Sun, 08 Sep 2024
Cerpen / Kontributor / May 26, 2021

Warung Makan

Hari ini kebebasanku direnggut oleh warung makan ini, setelah bertahun-bertahun menganut kemerdekaan ala-ala diri sendiri. Hal yang paling inti adalah persoalan paling mendasar untuk tubuh, tidur.

Dulu mata begitu merdekanya menutup diri dan semau-maunya membuka katupnya kembali. Tetapi saat ini, semuanya telah diatur oleh suara lonceng sialan yang berada dalam toilet itu. Suaranya yang sangat keras adalah dering paling bising melebihi rentetan klakson pada macetnya jalan raya dari orang-orang yang memikirkan dirinya sendiri.

Warung makan ini berdiri di pinggiran kota, dengan menawarkan harga yang paling murah orang-orang berdatangan tak ada habisnya. Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang umurnya sudah mulai senja tapi kekuatan dalam mengeluarkan kata-kata masih tampak garang.

Ya setiap hari kesalahan selalu nampak di hadapannya, terutama di mata sang istri. Dan kami pekerja di dalamnya adalah pelampiasan dari kemarahan itu. Sang istri disini adalah pengendali dari semuanya terutama mengendalikan kepala sang suami.

Sang istri seakan menjadi kepala keluarga yang hanya merenungi kesunyian di dalam kamarnya ditemani sebuah TV ukuran besar sedangkan suaminya akan sibuk di dapur meracik makanan sesuai selera empunya lidah.
Malam ini, suasana tampak sepi. Hanya 4 meja yang terisi oleh manusia-manusia yang lelah sehabis pulang kerja. Tiba-tiba seorang anak lelaki masuk dengan memakai kaos oblong yang tampak kedodoran, celana kain panjang dan tubuh yang tak pernah tersentuh air seharian.

Dengan membawa beberapa buku kumpulan shalat dan setumpuk stiker bertuliskan kaligrafi lafal Allah dan Rasulullah, dia berkeliling dari meja ke meja dan menawarkan itu. Orang-orang tampak acuh tak acuh, tanpa rasa peduli mereka hanya asyik menyantap makanannya masing-masing.

Tiba-tiba si pemilik warung, laki-laki dengan kepala botak mengusir anak itu. Katanya anak-anak seperti ini adalah hasil suruhan dari seseorang dan ini semuanya penipuan.

Aku merogoh kantong celanaku dan ternyata di dalamnya kosong tanpa apa-apa. Aku hanya menatap lirih pada anak itu seiring langkah kakinya yang beranjak keluar.

Ternyata kemanusiaan telah sekerdil ini, di hadapan mereka yang punya segalanya. Bukankah memberi adalah perihal keikhlasan tanpa memandang latar belakang yang menyertainya. Tapi, hal ini tidak berlaku pada lelaki tua yang matanya tidak pernah lepas dari kalkulator itu.

Pagi ini aku melonjak kaget, aku masih diburu kantuk. Tubuhku masih malas menggerakkan sendi-sendinya.
Tapi sial, suara lonceng itu kembali menggegerkan kerajaan kecil kami, kamar tidur ini.


Penulis: Harsandi, saat ini menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar mengambil prodi jurnalistik. Telah menerbitkan lima buku kumpulan puisi dan beberapa antologi dengan penulis lainnya. Dapat dihubungi melalu Instagram harsandi_pratama.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.