Ternyata
Pagi ini diawali dengan lari-lari menuju gerbang yang sebentar lagi akan tertutup rapat. Kebiasaan. Kapan pula aku akan merasa kapok meski pernah disuruh pulang saat gerbang sudah tertutup rapat, namun keesokan harinya masih tetap datang dengan waktu mepet seperti saat ini. Aku menghela nafas setelah melewati gerbang tersebut, orang-orang yang sama terlambatnya denganku langsung ngacir menuju kelas masing-masing. Aku hanya mesem-mesem saat melihat pelototan guru BK.
Saat sampai kelas, aku melihat anak-anak masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing yang menandakan belum dimulainya pembelajaran pertama pagi ini. Aku melangkah menuju bagian belakang kelas ke arah teman-temanku yang sibuk menunduk, terkadang mereka mengangkat kepala dan mengobrol lalu kemudian menunduk kembali.
“Hei,” sapaku.
Aira mendongak dan tersenyum, “Hai, Bi,” katanya.
Aku menarik kursi di sebelahnya lalu menggeleng melihat Aira sudah kembali menunduk memandang handphonenya. Beginilah teman-temanku, padahal sekolah sudah memberikan aturan untuk tidak boleh membawa barang elektronik, tapi masih saja dilanggar. Lalu bagaimana denganku? Tentu saja aku tidak membawanya, tapi bukan karena aku menaati peraturan sekolah, melainkan karena aku memang tidak memiliki smartphone seperti teman-temanku.
Aku hanya memiliki handphone jadul yang cuma bisa sms, telpon dan internet seadanya itu. Jadi untuk apa juga aku membawa handphone tersebut ke sekolah.
Kemudian pintu kelas terbuka, guru yang mengajar pada jam pertama mulai masuk kelas ini, semuanya langsung memasukkan handphone yang tadinya masih mereka mainkan ke dalam tas.
***
Saat ini jam pelajaran olahraga, kami semua para perempuan sedang berada di kelas untuk mengganti baju ke kaos olahraga. Memang aneh sekali teman sekelasku, inginnya mengganti baju di kelas bukannya ke kamar mandi. Katanya sih agar menghemat waktu, karena kalau di kamar mandi kan ngantri sementara di kelas bisa langsung semuanya sekaligus.
Sementara anak laki-laki bersungut-sungut melihat tingkah kami yang mengusir mereka, meski kadang mereka suka jahil menggedor-gedor pintu kelas, namun saat ini sepertinya mereka sudah pergi ke lapangan.
Aku mengajak teman-temanku untuk segera pergi ke lapangan. Mereka mengangguk dan menatap cermin sekali lagi lalu memasukkan cermin tersebut ke dalam tas.
“Eh Din, kamu nggak ikut olahraga?” tanya Aira saat melihat Dinda masih duduk bermalasan. Aku menatap Dinda yang tadi luput dari perhatian.
“Aku nggak ikut dulu, tadi sudah izin datang bulan ke Pak Indra,” katanya. Kami manggut-manggut.
“Kalau gitu aku titip hp ya, sekalian mau ngecas, tadi baterainya lowbat,” pinta Aira. Ia mengeluarkan hp beserta charger dan mencolokkannya ke colokan terdekat.
“Jangan sampe ketahuan guru ya, Din,”
“Oke.”
Lalu aku, Aira, dan Indah menjadi yang terakhir meninggalkan kelas.
***
Pelajaran olahraga sudah usai, Pak Indra menyuruh ketua kelas untuk merapikan peralatan olahraga yang dipakai hari ini. Sementara teman-teman kami ada beberapa yang pergi ke kantin untuk membeli minum, ada juga yang langsung ke kelas untuk ngadem.
Aku memutuskan untuk langsung ke kelas diikuti oleh Aira dan Indah, biasanya kami memang membawa bekal minum sendiri. Dalam perjalanan, Indah tak henti mengipas-ngipasi mukanya yang berkeringat banyak itu. Indah memang cukup payah dalam hal olahraga, bahkan olahraga kecil pun bisa membuatnya mengeluarkan keringat.
