Anak Muda, Pahlawan dan Krisis Iklim
10 November yang tepat jatuh pada hari ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Peringatan ini sebagai momen untuk mengenang para pendahulu yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah mencatat peristiwa momen 10 November 1945 menjadi salah satu pertempuran sengit khususnya di Surabaya saat rakyatnya menolak ultimatum dari pasukan Inggris sehingga terjadilah peristiwa bersejarah.
Momen yang juga banyak menewaskan rakyat Surabaya saat itu namun pengorbanan mereka telah membuat kita hingga sekarang ini terbebas dari penjajah. Tahukah bahwa salah satu pihak yang berperan besar saat itu adalah anak muda?
Kita mengenal Sutomo, Soemarsono, Abdul Wahab, Sutarti, Sri Lestari, Sri Haruni hingga Asmanu dan Usman. Para pemuda pemberani itu memiliki peran dan tanggung jawab berbeda untuk melawan para penjajah. Namun tulisan ini tidak cukup panjang untuk memuat semua nama pemuda yang berperan saat itu.
Apa yang ingin disampaikan bahwa anak muda memiliki peran sentral dalam sejarah Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Di masa sekarang, peran anak muda sangat sentral dalam berbagai isunya masing-masing.
Mulai dari isu ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, hingga lingkungan. Beragam cara yang ditempuh agar pesannya dapat disampaikan. Namun kali ini, penulis akan fokus terhadap isu anak muda dan krisis iklim.
Krisis iklim terus menjadi perbincangan yang tiada hentinya. Isunya menjadi terus mencuat lantaran kondisinya yang semakin mengkhawatirkan. Apalagi saat ini adalah momen COP ke 26 yang masih berlangsung di Glasgow, Skotlandia. Tulisan ini akan mengulas mengenai anak muda saat ini dalam perannya terhadap melawan krisis iklim.
Krisis Iklim Mengancam
Dari tahun ke tahun kita telah disajikan berbagai data yang semakin menunjukkan dunia mengalami krisis iklim, bahkan beberapa diantaranya menyebut darurat iklim. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada agustus lalu merilis mengenai kondisi krisis iklim global.
Temuannya memberi sinyal merah terhadap kondisi iklim sekarang ini. Dalam dua dekade mendatang, kenaikan suhu bumi akan mencapai 1,5 derajat Celcius. Padahal laporan IPCC tahun 2014 kenaikan suhu tersebut akan terjadi tahun 2100. Lebih buruknya, laporan juga mengungkap bila suhu bumi akan naik 3,5 hingga 5,7 derajat Celcius.
Indonesia pun tidak terlepas dari krisis iklim. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam publikasinya tahun 2016 menunjukkan dampak krisis iklim akan menyebabkan kenaikan suhu berkisar 0,5 hingga 3,92 derajat Celcius pada tahun 2100. Kemudian terjadi kenaikan muka air laut yang mencapai 175 cm tahun 2100.
Dampak dari semua itu menyebabkan penurunan ketersediaan air, hilangnya keanekaragaman hayati serta perubahan produktivitas tanaman. Sebagai contoh hasil riset dari Widayat, Anhar dan Baihaqi tahun 2015 mengungkap terjadinya penurunan produksi kopi akibat suhu yang diakibatkan banyaknya serangan hama.
Aktivitas yang tidak memperhatikan aspek lingkungan yang komprehensif bukan hanya turut memperparah krisis iklim, melainkan berimbas kepada masyarakat. Aktivitas tersebut terjadi mulai dari dataran tinggi, hutan, karst, perkotaan hingga pesisir dan pulau-pulau kecil.
Catatan Akhir Tahun (Catahu) WALHI Sulsel tahun 2020 mengungkap korban terhadap perampasan ruang dan pengrusakan lingkungan mencapai 8,85 juta penduduk. Jika dimaterilkan, perampasan ruang, pengrusakan lingkungan dan bencana ekologis yang terjadi di Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2020 menyentuh angka 8,24 triliun rupiah.
Tentu kondisi tersebut menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan tidak terlepas dari aktivitas yang turut memperburuk krisis iklim. Hal ini menjadi peringatan agar kita semua dapat berperan untuk memperbaiki kondisi lingkungan.
Anak Muda Sulsel
Kekuatan anak muda dalam berbagai lini telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan, baik di tingkat global, nasional hingga lokal. Sejarah mencatat peristiwa penting yang melibatkan anak muda baik dari pra kemerdekaan hingga sekarang ini.
Mengapa hal tersebut terjadi? Karena anak muda memiliki potensi, daya yang besar untuk melakukan suatu hal. Di masa sekarang, kontribusinya masih terus berlangsung. Bukan tanpa sebab, lantaran anak muda dibekali dengan modal akses teknologi, daya kreativitas hingga semangat dalam berkolaborasi.
Di Sulawesi Selatan sendiri, lebih dari sepertiga jumlah penduduknya masuk kategori anak muda. Sebanyak 3.103.596 dari 9.097.509 berada dalam kategori usia 15-34 tahun. Hal ini tentunya menjadi peluang menjadikan anak muda berperan sentral terhadap perbaikan lingkungan hidup di Sulawesi Selatan.
Hasil survei WALHI Sulsel tahun 2020 menunjukkan sebagian besar anak muda telah mempraktekkan perilaku peduli lingkungan. 97% bersedia membantu korban bencana ekologis. Riset yang diterbitkan oleh WALHI menunjukkan jika anak muda sepakat bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah kejahatan lingkungan.
Temuan tersebut menjadi angin segar bahwa pelibatan anak muda dalam gerakan lingkungan akan memperkaya ruang gerak dan metode dalam melawan krisis iklim. WALHI Sulsel yang menyadari peran tersebut turut melibatkan anak muda dalam setiap upaya penyelamatan lingkungan hidup.
Kampanye, riset/asesmen, aksi langsung hingga agenda advokasi adalah kontribusi yang dapat dilakukan oleh anak muda. Melibatkan anak muda dalam gerakan lingkungan akan berdampak terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Selatan.
Pertanyaannya adalah, dapatkah anak muda menjadi pahlawan untuk perbaikan iklim yang lebih baik di masa mendatang?
_
Muhammad Riszky
Editor Pronesiata.id