COVID-19 dan Runtuhnya Superioritas Manusia
Barangkali ini adalah pukulan terberat yang kita hadapi di abad ini. Umat manusia di belahan bumi manapun dibuat khawatir, panik, bahkan ketakutan. Bukan oleh moncong senjata, ancaman bom, gempuran robot atau serangan alien dari planet lain. Tetapi, oleh mahluk kecil bahkan tak kasat mata. Orang menyebutnya COVID-19.
Kabar terbaru, virusnya makin variatif, ada tipe A, B, C, dan barangkali akan terus berkembang. Semua terpukul, korporasi raksasa sekalipun, bahkan ada banyak perusahaan terancam collapse, sebab aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi melambat bahkan terhenti. Demikian juga masyarakat lapis bawah, merekapun terdampak, bahkan paling parah. Selain kesehatannya terancam, kelangsungan ekonominyapun terancam ambruk.
Situasi ini, sadar ataupun tidak, merubah banyak hal dari kita; konsep citizen tibatiba bermigrasi massal menjadi nitizen. Kita benar-benar menjadi warga maya. Apapun diselesaikan melalui daring. Singkatnya, pola hidup, pola interaksi, pola kerja, pola pikir, bahkan pola ibadah dan banyak hal lainnya juga ikut berubah.
Positifnya, kita mulai membiasakan diri dengan hidup lebih hemat, lebih sehat, dan lebih bersahabat, misalnya saja, orang-orang mulai mengurangi aktivitas belanja dan konsumsinya (tentu ini dikecualikan bagi yang serakah), interaksi di rumah menjadi lebih intens dan hangat, tibatiba berolahraga, berjemur, cuci tangan dan banyak aktivitas sehat lainnya menjadi kebiasaan, bahkan kebutuhan.
Di sudut yang lain bumi juga memiliki kesempatan untuk meremajakan dirinya. Hampir semua negara di dunia mengkonfirmasi bahwa getaran bumi mengalami penurunan signifikan (terutama karena aktivitas transportasi berkurang), langit lebih cerah, udara lebih segar, banyak satwa langka bermunculan kembali, polusi udara menurun drastis, emisi karbon juga berkurang dll. Intinya bumi sedikit demi sedikit memulihkan dirinya.
Preetha Krishna, seorang pengajar filsafat dan spritualisme India menyebut ini peringatan bahkan balasan dari alam. Preetha bilang, semesta itu berkerja melalui hukum kausalitas, mereka yang merusak alam, juga akan digilas oleh alam, barangkali inilah akibat dari ulah manusia yang di bumi banyak merusak.
Ringkasnya, COVID-19 memaksa hampir semua orang merumahkan diri dan merumahkan aktivitasnya. Atau yang seringkali kita sebut #stayathome dan #physicaldistancing. Makin berjarak, makin aman. Sampai-sampai ada anekdot ‘bersatu kita runtuh, berpisah kita aman’.
Meskipun ada juga sebagian masyarakat yang masih ngeyel, dengan dalih iman mereka tidak patuh terhadap protokol pencegahan. Padahal menghadapi COVID-19 dengan mengandalkan iman semata, itu samasaja dengan bunuh diri. Sebab, sekadar mengandalkan iman dan berdoa saja, hanya akan memperpanjang barisan korban.
Tentu saja ini tidak berlaku untuk semua orang, beberapa saudara-saudara kita tetap harus beraktivitas di luar rumah. Ia tidak memiliki pilihan lain, maju mundur kena. Baginya #dirumahaja sama halnya memilih 'mati kelaparan'. Sudah menjadi rahasia umumlah, bahwa kondisi setiap keluarga tidaklah sama, jurang ketimpangan masih menganga lebar.
Masyarakat lapis bawah, terutama keluarga miskin dan rentan pastinya akan menerima pukulan terberat. Dalam situasi normal saja mereka sudah kewalahan menyambung hidup, terlebih lagi dalam situasi darurat wabah seperti sekarang ini.
Berbeda dengan keluarga kelas menengah dan kaya, barangkali mereka tidak akan menemukan kesulitan yang begitu berarti. Hampir semuanya memiliki dana cadangan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, keluarga kaya juga akan mendapatkan kesempatan khusus untuk menjadi pahlawan kemanusiaan, karena donasinya (jika mau).
Tapi bagaimana dengan yang miskin? Atau masyarakat rentan, yang bergantung pada pendapat harian. Bisa mati kelaparan jika ikut-ikutan #stayathome. Pada situasi darurat semacam inilah sebetulnya kehadiran pemerintah dan kesetiakawanan sosial begitu penting.