Sesampainya di kelas, aku melihat anak-anak yang lain sudah mulai selonjoran di lantai sambil menyandarkan punggung di dinding. Lantai dan dinding memang perpaduan yang tepat untuk mendinginkan badan seusai olahraga, maklum kelas kami tidak memiliki ac. Lalu Indah bergabung dengan mereka di lantai.
“Dinda mana, Bi?” tanya Aira celingak-celinguk mencari Dinda.
“Nggak tahu, ke mana tuh dia?” balasku.
Aira melihat colokan dan menjumpai hpnya tidak ada. Sesaat kemudian Dinda datang.
“Din, hpku mana?” tanya Aira.
“Loh, emang nggak ada, Ra?” Dinda malah balik bertanya.
“Hah? Nggak ada, Din. Tuh lihat!” Aira mulai kesal mendengar jawaban Dinda.
“Loh? Aku nggak tahu, Ra. Tadi aku tinggal bentar ke kamar mandi,” jawab Dinda.
“Terus hpku kemana, Din?! Kok nggak ada sih? Aku kan sudah titip ke kamu, tolong jagain hp aku.” Muka Aira mulai memerah, aku tidak tahu apakah itu gara-gara dia marah atau mau menangis.
Indah yang mendengar percakapan kami langsung mendekat. “Kenapa, Ra?” tanyanya.
“Hpku hilang, Dah,” Aira merengek, tampak sekali akan menangis.
“Ayo kita cari dulu, jangan panik dulu, Ra,” ujarku. Kemudian aku mengatakan hal ini pada teman-teman kelas kami dan mulai mencari-cari hp Aira mulai dari memeriksa tas kami semua. Sementara Dinda sudah jelas ketakutan dan daritadi meminta maaf pada Aira.
Namun setelah beberapa menit kami melakukan pencarian, hp itu tak kunjung ketemu. Tak habis akal, kami mulai memberi tahu kelas sebelah dan mulai melakukan pencarian juga di kelas sebelah. Namun, sampai seluruh kelas sebelas dicari, hp Aira tetap tidak ketemu. Sementara Aira yang mengetahui hal ini sudah mulai menangis dan membuat semuanya tak karuan. Indah menenangkannya, ia mengusap-usap punggung Aira. Sementara aku berbicara dengan teman-teman yang lainnya.
“Jadi gimana ini? Kasihan Aira, aku gak nyangka bakal ada pencuri di sekolah kita,” kataku lemas. Sesekali aku menoleh pada Aira yang sedang ditenangkan oleh Indah. Beruntung sekali guru pelajaran setelah ini sudah mengabari tidak akan masuk dan hanya memberi tugas.
“Apa mau kita laporin ke guru BK?” usul Awan, ketua kelas kami.
“Ih jangan! Ntar ketahuan kalo kita bawa hp ke sekolah,” seru Alfi yang diangguki teman-teman yang lain. Aku mengerti perasaan mereka, mereka tidak mau di kelas kami ketahuan ada yang melanggar peraturan, bisa-bisa langsung diadakan razia dadakan.
“Terus gimana, dong? Kasihan banget Aira,” kataku.
“Mau gimana lagi Bi, kayanya hari ini kita stop dulu pencarian kita, baru besok-besok kita lapor ke guru BK, nah pas mau lapor nanti aku harap kalian nggak ada yang bawa hp ke sekolah ya,” putus Awan. Sepertinya itu keputusan yang cukup untuk saat ini, jadi kami hanya mengangguk mendengarnya.
Aku segera mengampiri Aira. Kulihat Dinda masih memohon-mohon maaf padanya, wajahnya juga memerah karena rasa bersalah.
“Maafin aku, Ra. Maaf banget aku teledor, aku nggak tahu kalau hp kamu bakal hilang,” Dinda mengambil tangan Aira, memohon permaafan.
Aira tidak menggubrisnya dan sibuk menangis di pelukan Indah. Sementara Indah masih saja mengusap-usap punggungnya, menenangkannya.
