COVID-19 dan Konflik Papua yang Terlupakan
Pandemik COVID-19 yang melanda beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia menjadi problematika ummat yang perlu dan penting untuk segera diselesaikan. Konstalasi kehidupan berbangsa seolah berubah 90 derajat dibanding biasanya.
Negara sebagai barang abstrak yang dikonstruksi oleh manusia melalui konstitusi diberi konstituen untuk melindungi segenap kehidupan bangsanya. Pandemi COVID-19 telah dikategorikan sebagai bencana non-alam yang memicu otoritas negara lebih mendominasi dibanding hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya dilindungi dan dijaga agar tetap eksis sebagaimana harapan-harapan yang melekat padanya.
Bangsa Indonesia saat ini ramai membincangkan soal pandemik COVID-19 yang sedang melanda, kendati lupa dengan persoalan anak bangsa di wilayah bagian timur, tepatnya Papua. Media informasi juga turut andil dalam hal ini.
Sudah lupakah kita dengan kisruh Wamena yang telah menjadi salah satu catatan buruk rezim yang tengah berkuasa saat ini? Apakah darah yang tumpah, ruh yang memisah dengan jasad merupakan hal yang biasa saja, sehingga tak diupayakan untuk dicarikan jalan keluar dengan menyentuh akar permasalahan yang seharusnya diselesaikan.
Catatan Komnas HAM tahun 2014 mengungkap bahwa ada sebanyak 4 orang tewas akibat konflik horizontal di Paniai, Papua dan sampai saat ini belum menemui jalan keluar. Karena hanya akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Padahal masyarakat Indonesia umumnya, dan warga Papua khususnya mengharapkan agar ada penyelesaian dari Pemerintah terkait hal itu.
Lupakah kita tentang informasi tentang perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh aparatur negara bersama kelompok masyarakat di Surabaya yang bersama-sama melakukan tindakan tak berkemanusiaan terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali keilmuan di tanah rantau.
Sehingga menimbulkan reaksi di Papua dan melahirkan konflik baru tepatnya di Sorong dan Monokwari. Perlukah kita menyimpulkan bahwa kejadian berulang dengan resolusi konflik ialah bentuk kegagalan pemerintah dalam menangani konflik-konflik itu?
Rentetan peristiwa
Dari tahun 1970 hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal marak terjadi di Papua. Tindakan represif aparat keamanan negara terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penggunaan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal tersebut merupakan upaya separatis yang dilakukan agar dapat memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Irisan konflik bermula ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum PBB yang menghasilkan perjanjian New York: 1962 dibawah rezim Sukarno.
Hasil negosiasi tersebut ialah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) dengan mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera tahun 1969 wilayah Papua resmi menjadi bagian NKRI.
Di masa Sukarno, pengamalan mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa boleh dikatakan berhasil karena dalam catatan sejarah saat itu sangat minim terjadi konflik karena Pemerintah di waktu itu menggunakan cara-cara humanistik. Dengan merangkul warga Papua serta meyakinkan mereka bahwa warga Papua berhak diperlakukan sama.
Selain pemerintahan Sukarno, pada masa Gus Dur ketika berkuasa juga melakukan hal yang sama, contohnya ialah ketika Gus Dur mengatakan bahwa dirinya ingin melihat matahari terbit di Papua. Karena orang-orang sekitar Gus Dur kerap membicarakan bahwa sunrise di tanah Papua lebih indah dari wilayah manapun di NKRI.
Beberapa pengamat politik menyampaikan bahwa hal itu merupakan strategi politik Gus Dur untuk mengistimewakan Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Agar masyarakat Papua yakin bahwa pemerintah masih memerhatikan mereka, tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.
Hal inilah yang semestinya menjadi acuan pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis. Karena jejak digital mencatat hingga sekarang diketahui terkait konflik yang terjadi di Sorong, Monokwari dan Wamena, Pemerintah justru menambah aparat keamanan dengan mengirimkan sebanyak 2.500 aparat keamanan (TNI/Polri) untuk menanggulangi konflik yang terjadi.
Padahal sejarah panjang di masa Orde Baru ketika Suharto melakukan tindakan militeristik justru resolusi konflik kian menganga yang berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat.
Komnas HAM melaporkan bahwa ada sebanyak 10.000 korban jiwa akibat konflik yang dimulai tahun ‘70-an hingga ‘98. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak.
Perlu diingat bahwa nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun. Upaya terbaik yang perlu dilakukan ialah berdialog kemudian bernegosiasi dengan masyarakat Papua terkait apa yang semestinya dilakukan bersama.
Penulis: Aslang Jaya, anak bangsa di Bumi manusia.