Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / May 09, 2020

Yang Menggenang Dibelantara Ingatan

Aku menyaksikan senyum Yudha yang merekah sepulang kuliah, aku yakin ada kabar gembira dari kampusnya. Kabar yang kadang sebenarnya tidak ada hubungan dan kepentingan bagiku. Tapi, melihat sang kekasih begitu antusias menceritakan hari-harinya, siapa yang akan menolak? Mendapati wajahnya berbinar-binar adalah sebuah kelegaan tersendiri untukku.

Awal kali melihatku katanya, saat aku menjadi moderator di acara literasi. Ia bercerita banyak dengan tatapan yang tidak melekat dari wajahku, dan yang paling ku ingat dari kataannya bahwa “aku sangat ingin bertemu kamu lagi setelahnya.” Matanya yang begitu jujur, membuatku berani menjelajah disana.

Meskipun sejujurnya sempat aku berpikiran untuk tidak menjalin hubungan, lantaran dia terlihat biasa saja, aku tidak menemukan aura jika dia akan menduduki jabatan di organisasi atau menjadi role model, atau sederhananya, dia bukan siapa – siapa. Sedangkan, aku perempuan karir.

Aku juga tidak begitu suka dengan caranya berpakaian saat kencan pertama kami. Terlalu rapi dan tidak memperlihatkan sisi maskulinnya, ditambah aroma parfum yang melekat. Namun, kelamaan menyendiri dan tidak ada pasangan untuk berbagi cerita, seolah situasi mendorong untuk segera memiliki kekasih, pikiranku memilih dia ‘Yudha’.

Dia adalah lelaki yang paling sering memandangku begitu khusyuk, aku terjatuh, enggan menahan diri, sangat jauh dalam harapan yang panjang untuk bersamanya.

Perlahan, aku menyaksikan karirnya di organisasi meningkat pesat, mulai dari menjadi pembicara saat pengkaderan, saat kajian. Yudha selalu melakukan prospek dihadapanku sebelum membawa materi, barengan ke lokasi, kemudian singgah makan Coto. Masih hangat di pikiran ketika dia bercerita, pernah di tengah malam, sangat ingin makan Coto dan mencari hingga ke Perintis.

Aku menemani Yudha di lokasi, memang sudah ku duga sebelumnya kami datang terlalu cepat. Tapi, mungkin karena ini moment bahagia untuk Yudha, jadi dia datangnya lebih awal. Setelah memastikan dia tidak akan sendirian dan orang – orang mulai berdatangan, aku berpamitan.

Aku bukan tipekal perempuan  yang dimana semua orang termasuk juniornya harus tahu kalau “saya pacarnya” penegasan seperti itu tidak penting, bukankah hubungan adalah sebuah privasi?.

Di samping itu, Yudha juga menjadi pengirim tulisan yang aktif, walau tim redaksi selalu mengatakan karyanya kadang mengandung unsur plagiatisme atau kadang pula cacat. Toh, buktinya, tulisan Yudha selalu jadi trending topik dengan pembaca terbanyak, Yudha juga sangat aktif mempromosikan perusahaan literasi kami yang baru berumur jagung.

Semakin kemari, aku semakin melihat potensi Yudha untuk menjadi “Sesuatu” dan aku semakin jatuh hati padanya, pada karya tuilsannya, pada tatapan, pada caranya menggangguku melalui kaca spion dan juga senyumannya.

Tapi, aku merasa bukan hanya aku saja yang semakin jatuh cinta, ada orang lain. Wajah Yudha yang komersil, karir di organisasi yang semakin nampak dan tulisan yang rajin ia bagikan, membuatnya banyak didekati perempuan secara diam-diam. Yah! Itu dugaan awal, ketika Yudha tidak lagi menegurku jika terlalu sibuk bergelut dengan HP, tidak lagi cemberut bila tidak dipedulikan.

Perasaan was-was itu muncul seketika, bahasanya “Takut kehilangan”, aku berubah menjadi lebih possesif, ingin tahu siapa saja yang dia temani berbincang di social media dan juga siapa saja yang dia temui hari ini.

Perasaan itu membuat pekerjaanku berantakan. Setiap mentari mulai berada di tengah hari, aku akan melesat meninggalkan kantor, merelakan punggung tangan dijilati sengat matahari. Entah, ini rindu atau kebutaan, tapi aku harus memastikan hubungan kami baik – baik saja.

“Tidak perlu berangkat kuliah hari ini!” kataku yang membuat keningnya mengerut, memang akhir – akhir itu aku sangat sensitif.

“Jangan begitu, Keti daritadi sudah menelfon”

Aku menggubris dengan mengunci pintu rumah dan menyita  kunci motor. Dia tidak angkat suara lagi, selain mengganti pakaian dan membuang diri di kasur dengan wajah yang masam. Sungguh aku tidak peduli, meski terdengar hpnya terus berdering, sebab beberapa saat kemudian ketika matkul telah usai, ia akan pulih dengan sendirinya.