***
Sebulan dari kejadian tersebut, kami sudah mulai melupakannya. Pada saat itu Awan melaporkan kejadian tersebut pada guru BK dan menceritakan sedikit kronologisnya. Lalu tak lama kemudian Aira dipanggil ke ruang BK untuk ditanyai lebih lanjut mengenai hal tersebut. Setelah itu aku tidak tahu apa yang kemudian dilakukan oleh guru BK untuk mengatasi hal tersebut, yang pasti sampai saat ini belum ada kejelasan apapun. Hal yang sebelumnya kami khawatirkan tentang razia hp sendiri tidak terjadi.
Sekarang Aira sudah memiliki hp baru, aku tidak tahu juga apakah ia dimarahi oleh orang tuanya atau tidak, namun perkiraanku sih sepertinya orang tuanya tidak sampai tega hati menambah kesedihan Aira, buktinya sekarang ia dibelikan hp baru.
“Eh, gimana nih? Nanti kita jadi ‘kan ke rumah Dinda?” tanya Indah berbisik. Kami memang mau ke rumah Dinda sepulang sekolah nanti, rencananya kami akan memberi kejutan ulang tahun di rumahnya, karena seminngu lalu ia ulang tahun namun kami belum merayakannya. Jadi niatnya hari ini akan kami rayakan.
“Iya, tapi kita tunggu Dinda pulang terlebih dahulu,” jawabku ikut berbisik. Sebenarnya Dinda sendiri sedang tidak bersama kami, dia berada di barisan depan sedang mengobrol dengan teman yang lain.
“Oke, deh.”
***
Aku, Aira dan Indah masih mengobrol di kelas, dengan kotak yang berisi kue ulang tahun tersimpan di atas meja. Sekarang sudah lebih dari satu jam dari jadwal pulang sekolah. Di kelas sendiri masih lumayan banyak teman-teman kami yang sedang menunggu untuk latihan ekstrakulikuler yang mereka ambil.
“Yuk, kita langsung aja berangkat sekarang!” ajak Aira.
Kami berjalan ke gerbang sekolah dan menghentikan angkot, lalu mulai menaikinya. Rumah Dinda sebenarnya tidak terlalu jauh dari sekolah, maka dari itu kami memutuskan untuk menaiki angkot.
Setelah sampai, aku dan kedua temanku turun dan mulai memberikan ongkos pas pada sopir angkot, setelahnya kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Dinda. Aku agak kerepotan membawa kue yang sempat kami beli sepulang sekolah tadi, pasalnya Dinda tidak boleh melihat kue ini dulu. Jadi aku berjalan di belakang mereka berdua.
Rumah Dinda sudah mulai kelihatan, kami juga melihat Dinda sedang duduk di teras memainkan hp. Kami mengindap-indap agar tidak ketahuan. Aku membuka penutup kue dan menyuruh Indah untuk menyalakan lilin di atasnya. Perlahan-lahan kami berjalan mendekati Dinda, namun Dinda tetap fokus pada hpnya.
“HAPPY BIRTHDAY DINDA! HAPPY BIRTHDAY DINDA! HAPPY BIRTHDAY DINDA!”
Dinda sangat kaget dengan kedatangan kami, aku melangkah ke depan untuk mengangsurkan kue ke hadapannya. Namun suara Aira memecah ucapan selamat kami.
“Loh Din, kamu punya hp baru?” tanya Aira memerhatikan hp yang dipegang Dinda.
Mendengar hal itu, Dinda langsung menyembunyikan hpnya ke balik punggung dan gelagapan melihat kami bertiga. “O-oh iya, ini hp aku yang baru,” jawabnya.
Aira masih memerhatikan tangan Dinda yang berada di balik punggungnya. Ia menyipitkan mata melihat tingkah Dinda. “Kok kayak kenal ya sama hpnya?” tanyanya.
Aku yang memang belum melihat hp tersebut berpaling menatap Indah, dan Indah sendiri mengangkat bahunya tanda tidak mengerti. Aku kembali menatap Dinda.
“Coba lihat!” sergah Aira menarik tangan di belakang Dinda dan merebut hp tersebut.
