Fri, 13 Dec 2024
Esai / Kontributor / May 17, 2020

17 Mei: Post-Truth dan Literasi di Tengah Pandemi

Merayakan sebuah momentum memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ada saja episentrum tersendiri dibaliknya, sekedar tahu, lewat begitu saja, ataupun dirayakan dengan berbagai event. Tergantung bagaimana seseorang memandang momentum tersebut.

Pro dan kontra yang hadir pun tak terhindarkan. Perayaan bukan hanya persoalan perayaan angka, tapi dibalik makna angka tersebut tersirat sebuah petuah hidup, refleksi dari satuan, puluhan bahkan ribuan angka telah dilewati dan dijadikan pembelajaran.

Dewasa ini, dimasa pandemik mengakibatkan berbagai bentuk perayaan pun terkendala. Momentum hari Buku Nasional misalnya. Tanggal 17 Mei 2002, siapa yang tak tahu angka tersebut, apalagi sejarah dibalik lahirnya perayaan momentum yang setiap tahun dirayakan oleh sebagian kalangan masyarakat. Tanggal 17 Mei 2002 dipilih atas ide dari menteri Pendidikan saat itu. Hari sama dengan pada saat didirikannya Pepustakaan Nasional Republik Indonesia di tahun 1980.

Dilansir dari kumparan.com, tingkat kemampuan membaca masyarakat Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas hanya 87,9 persen. Sementara Malaysia mencapai 88,7 persen dan Thailand 92,6 persen. Artinya pada masa itu masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak tahu membaca.

Adapun tingkat produksi buku Indonesia pada tahun 2002 hanya mencapai mencapai rata-rata 18.000 judul buku setiap tahunnya. Sangat jauh berbeda dengan tingkat produksi buku di Tiongkok yang mencapai 140.000 judul buku setiap tahun. Berangkat dari fakta tersebut muncullah ide Abdul Malik Fadjar untuk menetapkan hari buku nasional sebagaimana adanya World Book Day.

Merayakan hari Buku di Masa Pandemik

Kalau kita telisik lebih jauh, bahwa memang sejak tahun 2002 minat baca memang sangat kurang. Fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Memperingatinya bukan sekedar hadir begitu saja, pesan yang disampaikan untuk meningkatkan budaya membaca, menumbuhkan kembali minat literasi, selain menambah wawasan, serta mengasah kreativitas dan juga imajinasi. Dimasa pandemik seperti ini, membaca adalah salah satu upaya kita merawat kewarasan selama dirumah saja. Mengisi waktu luang dengan kembali membuka catatan-catatan yang telah usang.

Di era revolusi industri 4.0 seakan tahu bahwa akan hadir datangnya masa pandemik ini, kenapa tidak, melihat perang sosial media dalam menggelontarkan opini-opini publik bagi pengonsumsinya. Aktivitas diluar ruangan yang dibatasi meniscayakan timbulnya rasa bosan. Mungkin seperti itu hal yang saya tangkap dari percakapan via whatsapp beberapa hari yang lalu bersama salah satu teman.

Dampak positif dari sosial media sendiri dimasa pandemi ini dengan banyaknya diskusi-diskusi daring yang bisa kita ikuti bermodalkan jaringan dan tentunya kouta internet, pemanfaatan gramedia digital upaya menumbuhkan minat baca kita, dan juga infomasi-informasi dari sosial media berupa infomasi terkini juga harusnya dijadikan kekuatan kita, bukan kelemahan di masa pandemik.

Tapi, kecanggihan teknologi informasi yang seharusnya membawa dampak positif, justru menjadi bumerang. Media sosial sebagai bagian dari new media telah memberikan pemahaman baru bahwa kekuasaan bekerja di seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam ruang virtual.

Dalam pembentukan suatu wacana di masa pandemik ini diperlukan adanya politik ruang (a politics of space) sebagai ranah pertarungan wacana terjadi; wacana utama (main discourse) dengan wacana tandingan (counter discourse). Media sosial menjadi alat yang menanamkan konsep kebenaran dan memungkinkan penciptaan rezim wacana yang berpotensi membingkai kepentingan menjadi sebuah fakta

Kebenaran di rezim post-truth yang semakin semu akibat mediasi teknologi dapat menjerumuskan pada kebohongan, kepalsuan, dan misinformasi masyarakat.

Penulis berita palsu mulai gemar menyusun narasi yang sensasional, baik untuk menghasilkan uang dari iklan ataupun untuk mendeskripsikan kualitas memalukan kepada orang-orang tertentu. Hasil narasi kebohongan kemudian di posting, tweet, dan tag dalam platform media sosial yang tanpa konteks untuk dikritik dan dinilai. Hal inilah yang jadi sorotan pada kondisi ini, penggunaan yang bijak dalam bersosial media dengan meningkatkan literasi digital.

Ya, selamat datang di era Post-Truth keadaan dimana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.

Memaknai tanggal 17 Mei 2020 di era Post-Truth sebagai peringatan hari buku nasional versi #dirumahaja dijadikan momentum kita dengan bijak menggunakan teknologi yang ada, dengan tidak mudah menerima begitu saja infomasi-infomasi yang hadir. Dengan membaca, upaya mensejahterakan masyarakat dan tentunya kita waras.

 

Penulis: Wilda Amrah, Koalisi Pemuda Hijau Indonesia Regional Sulawesi Selatan.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.