Thu, 12 Dec 2024
Esai / Makmur / Oct 23, 2021

Andaikan COVID-19 Bisa di Skip Saat Bulan Puasa

Virus corona telah merebak kemana-mana. Ia telah hampir menyebar ke hampir seluruh penjuru Indonesia. Ia berpindah bagai burung yang berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. ia kemudian menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, kesehatan, dan agama. Ia menjadi masalah manusia di berbagai sektor. Ia menjadi momok yang menakutkan. Ia menjadi penyebab kecemasan kolektif dan individual.

Semua kalangan merasakan dampak merebaknya virus ini. Siapun itu! Apapun latar belakang kelas sosial, agama dan sukunya. Semua merasakan. Meskipun perlu diakui, ada ketidaksamaan derajat dampak dan kesiapan dalam menghadapi virus ini diantara mereka. Tapi toh, poinnya semuanya merasakan.

Kini corona bersamaan dengan datangnya bulan puasa. Dimana di bulan ini biasanya menjadi bulan yang banyak diisi dengan acara berkumpul dan berkerumun. Mulai dari tarwih berjamaah di masjid, buka puasa bersama pacar atau teman, nonton balapan liar setelah sholat subuh, main domino di siang hari, sampai jalan-jalan dan berkumpul di dermga di sore hari. Tapi sekarang dengan adanya corona semuanya jadi sirna. Semuanya dilarang dan dibatasi.

Hilangnya semua aktivitas itu disebabkan oleh adanya himbauan dan larangan dari pemerintah untuk membatasi jarak dan meniadakan kegiatan yang sifatnya berkerumun. Menurut pemerintah upaya ini merupakan upaya preventif yang dilakukan untuk mencegah penularan virus corona.

Kemudian respon terhadap kebijakan dan pembatasan ini cukup beragam. Ada yang mengikut dan menurut, ada pula yang menolak dan melawan. Ada yang menerima sebagian tapi menolak yang lainnya. Variasi sikap inilah yang mewarnai kehidupan kita akhir-akhir ini. Variasi sikap ini menunjukkan adanya perbedaan dalam kesadaran, cara berfikir dan pandangan hidup dalam masyarakat.

Menurut Auguste Comte dalam Johnson (1988), untuk mengerti sebuah kenyataan sosial, maka pahamilah bagaimana epistimologi atau cara berfikir dan cara memandang dunia yang ada dalam masyarakat, baik yang sifatnya dominan maupun yang altrernatif. Dengan analisa ini kita dapat memahami bahwa ada perbedaan cara memandang dunia dalam masyarakat.

Perbedaan pandangan dunia itu dapat terlihat jelas dan kontras dalam kebijakan pelarangan sholat berjamaah di masjid yang belakangan ini menjadi polemik. Sebagian masyarakat sepakat dengan pelarangan ini karna mereka melihat dan memahami masalah ini secara empiris dan objektif berlandaskan paparan dan anjuran dari dokter atau pihak terkait yang memilki kapasitas.

Sementara sebagian lainnya melawan pelarangan ini dengan dalih bahwa ditiadakannya sholat berjamaah di masjid menandakan adanya kelunturan terhadap keimanan dan kepercayaan terhadap Tuhan. Beberapa dari mereka juga berdalih bahwa virus corona tidak masuk ke tempat yang sifatnya suci.

Dengan berbagai alasan itu, tercermin sebuah pandangan dunia yang menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan dan diatur oleh suatu wujud diluar manusia yang sifatnya ilahiah serta manusia hanya menerima dan pasrah atas segala takdir yang telah dan akan diberikan.

Kesadaran dan cara pandang yang terakhir ini disebut oleh Marx, sebagai kesadaran palsu. Sebuah kesadaran yang bertolak belakang dengan kondisi materil atau kondisi nyata yang dihadapi dalam kehidupan (Johnson; 1988). Keterpisahan ini berdampak pada keterasingan seseorang dengan kehidupannya yang rill dan upaya-upayanya yang nyata untuk mengubah keadaan. Kesadaran ini juga, cepat atau lambat akan menjadi katalisator peningkatan penyebaran virus corona kemana-mana. 

Maka dari itu kemudian, perlu kiranya untuk mengubah kesadaran seperti ini. Perlu dilakukan kontruksi kesadaran yang baru agar hal ini tidak terus menjadi polemik. Pendekatan dengan cara mengubah keasadaran dan cara berfikir masyarakat lebih baik ketimbang dengan melakukan upaya yang sifatnya paksaan melalu aparat Kepolian atau TNI.

Upaya paksaan hanya akan menimbulkan konflik dan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Serta upaya ini sebenarnya tidak menyelasaikan akar dari persoalan, yaitu kesadaran masyarakat. Pendekatan untuk mengubah kesadaran merupakan tanggung jawab dari semua lembaga dan intitusi-institusi sosial terkait, terkhusus intitusi keagamaan dan juga kepemudaan.

 

Penulis: Makmur, mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.