“Besok kampusmu demo?,”

“Kurang tahu juga, lagian kalau demo itukan wajar, Pemerintah makin Arogan.”

“Besok kalau kamu ikut demo, aku datang meliput, keren tuh kamu aktivis saya wartawan,” ucapku sudah mengkhayal betapa kerennya kami besok.

“Jangan kebanyakan halu, ayo makan!”

Hatiku mengerutu, dasar Kader gagal sok tampan!.

“Ayo keluar makan!”

“Iya, tidak usah ngegas!”

Rumah ini menyimpan ribuan misteri tentang kehangatannya,   teman – teman Yudha begitu ramah terhadapku, kami makan bersama, bercanda dan tertawa lepas.

Walau aku dengan sadar tahu, Yudha sangat tidak menyukai tingkah berandalanku di rumah, apalagi membahas sesuatu yang bugil. Saat kami ngumpul, Yudha biasanya memilih menyingkirkan diri ketimbang ikutan nimbrung pada pembahasan konyol.

Setelah masuk ke ruangan pribadi kami, dia tidak akan memulai pembicaraan, wajahnya datar menatap layar ponsel. Aku sengaja, dengan sangat gampang mempork-porandakkan suasana hati Yudha, tinggal menurunkan beberapa buku dari rak, lalu menyimpan disana-sini, tatapan sinisnya sudah mulai bekerja dan aku menertawakannya.

“Maaf”

“Memang kalau satu kali di kasih tahu pasti tidak paham, saya tidak larang kamu dekat dengan mereka, tapi tolong jaga pikiran mereka tentang kamu, jangan sampai mereka berpikiran yang tidak-tidak!”

Celotehan itu selalu membuatku meletup-letup bahagia, nyaris selalu gagal menyembunyikan senyum malu yang dianggapnya “ngeyel”

“Tuhkan, kalau di kasih tahu malah ketawa, memang dasar kepala batu!”

“Iya janji, tidak akan terulang.”

“Ahh bosan makan janji, begini jadinya kalau di sayang pasti banyak tingkah.”

Pelukanku akan segera mendarat di tubuhnya yang hangat, wangi dan aku tidak akan pernah lupa bahwa tubuh itu adalah milikku, dia kepunyaanku, hatiku tenang disana. 

*

Hari ini benar – benar hari penting dan tidak bisa berhaha-hihi meninggalkan kantor seperti biasa, aku harus presentase di depan CEO untuk program kerja, bisa habis aku di sikat bos kalau menggunakan jurus menghilang dikeadaan penting seperti ini, sementara Yudha belum juga memberi kabar, tidak menerima panggilan, apakah rasa harus sebucin ini dengan hasrat tiap hari ingin bertemu?.

“Sayang.” Pesannya masuk.

“Kamu dimana?”

“Kamu makan yah, jangan banyak pikiran dan jangan lupa senyum, Karena saat ini hanya senyummu yang mampu menenangkan.”

“Makanmu jangan sambil ngebucin, jam satu kamu presentase, bahanmu sudah siap?” Rian menegurku.

“Siapa yang ngebucin, saya hanya baca chatt, lagian Yudha kan salah satu Investor tulisan yang mesti kita jaga”

“Ngeles terus”

*

Bukan aku kalau tidak mempersiapkan segala sesuatu, untunglah akal sehatku masih bekerja, karir ternyata masih menjadi tolok ukur pertama bahagiaku. CEO dan rekan-rekan kerjaku pasti tersenyum untuk ini.

“Start-up Literasi kita ini sudah unggul dengan beberapa poin, seperti memberi royalti tiap pekan bagi Penulis Favorit, mengumpulkan koin yang bisa dikonversi ke rupiah ataupun dollar. Tapi, saat ini yang menjadi problem kita, bagaimana cara memperkenalkan secara luas Start Up Literasi ini dari bawah?, saya mempunyai tiga penawaran utama sebagai pokok pemecahannya. Pertama, kita mengadakan kerjasama dengan instansi Pemerintahan seperti Dinas Pendidikan, Dinas Balai Bahasa dan Dinas lainnya yang mendukung kesejahteraan literasi, kedua Touring literasi dan ketiga membangun hubungan dengan kampus-kampus serta komunitas literasi baik secara sponsorship ataupun ikatan emosional, saya mencanangkan program ini paling lama setahun, saya yakin dan percaya diri, start-up literasi kita akan sukses sesuai ekspektasi.

“Apa yang akan kita dapatkan dari Touring Literasi?

“Dari Touring Literasi ini, tentunya kita akan mempelajari pasar, mood penulis, pembaca dan apa saja yang mereka temui saat berkenalan ataupun telah bergelut dengan dunia literasi, bukan hanya itu, Touring literasi akan kita manfaatkan untuk memberi edukasi kepada anak bangsa. Negara kita tidak akan pernah bisa maju jika generasi bangsa masih minim minat baca dan menulis.”

