin eskavator mulai di panaskan. Bunyi bising milik asing ini menarik perhatian Ibe, Ibe yang saat itu sedang menyiapkan sarapan, langsung berlari mengumpulkan para kawan-kawan buruh tani yang saat itu ada yg masih terlelap dalam mimpinya.

Hanya sebagian kecil massa dari aksi pertama yang berhasil dikumpulkan Ibe. Dengan tempo langkah yang semakin menapak semakin cepat, Ibe dan buruh tani lainnya langsung menuju ke lokasi penimbunan. Benih padi yang menghidupkan banyak orang itu, mulai tertimbun sedikit demi sedikit.

“Kaparat!! Dengan teganya kalian semua merenggut hidup kami!” teriak Ibe dengan wajah memerah dan mata yang mulai berkaca kaca.

Kendaraan berat yang telah bertuan itu terus melakukan pekerjaannya, seperti anjing yang terus mengonggong tak menghiraukan apapun sampai majikannya menyuruh berhenti.

Satu persatu warga dan buruh tani mulai berdatangan, membawa cangkul, arit dan juga ember yang berisi batu, terlihat juga Adda yang datang membawa beberapa gambar hasil coretan tangannya, Adda ingin membagikan ke anak-anak lainnya untuk di perlihatkan ke asing, bahwa mereka ingin hidup bahagia tanpa ada parasit yang menggerogoti kebahagiaan mereka.

Kendaraan berat itu terus saja bekerja tanpa menghiraukan teriakan Ibe dan para Buruh. Hingga seorang buruh dari belakang Ibe mulai melempar batu sebesar kepalan tangan kearah mobil-mobil asing itu, dan para buruh dan istrinya mulai juga melempar. Teriakan Ibe berbalik tertuju kepada para buruh yang melempar.

Menyuruhnya berhenti. Tapi hal itu sia-sia. Seakan para buruh sudah tenggalam dalam lautan emosinya yang membara, melihat hidup mereka terancam oleh mobil-mobil besar milik asing.

“Sakit hatiku melihat kamu semua mengubur padi-padi yang menjadi makanan kami, padi itu sudah seperti anak kami, kami jaga dan rawat dengan baik, agar kami bisa makan, agar keluarga kami bisa makan, agar kamu semua bisa makan, itu berkat kami yang menanam dan menumbuhkan padi-padi yang kamu semua kubur” teriak dari seorang Ibu hamil yang menangis dari belakang Ibe.

Anak-anak seumuran Adda, mulai membentangkan gambar-gambar milik Adda, ada juga yang ikut melempar ada juga yang ikut teriak mengikuti orasi Ibe, dan ada juga yang menangis mengiringi tangisan Ibu mereka.

Satu persatu mobil mulai berhenti bekerja, lemparan batupun sedikit demi sedikit mulai kurang menghujani, Ibe yang memimpin Massa buruh mulai bergerak maju, mereka ingin merebut kembali tanah yang menumbuhkan masa depan mereka, aparat kepolisian pun mulai bergegas maju hingga membelakangi mobil-mobil berat milik asing itu dan membentuk barisan seperti benteng untuk menghalau lemparan batu.

Para buruh termasuk Ibe terus bergerak maju hingga jaraknya hanya beberapa langkah lagi dari benteng kokoh itu, Ibe dengan berani membuka bajunya di depan para polisi, menunjukkan rasa emosinya, ia mulai berorasi lagi mengeluarkan segala amarah yang telah di pendamnya.

Dari kejauhan Adda melihat bapaknya berteriak yang diwarnai dengan tetesan air mata ibu-ibu di belakangnya. Ini kali kedua Adda melihat bapaknya seperti itu, bapak yang tiap hari diliatnya penyayang dengan sentuhannya, dan baik dengan selalu membagikan senyumnya, sekarang berubah menjadi sosok terkeren yang dijumpainya di dunia nyata. Kalimat-kalimatnya, keren dengan penuh pembelaan kepada rakyat kecil, pikir Adda.

Massa buruh semakin mendesak para polisi untuk mundur, melambaikan kepalan, ada pula yang melambaikan arit. Simbol bahwa mereka segenap buruh. Anak-anak melambaikan gambar-gambar Adda, dan ada pula yang hanya menangis sambil mengusap ingusnya yg mengotori wajahnya.

