#dirumahaja Bagi Kantoran No Problem, Tapi Bagi Petani?
Sampai saat ini, kesibukan dan kemeriahan nan girangnya dunia media saat menjelang pemilu atau pilkada seperti yang sering kita saksikan telah dipukul mundur oleh hadirnya sebuah pandemi yang tidak mengenal strata sosial –entah dari golongan kaya, miskin, agamawan, politikus, menteri atau siapapun itu– maka dihadapan pandemi virus ini, yang oleh tenaga ahli namakan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), kita semua sama.
COVID-19 telah berinang-pinak di Indonesia yang sebelumnya menyerang Cina dan beberapa negara lainnya meskipun awalnya virus ini sempat dijadikan ‘konten jenaka’ oleh para kreator handal dan termuka di negeri ini melalui beberapa wejangannya di media.
“Halah, nggak usah terlalu tegang. Tenang saja, kita orang Indonesia kebal dengan virus ini. Setiap hari kita makan ‘nasi kucing’ kok”. Kutipan tersebut bukanlah teks aslinya melainkan hanya hasil bacaan saya dari beberapa media yang menyajikan guyonan tersebut. Jujur saja, sampai saat ini saya masih berpikir tentang model dari ‘nasi kucing’ yang dimaksud.
Apakah mirip dengan makanan yang sering saya sajikan untuk kucing saya di rumah (makanan sisa setelah makan yang terdiri dari air kobokan dan tulang ikan)?
Jikalaupun begitu, maka mungkinkah yang selama ini kita makan adalah makanan ‘sisa’ dari bapak yang mengutarakan pernyataan tersebut? Atau mungkin saja pernyataan tersebut ada benarnya dan hanyalah metafora? Metafora bahwa memang kita, masyarakat kecil, hanya ‘makan sisa’ dari kaum elit dalam artian segala jenis bantuan hingga sumber daya alam adalah milik mereka dan setelah dicicipi maka sisanya bagi kita? Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pemerintah. Akan tetapi semoga saja bapak/ibu yang budiman dan mapan tidak demikian yah!
COVID-19 tengah menghantam seantero dunia hingga menimbulkan efek kepanikan dan ketakutan akut pada kehidupan masyarakat. Terhitung awal Maret 2020 saat pertama kali pandemi ini memunculkan batang inangnya di Indonesia sampai sekarang (dan akan berakhir sampai waktu yang tidak ditentukan), selama itu pula jutaan masyarakat Indonesia berada di bawah garis kepiluan dan ketakutan setiap detiknya.
Kondisi psikologi atau mental kognitif yang terkekang akibat pandemi ini oleh masyarakat juga diperparah dengan rindangnya informasi yang bergelantungan di ranting-ranting pusat informasi termutakhir di era manusia setengah dewa sistem pemerintahan dan ekonomi yang menyerupai kapitalisme ini.
Kebijakan demi kebijakan diramu dan diluncurkan oleh para aparatus pemerintahan akan tetapi, raut wajah panik masyarakat seakan-akan tak pudar. Betapa tidak, kepanikan tersebut justru hadir dalam arena kehidupan melalui seperangkat pemberitaan baik bersumber dari media daring, luring hingga stasiun TV yang setiap detiknya update dalam memberitakan mengenai perkembangan pandemi ini dan mayoritas menyajikan headline berita mulai dari jumlah korban positif, meninggal dunia sampai penolakan pemakaman jenazah yang terpapar COVID-19 oleh masyarakat.
Lambat laun COVID-19 yang pada dasarnya adalah penyakit dan kemudian beralih menjadi layaknya aib dalam kehidupan masyarakat. Kondisi demikian kian menak utkan dan terjadi tanpa disadari. Oleh Rousseau namakan sebagai External Determination, sebuah kondisi hal-hal yang menjadi bentuk kebenaran bersumber dari luar diri subjek dan cenderung terpaksa. Berita COVID-19 yang memenuhi linimasa hampir setiap media sosial secara simultan dan padat menjadi perkara yang membentuk stigma hingga mewujud menjadi suatu bentuk kebenaran tersendiri di kalangan awam.
Pada tarikh di medio antara era modern dan post-modern, gemuknya informasi dan lincah serta canggihnya perangkat informasi merupakan karakteristik khusus pada saat ini. Tak ayal, sekecil apapun fenomena yang terjadi dalam kehidupan sosial akan nampak dan spontan tersebar ke seluruh penjuru media untuk kemudian diberitakan kepada khalayak.
Fenomena viral dan pesan berhastag merupakan sarapan rutin masyarakat informasi dewasa ini. Hanya berbekal video atau foto dengan konten ambyar, kocak dan irrasional, setiap orang bisa menjadi public figure sementara itu logika hastag khususnya pada akun Twitter menggunakan logika rating news, segala macam berita akan mengalami proses percepatan akses hanya bermodalkan selipan hastag.
Seperti halnya #dirumahaja di tengah guyonan pandemi COVID-19, hampir setiap kalangan akrab dengan tagar tersebut. #dirumahaja muncul di layar media tanpa disadari bahkan salah satu operator jaringan juga membubuhkannya di belakang nama operator. Sebuah tagar berisi anjuran dan cenderung bersifat eksklusif.
Betapa tidak, jika kita menelaah dengan sedikit melibatkan analisis, kiranya #dirumahaja seakan-akan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bekerja di perusahaan atau instansi pemerintah saja yang notabene pekerjaannya mampu terselesaikan melalui daring dan tidak dikategorikan sebagai pekerjaan fisik (jenis pekerjaan yang mengharuskan kinerja fisik).