Dan akhirnya, aku mendapatkan senyum dan a plus dari mereka yang menyimak sejak awal.

“Congrats yah,” Ika memberiku selamat

“Thanks Kak”

“Soal presentase memang oke, tapi jangan lupa tugas e-book mu belum selesai dan deadline hari ini,” Rian ikutan nimbrung

Aku menepuk jidat, benar-benar lupa “Memang si Koratur sudah ngirim balik?”

“Sudah, cek saja emailnya” Ika menyahut.

“Covernya sudah jadi?”

“Sudah”

“Haaaaaaa….” Aku berteriak girang, tulisan Yudha terpilih sebagai judul buku, tidak sia-sia aku promosi ke Koratur.

“B aja kali, lagian tulisan Yudha naik pasti gara-gara kamu push terus Koraturnya.”

“Sirik aja kamu Kak Rian.”

“Kami balik yah Bil, semangat!.”

Setelah mereka berlalu, dua orang yang menjadi keluarga di kantor, aku mulai memperbaiki posisi duduk, menyibukkan diri di depan layar komputer. Pikiranku tidak diracuni lagi oleh hilangnya kabar dari Yudha.

Hingga hampir pukul tujuh malam, hpku berdering telfon dari Yudha, bahkan aku sudah tidak sepenasaran tadi ketika menerima pesannya.

“Kamu dimana?”

“Di kantor, kenapa?”

“Mau minta di jemput nih, saya ada sekitar jalan Pettarani pas pertigaan.”

“Kamu darimana memangnya.”

“Dari demo, kamu jemput sekarang yah, laper nih belum makan daritadi.”

“Iya tunggu disitu jangan kemana-mana, sepuluh menit lagi, ku kabari.”

Aku menghembuskan nafas panjang, bukan lega. Tapi, karena kenapa Yudha mesti mengabari saat kerjaan juga dikejar deadline?, tadi dia berangkat pergi demo sama siapa?, kenapa tidak minta diantar pulang sama teman atau juniornya? Dan bodohnya mana mungkin aku mempertanyakan itu, jangan sampai dia ngambek. Aku hanya menyambar tas dan tidak membereskan yang lainnya, dengan sangat terpaksa, aku harus meninggalkan kerjaan.

Hiruk pikuk Kota Makassar hingga macetnya disekitaran Tol Layang yang belum selesai di bangun, cukup menguras waktu melebihi sepuluh menit, Yudha pasti sudah spam chatt, kurasakan hpku berdering sedari tadi. Dan, aku menemui dia di pinggiran jalan sedang gusar celingak-celinguk, spontan membuatku tertawa menghampirinya.

“Kirain orang kesasar”

“Kamu yang bawa motor yah.” Aku mengangguk, segera melesat ke tempat makan Coto, kami berdua pecinta Coto. Yudha dan aroma coto adalah paket komplit.

Di perjalanan pulang selepas makan, Yudha tidak menceritakan banyak hal, pasti dia sangat kelelahan dengan dunia kampus dan tuntutan sebagai organisatoris untuk turun ke jalan, mantan anak pesantren yang sungguh lembek.

Aku mengusap rambut kekasihku dengan penuh kelembutan, mendaratkan segala perasaanku untuknya melalui kecupan hangat di kening. Aku bereharap, dia merasakan kehadiranku.

“Kamu istirahat, tidur yang nyenyak, besok jalanan masih menunggu,” kataku lembut berbisik.

“Besok kamu kemana?.”

“Turun juga ke jalan, bagaimanapun saya juga seorang aktivis, baik kamu dan mereka, tidak peduli dari organisasi apapun atau bahkan tidak memiliki organisasi. Tapi, kita satu cita-cita, menolak Omnibus Law.”

Yudha memperbaiki posisinya untuk duduk di hadapanku, dia menatapku lagi dengan khusyuk, mengecup keningku, lalu kami berpelukan cukup lama untuk saling merasakan kehadiran. Kemudian, aku berpamitan pulang, padahal sebenarnya harus kembali ke kantor lagi menyelesaikan kerjaan.

Kurang dari 15 menit sudah pukul sebelas malam, akhirnya kerjaanku beres. Setidaknya besok jurus menghilang boleh berlaku. Sebelum pulang, aku membuka galeri memandangi foto Yudha yang begitu manis dan rupawan. Pak Presiden, aku jatuh cinta pada rakyatmu satu ini.

Ternyata berada di lingkup asmara, saling memiliki adalah hal yang sangat mengasyikkan, tidak seburuk drama korea atau rahasia illahi. Aku tidak pernah sebelumnya mengizinkan siapapun itu mengganggu integritas perasaanku dengan jatuh cinta. Tapi, kali ini beda, rasanya begitu nyata.

*

Penulis: Fahria Fahri.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.