Bagaimana Menjadi Nelayan yang Marxis
Semua berawal dari nelayan pencari telur ikan terbang (Patorani) yang merasa diperlakukan tidak adil. Ya, nelayan itu menceritakan kekesalannya kepada saya di salah satu pos ronda dekat rumah. Dia menceritakan kepada saya betapa tidak adil upah yang ia dapat dari majikan kapalnya (Pinggawanya). Menurut dia, seharusnya dia dapat memperoleh lebih dari itu, karna kerja-kerja yang ia sudah lakukan sudah sangat maksimal dan berkontribusi besar pada pendapatan kapal secara keseluruhan.
Kemudian saya berbicara dengan nelayan lain. Nelayan ini usianya lebih senior dari yang tadi. Saya kemudian menceritakan segala keluh kesah yang diceritakan oleh nelayan pertama tadi. Dia pun merespon saya dan mengatakan bahwa hal itu sudah biasa terjadi. "Sudah biasa terjadi kalau punggawa berbuat tidak adil kepada Sawi (anak buah kapal)," katanya.
Mendengar perkataan itu, saya lanjut bertanya tentang bagaimana sebenarnya sistem bagi hasil di antara para nelayan, terkhusus dalam hal ini nelayan Patorani. kemudian di di ujung pertanyaan itu, dia menjawab tidak ada! Tidak ada standar baku dalam sistem penentuan bagi hasil, semua lebih tergantung pada Punggawa dan Papalele -- seseorang yang statusnya lebih tinggi dari Pinggawa dan (biasanya) tidak ikut ke laut, tetapi dia yang memberi modal (Pemodal).
Lebih lanjut, soal sistem bagi hasil, selain sangat ditentukan oleh Punggawa dan papalele, juga oleh seberapa banyak hasil tangkapan dan seberapa banyak ongkos dan utang dari para Sawi.
Tetapi kembali lagi, seperti kata nelayan kedua tadi, yang menjadi penentu paling utama sistem bagi hasil adalah aturan dan kebijakan dari Punggawa dan Papalele. Sehingga kenyataan itu membuat Sawi sering berkonflik dengan Pinggawa dan atau Papalele. Dan misalnya, jika terjadi konflik, Sawi sering melakukan protes, atau berpindah ke Pinggawa dan Papalele lain. Namun terkadang, para Sawi tidak bisa berpindah begitu saja. karna mereka sudah terlanjur dililit oleh hutang kepada Papalele atau Punggawa lamanya.
Hubungan Patron-Klien di Balik Masalah Nelayan
Hubungan yang terjalin antara Sawi dan Pinggawa yang telah kita singgung tadi adalah salah satu dari sekian banyak manifestasi hubungan patron-klien yang ada dalam masyarakat secara luas, terkhusus masyarakat Sulawesi Selatan -- tempat penulis tinggal.
Hubungan patron-klien adalah hubungan yang terjalin antara majikan dengan bawahan atau pengikut yang didasarkan pada adanya saling ketergantungan antara kedua belah pihak. Ketergantungan itu berupa majikan memberi penghidupan seperti tanah, uang, dan sebagainya kepada pengikut, dan pengikut memberikan tenaga kerjanya kepada majikan (Pelras, 2019).
Defenisi ini adalah acuan dasar yang relatif, karna dalam bentuk dan dalam kenyataannya sangat bervariasi. Misalnya, dalam bentuk bantuan Papalele atau Punggawa kapal kepada Sawi, uang yang diberikan bisa dianggap hutang, bisa juga tidak. tergantung perangai dari si Pinggawa atau Papalele.
Jika misal dalam bentuk hutang, biasanya dibayar dengan cara memotongnya dari jumlah upah yang diperoleh nelayan, yang terkadang jumlah hutang masih lebih besar daripada jumlah upah yang didapat sehingga terkadang nelayan pulang dengan tangan hampa.
kemudian selain itu, utang memiliki fungsi lain bagi Punggawa. Fungsinya yaitu sebagai pengikat kontrak kepada sawinya agar tidak berpindah Punggawa dan agar tunduk pada perintah dan kebijakan Punggawa.
Patron-Klien Sudah Sangat Mengakar dalam Kebudayaan Masyarakat Sulawesi Selatan
Hubungan patron-klien ini sekilas sangat tidak adil bagi Sawi. Tetap meski begitu, hubungan ini telah berlangsung lama dan berabad-abad. Olehnya itu, pastinya hubungan patron-klien ini pastilah telah menjadi sesuatu yang mengakar sekali dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Hal itu terbukti dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan.