Hingga pada akhirnya buruh berhasil merebut dan menduduki mobil-mobil milik asing itu. Kericuhan yang sesungguhnya dimulai saat salah seorang polisi mulai memukuli Ibe yang saat itu tak memakai baju, mungkin karena polisi itupun emosi melihat Ibe, atau mungkin karena Ibe melakukan suatu kesalahan.

Ibe mulai melawan dengan melayangkan tinjunya yang kekar itu. Beberapa dari polisi ikut membantu kawannya itu, beberapa juga dari buruh berlarian ke depan membantu Ibe yang mulai di seret oleh beberapa polisi. Buruh yang jumlahnya tak kalah banyak dari para polisi berusaha menahan pukulan yang semakin lama semakin riuh. 

Dari kejauhan Adda melihat bapaknya itu yang mulai babak belur di barisan depan. Adda menangis histeris, ini pertama kali Adda melihat kericuhan yang seperti ini, jantungnya berdebar kencang.

“Bapak!!!” Pa!!!” seru Adda dengan tangisnya

Ibe tak mendengar hal itu, terhanyut dalam emosi, membuatnya menjadi tuli. Nampak Ibe ditarik secara brutal, ditendang, dipukul, dipukul lagi, dan hilang tertelan kerumunan. Melihat hal itu tangis Adda semakin deras, membuatnya bergetar seluruh badan, tak ada lagi yang dapat di dengarnya kecuali suara tembakan yang mengiang di kedua telinganya.

Gas air mata dilontarkan tanpa ada perlawanan lagi, ibu-ibu yang sebelumnya menangis karena melihat hidupnya di renggut, sekarang menangis karena harus berkumur gas setan itu. Seorang kawan petani yang pernah memberi itik ke Ibe lari mengamankan diri dibawanya pula Adda yang saat itu masih berdiri, menangis, mencari Bapaknya yang sudah tertelan kerumunan. Adda dibawa ke rumah kawan Bapaknya itu, tak ada kabar dari Bapaknya, hingga pada petang tiba, bapaknya belum ada kabar.

Di lokasi hanya terlihat beberapa polisi saja yang berjaga, nampak pula batu-batu yang masih bertebaran bekas tangan-tangan buruh yang emosi. Kawan Ibe ini berinisatif untuk mencari Ibe, dengan menanyai para polisi yang berjaga itu. Dia hanya mendapat kabar bahwa Ibe ditahan di kantor polisi karena kasus perusakan fasilitas negara. Mendengar kabar itu Adda kembali menitihkan air matanya. Dan mulai menggerutu tentang negara dalam hatinya.

“kenapa negara hanya perhatikan alat-alatnya! Dan tidak perhatikan aku dan bapakku. Bapakku harusnya lebih penting dari semua alat-alatnya”,

Dengan kabar itu keesokan harinya kawan Ibe mengajak Adda untuk berangkat ke kantor polisi bersama-sama. Adda membawa beberapa buah buku untuk bapaknya, agar bapaknya tidak merasa bosan di sana.

Sampailah mereka di kantor polisi, Adda mendapati bapaknya itu sudah botak. Badan serta wajahnya babak belur, Adda menangis melihat bapaknya dengan model seperti itu. Adda berlari dan langsung memeluk bapaknya, bapaknya pun membalas pelukannya dengan begitu hangat dan erat.

“Nak… belajar dengan rajin yahh, disini bapak tidak akan lama, sekarang kamu tinggal lah bersama Tanta dan Om mu di kota. Mereka punya warung di samping kampus, tinggallah dan bantu mereka nak.!”

Adda tak membalas hanya memeluk erat bapaknya.

“Kita sudah menang nak, semua sudah berjuang, bapak sudah berjuang, dan Adda juga sudah berjuang, kita sudah menang nak. Belajarlah nak, tetaplah cintai tanah air kita ini, tetaplah bangga nak menjadi bagian dari rakyat Indonesia. Pesan Ibe ke anaknya itu

Hari demi hari Ibe habiskan hidupnya di penjara dengan membaca buku, kadang menceritakan kisah-kisah sejarah kepada kawannya sesama tahanan. Yang membuatnya kuat hanyalah anaknya dan juga selalu mengingat mantra hidupnya

“Apapun yang terjadi, Aku tetap mencitai Negaraku. Dan akan selalu berjuang demi menjaga kesatuan tanah airku. Kami akan selalu berdiri dan bahagia di atas tanah kami sendiri” kalimat yang menjadi mantra penguatnya selama berada di tahanan.

 

Penulis: Islahuddin Ibrahim, Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Sidenreng Periode 2019/2020.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.