23 April, Dedikasi Bagi Penulis dan Pecinta Buku
Ada yang mengatakan bahwa meninggalkan karya di dunia ini akan membuat jiwa hidup untuk selamanya, sekalipun raga telah lama di timbun tanah. Dan karya yang dimaksud disini tentu beragam, ada berupa lukisan ataupun penemuan yang diracik sesempurna mungkin ke dalam berbagai bentuk. Atau malah disulap menjadi buku yang mana si penciptanya menuangkan seluruh penemuan yang bercampur dengan imajinasinya disana.
Alhasil? Dari bukulah kadang seseorang berubah pikiran, termotivasi, merasa terhibur, merasa kagum bahkan dari buku kadang seseorang kembali ke masa lalu atau bahkan langsung menuju ke masa depan.
Islam sendiri yang merupakan Agama yang paling komprehensif pun tak pernah ketinggalan dengan ajakan baca tulis. Maka tak heran rasanya jika para ulama benar-benar menghabiskan waktu dengan membaca dan meninggalkan karya tulis, yang sampai sekarang masih tetap dijadikan sebagai referensi dalam menggali sejarah ataupun hukum Agama.
Sehingga dari pemandangan ini yang setiap saat kita dihadapkan dengan aktivitas baca tulis, tentu bisa kebayang jika saja dunia ini tak pernah menghadirkan yang namanya buku? Bagaimanakah dunia ini bisa maju?
Bukankah perkembangan demi perkembangan yang ada, adalah berasal dari buku-buku lama yang mana penemuan-penemuan disana dianggap klasik hingga harus diperbaharui? Maka tak aneh jika pada tanggal 23 April dinobatkan sebagai hari buku sedunia yang tidak hanya didedikasikan pada buku semata, melainkan kepada para penulis yang tanpanya tentu buku tak pernah hadir.
Adapun diantara penulis yang menutup usia pada tanggal 23 April ialah William Shakespeare, yang mana salah satu karya terbesarnya ialah kisah antara Romeo and Juliet, sebuah kisah romantis yang memberikan pesan bahwa yang namanya cinta tentu seluruhnya akan rela dikorbankan termasuk nyawa.
Masih membahas tentang betapa pentingnya buku, tentu para tokoh-tokoh besar mulai dari pejabat negera sampai pada tokoh agamawan tentu akan beranggapan bahwa buku adalah makhluk yang amat menarik bahkan wajib untuk kita cintai. Bahkan atas kecintaan sosok Muhammad Hatta terhadap dunia membaca dan menulis, beliau menjadikan buku sebagai mahar ketika meminang sang pujaan hati, yaitu Rahmi Rachim. Dan Usai pernikahan, barulah Ibu Rahmi mengakui bahwa sang Suami rupanya memiliki tiga istri, pertama adalah tikar sembahyang, kedua adalah buku bukunya dan ketiga ialah Rahmi Rachim sendiri.
Tidak hanya itu, bahkan atas kecintaan seseorang terhadap buku dan dunia tulis menulis pun, seseorang sengaja mencari tempat aman untuk bisa fokus terhadap aktivitas ini, Bukankah Emily Dickinson si penulis pada abad ke 19 memilih untuk mengasingkan diri dari keramaian, mengapa? Karena dengan berada dalam ruang sepi akan membuatnya lebih mendalami racikan syair yang ada di kepalanya.
Sebaliknya, dalam situasi yang mencekam pun seseorang bisa saja tetap memilih untuk menulis sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Nonna Bannister, si Penulis yang hidup pada masa perang dunia ke 2 yang membuat dirinya dan keluarga kehilangan apa yang mereka miliki. Alhasil? Nonna Bannister dan ibunya pernah bekerja di sebuah rumah sakit dengan merawat para tahanan perang.
Mengingat Nonna Bannister dikenal sebagai sosok perempuan yang menguasai enam bahasa, akhirnya dia menuliskan segala apa yang dirasakannya dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh para Nazi, kemudian bukunya tersebut di simpan di balik bantal yang diikat ditubuhnya.
Selain itu, jikalau para penjahat merasa terkungkung di dalam penjara, maka lain halnya dengan para tokoh yang menghabiskan waktunya disana dengan membaca dan menulis. Dari hal ini tentu mereka akan beranggapan bahwa penjara adalah tempat dimana mereka merasa bebas karena hadirnya si pena dan si buku itu.
Adolf Hitler si diktator yang dikenal kejam salah satunya, ketika harus mendekam dalam penjara dikerenakan telah berlaku makar. Rupanya beliau tidak tinggal diam begitu saja dalam penjara, malah disanalah seorang Adolf kembali berjuang lewat tulisan tulisannya hingga lahir Mein Kampf (Perjuanganku), yakni buku yang langsung meledak dipasaran ketika terbitan pertamanya pada tahun 1925.
Sama halnya jika melirik kisah para ulama yang malah menghasilkan karya besar dalam dekaman penjara, sebagaimana yang dilakukan oleh Buya Hamka yang mana ketika beliau penjara dikarenakan adanya tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif terhadap dirinya, ternyata tangan beliau mencetak Tafsir al Azhar disana sebagai salah satu kitab Tafsir Lokal negeri ini.
Lantas mengapa mereka menulis? Tentu ini bukan bercerita tentang uang, ataupun karena mereka ingin dengan cepatnya terkenal. Tapi ini tentang keabadian, yang mana mereka tak ingin mendedikasikan kematian sebagai tahap dimana kita benar benar menghilang dari dunia ini, tapi bagaimana cara kita membagi sesuatu yang kecil dan dianggap bermanfaat kepada banyak orang dan terus dikenang.
Untuknya, jika kita tidak mampu mengabadikan jiwa lewat karya-karya sebagaimana yang diciptakan para penulis diluaran sana, setidaknya kita mencintai aktivitas membaca itu hingga memberikan kita pengetahuan yang luas akan apa-apa saja yang ada di dunia ini. Paling tidak dengan membaca kita bisa paham akan begitu banyaknya hal yang tidak kita ketahui di dunia ini, hingga dengan membaca kita semakin merasa bahwa kita sebenarnya tidak tahu apa apa.
Selamat hari buku Buku dan selamat mencintainya, ingat! cintai dia tanpa harus berniat untuk meninggalkannya.
Penulis: Rosmawati, lebih sering dipanggil Nonna ini merupakan mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Alauddin Makassar.