Salah satunya dari Christian Pelras (2019). Ilmuwan Sosial yang banyak dan lama meneliti tentang Sulawesi Selatan ini, menemukan bahwa hubungan patron-klien adalah dasar dari seluruh struktur sosial di masyarakat Sulawesi Selatan. Menurutnya, meskipun terdapat banyak perbedaan seperti bahasa, adat, dan kepercayaan, hubungan patron-klien tetap menjadi sistem interaksi pokok yang menggerakkan segala aktivitas kehidupan di Sulawesi Selatan.
Untuk membuktikan klaimnya itu, Pelras, dalam buku "Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan" (2019), mengutip empat penelitian yang menunjukkan betapa kuat dan mengakarnya hubungan patron-klien di masyarakat Sulawesi Selatan. Keempat penelitian itu adalah: P.J.Kooreman (1883), H.Th.Chabot (1950), Jacqueline Linneton (1973) dan Hasan Waliono (1979).
Sementara itu, dalam penelitian terbaru ditemukan juga kesimpulan demikian. Hal itu ditemukan oleh Munsi Lampe, Dosen Antropologi Unhas, yang dalam penelitiannya tentang "Punggawa-Sawi Bugis-Makassar dalam Analisis Internal dan Eksternal" (2015) menemukan bahwa hubungan patron-klien tetap bertahan sampai saat ini di masyarakat nelayan meski terus digempur modernisasi dan relasi kerja kapitalisme.
Penelitiannya ini sendiri dilakukan di tiga kampung nelayan yang menurutnya paling representatif, yaitu: Sumpang Binangae Kabupaten Barru, Tamalate Kabupaten Takalar, dan Lappa Kabupaten Sinjai. Selain itu, Munsi Lampe juga menyimpulkan bahwa ada empat faktor yang membuat hubungan patron-klien tetap bertahan di masyarakat nelayan, yaitu: kerja sama, kepemilikan individual, pemasaran, dan bagi hasil.
Dari keempat faktor yang ditemukan Munsi Lampe tersebut, sebagai hal yang membuat patron klien tetap bertahan, satu faktor yang menurut penulis paling kuat adalah: kepemilikan (pada alat-alat produksi dan modal secara) individual. Mengapa? hubungan sosial dibangun atas dasar kepemilikan alat-alat produksi.
Patron-Klien dalam Analisis Marxis
Mengapa para Papalele (Pemodal) dan Punggawa itu bebas menentukan upah? Dan mengapa hubungan patron-klien bisa sangat bertahan berpuluh-puluh tahun? Itu karena adanya kepemilikan pribadi pada alat-alat produksi -- pada kapal, uang, dan mesin kapal. terkhusus dalam hal ini pada nelayan Patorani.
Kepemilikan pribadi membuat mereka, para punggawa dan pemodal merasa punya hak dan kekuasaan untuk memerintah dan membuat kebijakan sesuka hatinya. mereka memiliki sesuatu yang paling berarti dalam penghidupan, yaitu alat-alat produksi!
Itulah sebabnya hubungan patron-klien tetap bertahan, karna kepemilikan pada alat-alat produksi juga tetap bertahan. dan pastinya para punggawa dan pemodal tidak akan mau jika hubungan patron-klien ini dihapuskan, karena itu berarti menghapuskan kekuasaan mereka.
Pada penelitian Munsi Lampe, seperti yang disinggung di atas, dikatakan kalau patron-klien ini berhadapan dengan relasi kerja kapitalisme. Padahal pada hakikatnya kapitalisme dan patron-klien sama saja, sama-sama bertumpu pada kepemilikan alat-alat produksi. dan sama-sama berjalan dengan penindasan pada mereka yang tidak punya alat produksi--seperti yang menimpa nelayan di awal tulisan ini.
Bedanya, kalau dalam kapitalisme relasinya bersifat kontrak secara sadar (agak rasional), sedangkan dalam patron-klien kontrak hubungannya sering tidak disadari dan sering kali bersifat emosional.
Dan jika ditanya solusi, ya tentu, hapuskan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi! Tapi, masalahnya, solusi seperti ini sudah dianggap utopis! Sudah gila! Atau ungkapan lainnya, mengatakan solusi seperti itu ibarat mengatakan" tidak ada solusi" dengan cara yang lain! Mungkin Marx dalam kubur juga masih sedang berfikir tentang semua masalah-masalah seperti ini. Entahlah Heheheh.
Penulis: Makmur, mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Makassar.