Lah, terus bagaimana dengan profesi lainnya seperti buruh tani, petani, peternak dan pekerjaan fisik lainnya? Anjuran #dirumahaja bagi mereka justru akan tambah memperparah kondisi kehidupannya. Profesi pekerjaan tersebut mengharuskan mereka untuk bekerja langsung, tak kerja berarti tak makan. “tak keluar rumah (untuk bekerja) kita bisa mati, keluar rumah kita juga bisa mati. Lantas apa yang harus orang seperti kami lakukan?”. Curhatan emak-emak pada saat diundang di ILC tempo hari.
Sebagai orang yang berasal dari latar belakang keluarga petani tentu kondisi seperti ini sangatlah berat. Seorang petani yang sehari-harinya mengadu nasib untuk sesuap nasi di sawah atau kebun demi menghidupi keluarga di rumah tiba-tiba harus tinggal di rumah selama waktu yang tidak ditentukan.
Meskipun pada kenyataannya, kehadiran pandemi COVID-19 merupakan perkara yang tidak kita inginkan secara bersama namun generalisasi aturan dalam proses pencegahan tanpa mempertimbangkan latar belakang profesi kerja masyarakat merupakan sesuatu yang kiranya kurang elegan.
Bagi orang kantoran, kebijakan #dirumahaja mungkin tidak menjadi permasalahan karena mereka setiap harinya berhadapan dengan sistem dan teknologi yang canggih sehingga pekerjaannya dapat terselesaikan sementara itu petani, peternak dan pekerjaan fisik lainnya yang setiap harinya harus berhadapan dengan cangkul, sabit dan perkakas pertanian lainnya mustahil dilakukan di rumah dengan memanfaatkan teknologi.
Bukan bermaksud menggurui namun alangkah bijaknya jika sebuah kebijakan dikeluarkan dengan mempertimbangkan kondisi sosio-kultural setiap elemen masyarakat meliputi profesi pekerjaan baik yang tinggal di kota maupun di desa. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sementara diterapkan di beberapa provinsi untuk menekan peningkatan jumlah korban COVID-19 lebih menyoroti dinamika kehidupan masyarakat perkotaan sementara itu masyarakat pedesaan diharapkan untuk melakukan hal yang sama akan tetapi kita ketahui dinamika kehidupan kota dan desa sangatlah jauh perbedaannya.
Prosedur tetap (protap) PSBB kiranya sangat kurang menarik jika antara kehidupan perkotaan dan pedesaan disamakan yang tentunya memiliki corak yang berbeda. Misalnya Makassar sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Selatan menerapkan PSBB yang juga diikuti 24 kabupaten/kota dan terdiri atas kurang lebih ratusan kelurahan/desa yang tentunya juga memiliki jenis pekerjaan yang beranekaragam. Di Makassar mayoritas dihuni oleh orang-orang kantoran meskipun banyak pula yang berprofesi sebagai buruh sementara kabupaten oleh masyarakat yang berprofesi sebagai petani.
PSBB yang mengharuskan semua masyarakat untuk tinggal di rumah dan tetap bekerja dengan memanfaatkan fasilitas teknologi secara liar kita dapat berkesimpulan bahwa PSBB tak ramah terhadap jenis pekerjaan fisik seperti petani. Tinggal dan bekerja di rumah bagi orang kantoran it’s ok tapi bagi petani it’s not ok. PSBB kiranya juga memperhatikan sikon.
Masyarakat pedesaan harus membanting tulang di sawah atau kebun untuk tetap melanjutkan hidup akan tetapi saat setelah PSBB diterapkan secara umum tanpa pertimbangan, semuanya buyar dan petani hanya mampu duduk termenung meratapi nasib sembari berpikir “begitulah alam” bekerja di bawah komando ketidakadilan.
Menjadi petani tidak segampang menulis surat ber-kop negara demi mem-branding perusahaan sendiri atas nama kemanusiaan, bersenda gurau dengan polemik COVID-19 meskipun pada akhirnya tegang dan kaku juga dalam menghadapinya dan segala candaan-candaan lainnya yang pada akhirnya berujung tak karuan menyisakan kota yang mati tanpa lalu-lalang manusia. Bertani adalah melawan, melawan getirnya hidup, melawan keegoisan untuk tidak merebut hak orang lain dan juga melawan segala jenis virus yang kian mematikan peradaban manusia yang datangnya dari manusia itu sendiri.
Karantina wilayah atau pembatasan akses untuk sementara di pedesaan tanpa lockdown total merupakan ihwal yang kiranya dimassifkan. Tak ada proses keluar-masuk desa dan jikalau pun ada yang hendak masuk maka isolasi mandiri selama 14 hari diterapkan dan tempatnya difasilitasi oleh pemerintah desa.
Interaksi tetap berjalan serta bertani tetap dilakoni dan jika masa panen tiba, penjualan dan pengangkutan hasil panen dilakukan dengan mekanisme transit tanpa para pembeli/tengkulak masuk ke dalam desa melainkan hanya stand by di pintu keluar desa dan masyarakat desa sendiri yang gotong royong untuk mengangkut hasil panen seperti jagung dan padi sehingga semuanya dapat berjalan lancar, proses bertani tetap jalan dan pencegahan COVID-19 pun demikian.
Penulis: Askar Nur, Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.