Situasi darurat dan krisis seperti sekarang ini sebetulnya dapat menjadi momentum untuk mengukur (sekaligus membangun) kualitas kepemimpinan, kohesi sosial, sains dan sumber daya kita (terutama medis dan pangan). Sebab, tiga hal itulah yang menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dan ancaman apapun.
Bila ketiganya solid dan kuat, maka kita akan segera mengakhirinya dan menjadi pemenang. Tetapi, bila tidak, maka setiap waktu kita hanya akan habiskan untuk mengitung jumlah korban.
Ujian pertama, bisa kita ukur melalui kesigapan dan ketanggapan pemerintah. Kalau diibaratkan dengan perang, seorang Pemimpin terbaik adalah yang mengambil sikap untuk mempercepat peperangan berakhir. Makin cepat, makin baik. Sebab, peperangan yang berlarut-larut hanya akan mengahabiskan sumber daya, korban terus berjatuhan, dan pada gilirannya akan habis, sebanyak apapun sumberdaya yang ia miliki.
Sekalipun di episode terakhir ia memenangkan peperangan, tapi kemenangan itu boleh dibilang semu bahkan palsu. Sebab, kemenangan itu dibangun di atas korban yang tidak sedikit. Kecuali kalau kita hanya menganggap nyawa itu tidak lebih dari sekadar angka statistik.
Hari-hari belakangan Pemerintah tengah dalam sorotan utama. Mungkin karena berbagai macam keteledoran dan juga keterlambatannya dalam menghadapi COVID-19. Pemerintah terkesan gagap dan tidak siap dari berbagai sisi. Diawali dengan ungkapan Menteri Kesehatan, dr. Terawan yang terkesan meremehkan virus COVID-19, lalu diikuti berbagai celetukan anggota kabinet dan pejabat teras lainnya yang nyelenah dan bikin publik gaduh.
Belakangan, pemerintah malah sibuk menghimbau, sesuatu hal yang sebetulnya boleh dilakukan oleh tokoh masyarakat, petugas medis dan organisasi non pemerintahan. Pemerintah mestinya fokus pada tiga fungsi pokonya; pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan.
Pandemi telah menyusahkan banyak rakyat, itu sudah menjadi fakta, dan kita harus akui itu adalah musibah. Sebetulnya bukan karena kesalahan pemerintah. Memang sudah menjadi bencana dunia. Yang kita sesalkan adalah langkah antisipasi dan mitigasi yang kurang cepat dan tepat.
Bukan bermaksud untuk membangun narasi pesimisme, atau provokasi. Tetapi, kenyataan memang mesti dibuka dan disampaikan secara terusterang. Menghimbau masyarakat untuk berpikir positif dan terus optimis sebetulnya tidak salah. Hanya saja, itu langkah yang sia-sia bahkan berbahaya. Sebab masyarakat dibiarkan hidup di tengah ancaman bahaya dengan modal sekadar optimis, itu namanya optimisme semu.
Sejauh ini langkah yang ditempuh pemerintah dari berbagai opsi adalah PSBB. Sebetulnya PSBB adalah jalan tengah, setidaknya bisa menghambat persebaran COVID-19. Tetapi, kebijakan ini secara regulatif dianggap kurang ramah terhadap masyarakat lapis bawah.
Sebab, dalam ketentuannya tidak mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat selama #stayathome. Kecuali bila PSBB ini diikuti dengan adanya kebijakan jaring pengaman sosial. Setidak-tidaknya jaminan pangan dasar, listrik, akses kesehatan seperti vitamin, terutama terhadap masyarakat rentan (rentan kesehatan dan ekonomi).
Sayangnya, pemerintah malah memberlakukan darurat sipil. Hal yang tidak relevan bahkan boleh dibilang ngawur. Lain gatal, lain pula yang digaruk. Secara regulatif kebijakan ini sangat serampangan, logikanya melompat. Sebab, bila memakai logika UU Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan, seharusnya setelah PSBB, langkah berikutnya adalah karantina wilayah, bukan darurat sipil. Memberlakukan darurat sipil memiliki syarat-syarat khusus, dan pandemik corona bukan salahsatunya (Baca Perppu 23/1959).
