Ada Udang Dibalik COVID-19
Seakan goresan tinta ditanganku seperti magnet yang terus saja menulis luapan perasaan yang selama ini dipenuhi dengan keambiguan selayaknya perahu yang berlayar tanpa arah dan tujuan. Penulis Seakan perlu kompas yang memiliki arah yang jelas dan sampai pada tujuan sesungguhnya.
Mungkin seperti itulah luapan perasaan kita khususnya saya pribadi Setelah ditetapkannya pandemi COVID-19 sebagai pandemi Global. Melansir dari kompas.com (02/05/2020) bahwa data dari Gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 RI bahwa sudah ada 10.843 kasus, Dirawat 8,347,meninggal 831, dan yang dinyatakan sembuh 1.665, Hal tersebut membuktikan bahwa Pandemi ini adalah suatu masalah yang sangat serius.
Wajib hukumnya diakui bahwa pandemi COVID-19 tentu melahirkan banyak polemik diseluruh kalangan, baik dikalangan Sosial, Budaya, dan Ekonomi bahkan menjalar sampai pada permasalahan Hak asasi Manusia. Dimana dari sudut pandang sosial dapat dilihat bahkan telah dirasakan di Daerah masing-masing adanya konflik dikalangan masyarakat dengan sesamanya, aparat dengan warga, bahkan petugas kesehatan dengan warga. hal tersebut tentu mengikis harmonisasi sesama penduduk.
Konflik terjadi disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau gagal paham yang dialami masyarakat terkait pandemi COVID-19, sekilas penulis selaku masyarakat biasa, yang tidak memilki hubungan darah dengan pemerintah dan hanya orang awam yang meneropong melalui masyarakat. Bahwa kurangnya edukasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya tentang pandemi tersebut, konflik terjadi yaitu sikap masyakat yang terlalu lebay atau parno menyikapi pendemi ini sehingga menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan yang berlebihan.
Pemberitaan dimedia yang tidak benar/hoax menjadi salah satu faktor penyebeb konflik yang terjadi dimasayarakat, Hal tersebut terjadi baru-baru ini di Majene Sulbar berdasarkan berita dari kompas.com (31/3/2020), yang meyebutkan bahwa penderita COVID-19 dinyatakan meninggal dunia yang dilakukan oleh seorang yang berinisial laki-laki asal Majene, Sulawesi Barat.
Pandemi COVID-19 ini seakan kelompok borjuis yang melumpuhkan perekonomian masyarakat, tapi disisi lain pendemi menjadi salah satu penyumbang ekonomi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dimana banyaknya bantuan dari pemerintah baik dari bantuan tunai maupun non tunai sehingga beberapa masyarakat menjadikan pandemi tersebut sebagai anugrah.. (hayoo istigfar dulu ahha).
Melansir dari Liputan6.com (16/april/2020) yang menyebutkan bahwa Pemerintah siapkan ragam bantuan demi kesejahteraan masyarakat selama pandemi hal tersebut juga sesuai yang diberitakan GridHealth.Id yang menyebutkan bahwa ada 10 bantuan yang diberikan pemerintah Indonesia selama pandemi COVID-19. Diantaranya kebijakan mengenai program keluaga harapan, kartu sembako, kartu prakeja.
Sehingga seketika orang-orang Mampu / kelas atas mendadak jadi miskin lebih tepatnya memiskinkan diri hanya agar supaya dapat menerima bantuan dari pemerintah... (asli Indonesia banget haha) seperti halnya yang terjadi di Bekasi berdasarkan baerita dari Kompas.com (22/april/2020) dimana Ketua RT hingga masayarakat yang punya 2 mobil masih mendapat bantuan Pemkot dan masih banyak lagi yang tidak dipublis oleh media.
Selain itu pandemi tersebut juga merangkak sebagai penjajah hak asasi manusia dimana adanya beban moral bagi para masyarakat yang berstatus ODP, PDP apatah lagi yang sudah dinyatakan positif, yang seketika mengasingkan diri bahkan diasingkan langsung oleh masyarakat setempat. Seperti halnya yang dialami oleh Paulus warga Mamasa berdasarkan berita dari Tribun.com (26 april 2020), yang menyebutkan bahwa Paulus dan keluarganya seorang Istri dan 2 orang anak melakukan Karantina mandiri di tengah sawah karena ditolak oleh warga setempat karena status ODP setiba dari Makassar.
Selain problem yang terjadi dimasyarakat akibat Pandemi COVID-19 ini juga menjadi salah satu rahim lahirnya para aktivis, relawan, lahirnya komunitas baru dengan sembohyang peduli COVID-19, dan terbukanya pintu ruang-ruang dialektika secara online yang dilaksanakan oleh lembaga kemahasiswaan, komunitas kepemudaan.
Bahkan lembaga dari jajaran pemerintah. Seketika orang-orang intelektual pun muncul silih berganti dengan desain pamplet yang luar biasa masuk ke beranda sosial media.
Siapa yang tidak heran? Indonesia telah lama memasuki era 4.0 era serba digital tapi kok baru terlihat implementasinya setalah Pandemi COVID-19 menyerang ya? Dari segi spiritualisme mejawab bahwa mungkin inilah hikma lahirnya pandemi COVID-19. heheheeehhhh.
Lebih mengherankannya lagi banyak ulama-ulama baru, ahli ibadah, yang lahir sekonyong-konyong setelah pandemi COVID-19 lahir lebih dulu. Entah ini ujian nalar atau bagaimana, dimana kebanyakan kaum adam yang menyepelehkan bahkan jarang melaksanakan sholat jumat seketika menjadi pecandu Sholat Jumat yang sibuk mencari mesjid.
Mengkritik aparat pemerintah dan pengurus mesjidlah karena tdk dila ksanakannya sholat jumat dan berjemaah di mesjid. seperti halnya yang terjadi Di wonomulyo Polewali Mandar yang diberitakan detik.news (Jumat /10/april/2020) yang menyebutkan bahwa adanya konflik anatara aparat dengan warga setempat karena ngotot untuk melaksanakan Sholat Jumat.
Ane tapi nyata mungkin inilah kata yang paling cocok saat ini. Alhamdulillah penulis hanturkan, karena berkat pandemi COVID-19 menjadi pintu tobatan bagi banyak umat, semoga saja taubatan nasuha bukan toubatan sesaat.
Sesaat nalar saya berkontraksi dengan indra yang menjadi saksi dengan kondisi yang ada, sadar atau tidak sadar bahwa pandemi COVID-19 mempunyai pesan tersendiri kepada khlayak manusia dimana pandemi ini lahir untuk mengembalikan harmonisasi dan nilai-nilai moral manusia yang sesungguhnya.
Semua orang memiliki kemerdakaan dalam berfikir, tapi tidak semua fikiran kita berlaku kepada semua orang.
Penulis: Nurhaliza, mahasiswa Universitas Negeri Makassar.