Buku Diacuhkan, Menolak Stagnasi Akal?
Buku adalah salah satu media untuk belajar dan mengeruk ilmu pengetahuan. Ibarat pepatah yang masyhur mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia, memang benar adanya. Bagaimana tidak? Mulai dari filsafat, ekonomi, teknologi, teologi, sejarah, dan masih banyak lagi, semua bisa dibahas dan disampaikan dalam buku. Dari buku, seabrek pengetahuan dan informasi dari berbagai belahan dunia bahkan alam semesta – sesuatu yang metafisik pun bisa didapatkan hanya dengan duduk sambil membaca buku.
Iqra’…iqra’…iqra’… bacalah… bacalah… bacalah. Wahyu yang diberikan Allah kepada Kekasih-Nya Nabi Muhammad SAW pertama kali di gua Hira’ melalui kurir Allah yang sangat patuh, malaikat Jibril. Pengulangan perintah untuk membaca menyiratkan maksud bahwa membaca amat sangat penting guna menunjang kebutuhan akal manusia agar tetap aktif dan memiliki koneksi yang baik.
Selain itu, buku juga sebagai salah satu upaya untuk tetap mengaktifkan substansi kinerja otak, yakni berfikir. Tanpa berfikir, manusia tidak ada bedanya dengan hewan. Sebab pembeda yang sangat vital antara manusia dengan hewan terletak pada substansi kinerja akalnya – berfikir.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa “al-Insaanu Hayawanun Naathiq” yang artinya manusia adalah hayawan (hewan) yang berfikir. Hal ini mengandung maksud bahwa manusia kedudukannya lebih mulia dari pada hewan sebab manusia diberi kelebihan pada kinerja akalnya – berfikir, sedangkan hewan tidak memilikinya.
Apabila manusia tidak menggunakan substansi kinerja akalnya – berfikir, maka tidak ada bedanya dengan hewan. Sebab, manusia dengan hewan sama-sama memiliki kebutuhan biologis, sama-sama memiliki indera yang komplit sesuai kebutuhannya, termasuk otak. Meskipun hewan juga diberi otak sama seperti manusia, namun hewan tidak diberi kelebihan kemampuan untuk berfikir.
Oleh sebab itu, berpikir inilah yang mampu membedakan antara manusia dengan hewan. Pendeknya, apabila manusia tidak mau berfikir, berarti sama halnya ia dengan hewan.
Seorang filsuf besar Yunani, Descartes, juga pernah mengungkapkan mengenai hal ini. “Cogito Ergo Sum” yang memiliki arti bahwa “saya berfikir, maka saya ada.” Maksud dari ungkapan Descartes tersebut membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan diri seseorang. Keberadaan ini dibuktikan dengan fakta bahwa ia berfikir.
Di era milenial ini, budaya membaca buku sudah mulai surut dan terlihat tidak menarik lagi. Tidak sedikit yang enggan untuk mengembangkan bakat membaca mereka. Akibatnya, tunjangan kebutuhan akal mereka tidak terpenuhi hingga menjadikannya krisis akan informasi dan pengetahuan serta memunculkan ke-plonga-plongo-an. Selain itu substansi kinerja otaknya – berpikir juga menurun dan mengalami ke-mandeg-an atau stagnasi akut.
Hal ini dipicu oleh sedikitnya informasi dan pengetahuan yang masuk sehingga menjadikan substansi kinerja otak – berfikir melemah dan membuat plonga-plongo seperti layaknya hewan.
Keadaan seperti ini, tentunya sedikit banyak memberikan sumbangan terhadap degradasi ilmu pengetahuan Islam. Perlu membuka cermin sejarah kembali sekitar abad 8-13 Masehi, Islam pernah mengalami masa keemasannya dalam ranah pengetahuan dan teknologi yang terjadi pada kekhalifahan Abbasiyah.
Robin Westgate dalam artikelnya yang berjudul “Ancient Arab Astronomy” menuliskan, ulama dan ilmuwan Arab pada masa itu mengetahui lebih banyak sains dan ilmu-ilmu sastra daripada tokoh-tokoh kontemporer mana pun. Mereka juga banyak menerjemahkan karya-karya sastra dan ilmiah klasik (Yunani- Romawi).
Para filsuf muslim yang masyhur kala itu sedikit diantaranya Al-Razi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd. Mereka berupaya merekonsiliasi gagasan-gagasan Yunani klasik menggunakan ajaran Islam dengan mendalami gagasan dan pemikiran tokoh-tokoh filsuf Yunani klasik seperti Plato dan Aristiteles.