Ujian kedua adalah ujian terhadap kohesi sosial. Sejak ditetapkan status darurat kesehatan, kita bisa melihat solidaritas sosial kita masih cukup terawat. Inisiatif-inisiatif masyarakat dengan latar belakang berbeda cukup nyata dan berdampak. Dan itu terjadi tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di pelosok desa. Inisiatif itu banyak ragamnya, mulai dari aksi menggalang donasi, berbagi pangan sehat, masker, handsanitizer, penyemprotan disinfektan hingga bantuan APD untuk tim medis. Itu semua tentu dilakukan dengan tulus dan ikhlas, padahal ia berhadapan dengan resiko terpapar virus.
Masyarakat yang memiliki pilihan untuk tetap di rumah juga secara beramai-ramai saling mengedukasi melalui media sosial, saling menguatkan, saling menularkan kepedulian, memberikan donasi dan banyak kontribusi lainnya. Inilah kekuatan gerakan sipil, melalui kesadaran dan tindakan kolektifnya ia terlibat berjibaku melawan korona.
Sekalipun hal ini tidak bisa digeneralisir, faktanya masih ada banyak masyarakat yang tumpul kesetiakawanan sosialnya, misalnya saja memborong kebutuhan pangan dan medis dari pasaran, akhirnya kelangkaan terjadi dimana-mana. Atau ada juga yang memanfaatkan situasi ini untuk meraup untung yang melimpah, misalnya dengan sengaja melipatgandakan harga-harga bahan pokok di pasaran.
Lalu yang ketiga adalah ujian terhadap kualitas sumber daya kita. Pertanyaannya, bagaimana dengan sumber daya pangan kita? bagaimana kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga medis kita? Faktanya, sumberdaya pangan, dan alkes kita tidak mencukupi kebutuhan, belum lagi tenaga medis kita terus berjatuhan. Sementara tanda-tanda penurunan belum terlihat. Trendnya terus meningkat. Sekalipun di 16 april kemarin jumlah pasien sembuh melebihi jumlah pasien yang meninggal.
Kemudian, soal imun. Benar, memang virus ini dapat disembuhkan dengan sistem imun tubuh kita sendiri, namun apakah semua masyarakat kita memiliki sistem imun yang baik. Bagaimana dengan masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses terhadap pangan sehat, atau masyarakat dengan kondisi ekonomi dan lingkungan yang mengkhawatirkan? Sebut saja masyarakat ekonomi lemah, yang jangankan untuk menjangkau masker dan hand sanitizer yang semakin langka dengan harga yang berlipat-lipat, untuk makan sehari-haripun mereka kesulitan.
Sampai tulisan ini dibuat, di seluruh dunia jumlah terinfeksi lebih dari 1,85 juta, dengan 114.698 yang meninggal. Korban terbanyak sampai saat ini adalah Italia, lalu diikuti oleh Spanyol, kemudian Prancis dan AS. Indonesia sendiri, sekalipun korbannya belum sebanyak empat negara tersebut, tapi persentase penularannya cukup mengkhawatirkan, Indonesia disebutkan paling tinggi di dunia, kalau dirata-ratakan dari 100 yang terinveksi 9 diantaranya meninggal dunia.
Sementara, untuk pengujian atau pengetesan virus ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan persentase paling rendah pelaksanaan pengetesannya. Alasannya adalah keterbatasan sumber daya. Padahal tes massal ini adalah sesuatu yang penting dan genting untuk dilakukan. Dengan tes massal paling tidak pemerintah dan gugus tugas dapat terbantu untuk lebih cepat dan tepat dalam memetakan dan merumuskan strategi penanggulangannya.
Kita bisa mencontoh Korea Selatan, Singapura dan juga Jepang yang dengan sigap melakukan tes kepada warganya, tentu saja tanpa biaya dan hasilnya dapat diketahui hanya dalam hitungan jam.
Belum lagi, keterbatasan sumber daya dokter. COVID-19 membuka aib dunia pendidikan dan kesehatan kita. Setidaknya melalui COVID-19 kita menjadi tahu bahwa jumlah dokter kita sangatlah langka, terutama dokter penyakit dalam, paru misalnya.
Bayangkan, dari 260 jutaan penduduk Indonesia, tidak lebih dari 1000an dokter kita yang ahli paru. Apa sebabnya, mengapa sedemikian parahnya ? tentu ada banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi bagi saya, jawaban yang paling relevan adalah karena pendidikan kita mahal dan diskriminatif.
