Fri, 13 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 26, 2020

Antara Menjilat, Pencitraan dan Menghargai

Setelah mendengar kata itu memang secara linguisitik berbeda namun hampir bersinonim dalam pemaknaan. Dalam hukum identitas seperti yang di bahasakan oleh aristoteles dan pengikutnya (peripatetik) menghukumi tidak ada yang sama selain daripada objek tersebut. Menurut beberapa defenisi yang diambil dari beberapa sumber:

- Menjilat : melakukan sesuatu untuk mendapat pujian agar dinaikkan pangkatnya
- Pencitraan : gambaran sesuatu. Pencitraan berasal dari kata Citra, Arti kata citra banyak ahli bahasa mengungkapkan, diantaranya :
Huddleston dalam (Buchari Alma, 2008:55) memberikan definisi atau pengertian citra dengan mengatakan sebagai berikut :”Image is a set beliefs the personal associate with an Image as acquired trough experience”. Artinya: citra adalah serangkaian kepercayaan yang dihubungkan denga n sebuah gambaran yang dimiliki atau didapat dari pengalaman.
- Menghargai : menghormati atau mengindahkan orang lain

Namun di tengah kehidupan sehari-hari tidak jarang kita jumpai ada yang berpandangan over generalisation semua sama dalam hal penggunaan padahal masing-masing memiliki makna yang berbeda. Kembali merujuk pada apa yang dibahasakan Jalaluddin Rakhmat dalam buku Rekayasa Sosial ini adalah salah satu bentuk kerancauan berpikir (vallacy of dramatic instance) tidak terjadi pemetaan yang tepat akan kata dengan makna yang sesuai.

Mengapa demikian disebabkan karna struktur analisis yang dibangun tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada (ilmiah) sehingga struktur bangunan kian lemah atau tidak tepat sasaran. Dr. Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup mengatakan bahwa orang yang berakal akan lebih mudah memetakan bagaimana hal seharusnya dilakukan begitupun sebaliknya bagi orang yang tidak berakal.

Menurut Dr. Buya Hamka, akal adalah ikatan. Kata ini cocok betul dengan tempat pengambilan. Ibarat tali mengikat unta akal itu mengikat manusia. Dalam pepatah melayu pun telah ada "mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal.

Dalam praktek keseharian di dunia kampus banyak dijumpai doktrin yang notabenenya untuk membentuk regenerasi sehingga nantinya budaya tetap terjaga sehingga bentuk ideologi terlestarikan sebagaimana mestinya. Dalam buku sejarah Kebudayaan Islam karya prof. Dr. H. Faisal Ismail, M. A bahwa budaya adalah buah hasil dari kekuatan akal dan kekuatan hati yang pada proposisinya masing-masing memilah mana yang benar dan salah kemudian memilah mana yang baik dan buruk.

Sehingga tidak heran ketika kita melihat seorang budayawan dalam hal apapun akan sangat pandai salah satunya memanusiakan manusia. Namun pada kondisi saat ini mungkin karna ketidaktuntasan akan memahami atau tidak komprehensif sehingga sering kita jumpai teriakan dalam hal apapun serba seolah hasil budaya namun hanya memakai kedok demi untuk melegalkan opurtunitas. Nah dari sini banyak hal namun dalam personalitas sangat bergantung bagaimana bentuk legitimasi atau suntikan eksternal.

Masih dalam ranah kampus, pemetaan yang kian jelas apalagi di Tanah Daeng (Sulawesi) hampir secara keseluruhan memetakan posisi atau derajat entah mungkin karena memang budaya atau kondisi geografis. Sehingga seperti yang di bahasakan Karl Max, keadaanlah yang membentuk kesadaran atau sesuatu yang eksternal yang mempengaruhi internal.

Namun jika di over general tidak juga karna terkadang ada yang berusaha memberikan doktrin kepada orang lain namun tidak juga mampu memberikan kesadaran pada target atau sasaran mungkin ada beberapa namun ada juga yang tidak terpengaruh sama sekali. Sehingga ada pepatah yang mengatakan "tidak mengutamakan kuantitas tetapi kualitas". Kesimpulannya yang tidak berkualitas akan termarjinalkan.

Padahal dalam hal antara kualitas dan kuantitas masing-masing memiliki peran sesuai dengan kondisi yang pada prakteknya terkadang juga menjadi satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan. Misalnya ketika kondisi pada saat ujian skripsi tentu pada proposisi ini yang menjadi tolak ukur yaitu kualitas bukan tentang banyaknya halaman skripsi atau halaman slide pada power point (idealnya).

Contoh lagi dalam kepanitiaan kegiatan berbicara mengenai kualitas dan kuantitas sungguh menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Sebab dalam hal ini kerja kolektif atau dikerjakan secara bersama yang membutuhkan satu sama lain sehingga antara kualitas dan kuantitas saling mengikat.

Sampai pada dimana di jumpai hal-hal berbau regenerasi yang katanya sering mengkaji tentang perjuangan dan pergerakan atau perlawanan apa lagi yang sangat sosialis menginginkan revolusi. Kritik namun regulasi kampus namun tidak memiliki bekal yang komplit.

Artinya cukup hanya meneriakkan hidup mahasiswa, kebanggan ikut demo yang hanya panas di awal seperti kopi yang di sediakan di meja kopi lalu dengan suara yang lantang mengatakan "saya ini aktivis" (sebagian). Padahal dalam sejarah dan secara arti aktivis itu adalah orang yang melakukan bentuk kritis pun memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.

Aktivis juga itu kalau dalam dunia kampus ia aktif secara akademik dan organisasi (internal dan eksternal) baik secara ide atau praktek sesuai dengah hak dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa.

Namun pada kondisi ini mengenai kampus atau negara melakukan hal-hal yang tidak ekuivalen. Seolah serba over dimatanya hanya ada kebenaran di senior sekalipun senior melakukan hal-hal yang notabenenya menindas pula.

Padahal kan yang namanya perlawanan tidak pilih kasih pun tidak peduli apakah dia ada birokrat atau senior yang ada di kampus seharusnya ditegur atau disampaikan secara baik-baik. Oleh karena tidak mampu memetakan tentang makna tentang hal menjilat, pencitraan dan menghargai sehingga yang negatif hanya ditujukan pada birokrat kampus saja sedangkan menghargai lebih kepada senior atau katanya petinggi kampus.

Seharusnya pemetaan akan penggunaan kata menjilat, pencitraan dan menghargai digunakan sebagai mana kecocokan antara makna kata dan kondisi sebab salah satunya yaitu penggunaan kata menghargai dalam praktisnya sesuai. Sehingga tidak lagi terjadi penilaian yang keliru terhadap hal tersebut.

 

Penulis: Juna, mahasiswa Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.