Hasilnya, banyak universitas didirikan di kota-kota terkemuka Islam, seperti Baghdad, Damaskus, Yerussalem, Alexandria, Kairo, dan Cordoba. Bisnis buku juga berkembang pesat mengingat perpustakaan-perpustakaan besar dapat ditemukan di universitas-universitas, istana, dan rumah-rumah orang.
Pada masa itu, ilmuwan Eropa menyadari keunggulan ilmiah dan teknologi dunia Islam yang luar biasa sehingga mereka berupaya mencari terjemahan karya ilmuwan Muslim. Pada tahun 1250 M, sebagian besar materi berharga di perpustakaan-perpustakaan Islam telah tersedia bagi para ilmuwan Eropa dalam bentuk terjemahan.
Selanjutnya, para ilmuwan Muslim membuat kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan banyak ilmu modern, seperti fisika, kimia, kedokteran, matematika, dan juga astronomi. Dan, perhatian mereka banyak tertarik pada ilmu astronomi sehingga para pemikir Muslim membakar semangatnya guna meningkatkan pengetahuan tentang astronomi.
Bahkan, ada referensi yang menyebutkan selama abad pertengahan ketika ilmu pengetahuan Eropa mengalami kemerosotan, orang-orang Arab-lah yang menjaga dan melestarikan warisan para astronom klasik tersebut.
Atas perhatian mereka yang tinggi terhadap astronomi, mereka membangun banyak observatorium. Salah satunya adalah Rumah Ilmu Pengetahuan yang dibangun di Baghdad oleh Khalifah Abbasiyah Ma’mun ar-Rasyid antara tahun 813-833 M. Di sanalah para ilmuwan Islam menerjemahkan banyak teks berbahasa Sansekerta, Pahlavi atau Persia kuno, Yunani, dan Syria ke dalam bahasa Arab.
Al-Khawarizmi adalah salah satu contoh ilmuwan penting yang masyhur hingga saat ini. Dengan ilmu matematikanya, yang pertama kali memperkenalkan konsep huruf “nol”, serta penyederhana perkalian dan pembagian.
Ia juga menyumbang sebuah perhitungan sistematis dari aljabar dan geometri untuk memecahkan masalah astronomi dan navigasi praktis. Di antara peninggalan penting para ilmuwan Muslim adalah nama-nama Arab untuk sejumlah istilah astronomi yang digunakan hingga kini.
Dari masa keemasan Islam yang sangat membahana tersebut, lalu, muncul pertanyaan yang sangat esensial pada kita. Apa kontribusi kita selaku generasi muda Islam terhadap ilmu pengetahuan yang dulu pernah dijayakan oleh sesepuh Islam kala itu? Apakah hanya menjadi kaum rebahan yang anti terhadap buku dan menafikan suatu perubahan? Atau hanya sekedar menjadi penikmat teknologi barat – handphone untuk menambah pem-bebal-an pada akal tanpa mengaktifkan substansi kinerja akalnya – berpikir dan berlaku bijak dalam berteknologi?
Sebagai generasi muda Islam, memberi stimulus berupa bacaan buku terhadap akal mampu mengaktifkan substansi kinerja akal – berfikir. Hal ini dilakukan untuk meng-optimal-kan substansi kinerja akal – berfikir agar akal tetap aktif dan memiliki koneksi yang baik mengenai informasi dan ilmu pengetahuan.
Membaca buku merupakan salah satu upaya untuk menolak ke-stagnasi-an akal. Sebab, ketika membaca buku mau tidak mau akal menjadi aktif karena mendapat stimulus pengetahuan baru dari buku yang dibaca dan mengakibatkan akal bekerja untuk mengolah stimulus tersebut.
Membaca buku termasuk salah satu manifestasi rasa syukur kepada Allah yang nyata tanpa bersandiwara hanya dengan ucapan Alhamdulillah semata. Sebab substansi dari rasa syukur bukan sekedar terpaut pada lafal Alhamdulillah saja, namun lebih mengena pada tindakan yang menunjukkan rasa syukur meskipun tanpa mengucap Alhamdulillah.
So, tetap ingin berada pada zona nyaman menjadi kaum rebahan yang acuh terhadap buku bacaan tanpa memberikan perubahan dan perlahan membuat akal menjadi stagnan? Atau masih tetap yakin dengan mengacuhkan buku dapat menolak ke-stagnasi-an akal?
Penulis: Nadrizorul Masruroh, mahasiswi Tasawuf Psikoterapi IAIN Kediri Angatan 2018.