Pendidikan tidak untuk setiap orang. Ini bukan soal tidak ada anak Indonesia yang mau menjadi dokter. Bukan juga karena otak anak Indonesia tidak mampu. Bukan, sama sekali bukan karena itu. Tetapi, karena ongkos untuk pendidikan kedokteran sungguh mencekik, mahal. Soal ini mari belajar pada Kuba, negeri yang disegani oleh dunia.
Bukan karena persenjataan militernya. Tetapi karena misi kemanusiaannya. Barangkali tidak berlebihan kata Presiden Haiti, ‘setelah Tuhan, penolong kedua adalah dokter Kuba’.
Lalu apa solusinya ? tanyakan saja ke pak Luhut dan pak Yasona. Si menteri segala urusan itu. HAHAHA
Sebetulnya ada banyak solusi yang diajukan oleh ahli dan masyarakat sipil. Saya hanya ingin mengulang dan menabalkannya kembali. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan pertimbangan pihak terkait. Saya membaginya menjadi dua; solusi jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk jangka pendek saya usul pertama, lakukan tes massal. Ini penting dan genting. Tujuannya untuk membantu pemetaan situasi dan menjadi dasar menyusun langkah-langkah strategis. Indonesia ini adalah negara dengan tingkat persebaran COVID-19 tertinggi di dunia, tapi pengetesan atau pengujiannya paling rendah.
Kedua, lakukan realokasi anggaran. Indonesia adalah negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang sangat besar. Itu berarti dibutuhkan pula anggaran yang besar untuk menangani situasi darurat kesehatan ini. Sebetulnya ada banyak pos anggaran lembaga negara dan proyek raksasa yang bisa direalokasi ke penanganan COVID-19.
Itu kalau pemerintah menganggap kemanusiaan jauh lebih penting di atas politik, di atas kekuasaan dan di atas hitung-hitungan untung rugi. Ketiga, tentu saja kesetiakawanan sosial. Rakyat bantu rakyat. Ini perlu lebih digalakkan. Sebetulnya inilah modalitas kita yang paling dasar dan utama. Singkatnya mari bergotong royong. Jangan ganggu pemerintah yang sedang sibuk menghimbau dan terus mendata (ini bercanda nah ????)
Lalu apa solusi jangka panjangnya? pertama, agar kelangkaan dokter tidak lagi terulang, ke depan sepertinya pemerintah mesti memikirkan untuk mensubsidi secara penuh biaya pendidikan, terutama pendidikan kedokteran. Ini juga agar profesi dokter tidak menjadi profesi elitis, yang hanya mungkin dijangkau oleh masyarakat lapis atas.
Pendidikan mahal malah merusak karakter peserta didik, ia akan menjadi individualis dan setelah lulus pikirannya hanya sekadar kembali modal. Sementara profesi dokter adalah panggilan jiwa, atau tugas kemanusiaan. Soal ini belajarlah pada negeri Kuba. Negeri kecil tapi memiliki tenaga medis yang melimpah, bahkan banyak mengirim dokternya ke negara lain.
Kedua, berhentilah bergantung pada produk impor, mulailah memproduksi secara mandiri dalam negeri. Kita ini sudah terlalu lama bergantung pada produk impor. Bahkan untuk kebutuhan pokok sekalipun juga diimpor, misalnya beras impor dari Thailand, daging dari Australia, bawang dan ikan dari China, garam dari India dan masih banyak lagi.
Pandemik korona ini cukup menjadi pelajaran berharga bahwa bergantung pada impor menyebabkan negara tersandera dan tidak merdeka mengambil keputusan. Kita akan selalu dihantui kecemasan, sebab maju mundur sama-sama kena’. Ingin karantina wilayah/lockdown tapi takut kehabisan bahan pokok, karena lalu lintas barang terhambat. Tidak karantina wilayah juga, beresiko persebaran virus terus meluas dan liar.
Ketiga, sudahilah bermental superior, jadilah manusia yang seperlunya dan secukupnya saja. Jangan serakah, semua mau dikonsumsi, dimiliki, dikuasai. Segala jenis hewan dimakan, hutan ditebangi dan masih banyak perilaku rakus manusia. Mental superior itulah yang memicu munculnya virus-virus pembunuh.
Pada akhirnya hanya dengan kepemimpinan kuat, sains dan solidaritas sosiallah kita bisa keluar dari musibah ini.
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, biasa dipanggil Ari merupakan Alumni UNM. Suka baca, nulis, ngopi, dan bertualang. Ngamen di MAN IC Gowa, Bimbel BLC dan SMA GGS Makassar serta Nongkrong di Masika ICMI dan Gusdurian Makassar.