Aira memeriksa hp itu dan mulai membuka menu-menu yang ada di hp tersebut. Aku mendekat karena penasaran. Lalu melihat yang dilakukan oleh Aira. Wallpaper hp tersebut adalah foto selfie Dinda, dan di galeri juga banyak sekali foto Dinda. Sampai pada akhinya Aira membuka menu bluetooth dan menemukan namanya belum terganti, yaitu masih bernama Aira.
“Loh ini kan hp aku, Din?!” bentak Aira. Ia tidak menyangka ternyata yang selama ini mengambil hpnya adalah teman baiknya sendiri, teman baik kita sendiri. Aku menatap Dinda yang wajahnya mulai sedih, siap untuk menangis.
“Bener kan ini hpku?” tanya Aira sekali lagi.
Dinda mengambil tangan Aira dan mulai menangis, ia tidak mengatakan apa-apa hanya terus menangis. Aku meletakkan kue yang kupegang ke teras rumah Dinda. Aku tidak tahu harus berkata apa, ini juga mengagetkan untukku. Karena kami berempat adalah teman baik dari kelas sepuluh dan tidak menduga hal seperti ini akan terjadi.
“Jangan nangis terus! Coba jelaskan!” Aira menarik tangannya yang digenggam Dinda.
“Yaudah ayo kita duduk dulu,” Indah memapah Dinda untuk duduk kembali di teras, aku juga mengajak Aira untuk duduk.
“Jadi kenapa, Din?” akhirnya aku juga bertanya, karena Dinda tak kunjung berbicara.
“Maafin aku, Ra. Aku tahu aku salah. Aku khilaf saat mengambil hpmu,” kata Dinda.
“Khilaf apanya?! Kalau khilaf nggak bakalan sampai sebulan hpku hilang, Din!”
“Iya, maaf Ra. Karena setelah itu aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengembalikannya padamu,” ujar Dinda mengusap air matanya.
“Halah, pembohong! Buktinya kamu tadi sangat menikmati memainkan hp itu tadi!” Aira menunjuk hpnya. Ia masih tidak habis pikir dengan jawaban Dinda yang dirasa tidak masuk akal.
“Maafin aku, Ra. Sebenernya aku cuma iri sama kalian karena memiliki hp yang bagus sementara aku tidak punya. Aku juga malu jika ke sekolah membawa hpku yang lama. Apalagi ada beberapa teman kelas kita yang suka mengejek,” jelasnya.
“Tetep aja aku ga habis pikir, bisa-bisanya kamu mencuri hp temanmu sendiri, Din. Kamu pikir dengan alasan itu kamu jadi boleh mencuri hp orang lain? Bahkan meski dia bukan temanmu, kamu tidak boleh melakukan itu,” Aira mulai berdiri dan menarikku serta Indah untuk berdiri juga.
“Semoga kamu senang dengan hp itu,” kata Aira untuk yang terakhir, karena setelah itu ia segera menarik kami untuk segera pergi dari rumah Dinda. Aku tidak sempat menoleh lagi pada Dinda, dan memang enggan untuk menoleh karena aku tahu perasaan Aira. Indah juga sama sepertiku. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Aku mengerti perasaan Aira. Ia pasti merasa dikhianati, apalagi oleh teman terdekatnya. Bukan sebulan dua bulan kami berempat dekat, namun hal seperti ini tidak pernah terpikirkan oleh kami. Apakah ini salah kami yang tidak terlalu memerhatikan perasaan Dinda yang ternyata dia iri melihat teman-teman menggunakan hp terkini yang canggih.
Sebenarnya aku juga sebagai orang yang masih menggunakan hp jadul terkadang iri melihat teman-teman di kelas menggunakan smartphone apalagi hal itu lumayan penting karena semua pembahasan tentang kelas dibahas di grup whatsapp yang tidak bisa diinstall di hpku. Namun itu tidak membuatku berpikir untuk sampai mencuri milik orang lain.
Ah, entahlah aku pusing memikirkannya. Aku melirik Aira, dan dia masih melamun sepanjang perjalanan kami menuju rumah.
Penulis: Uyun, mahasiswa di perguruan tinggi daerah Banten. Hobi menulis dan aktif UKM Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra).