Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Jan 06, 2021

Duet Maut Post-Truth dan Media Sosial

Semakin hari banyak dari kita bertingkah dengan begitu polos, menggemaskan hingga kadang mengundang gelak tawa sangking lucunya? ciee. Tingkah ini bisa banyak ditemui di media sosial, seperti memercayai informasi hanya berdasarkan kepercayaan pribadi tanpa melakukan validasi atas informasi yang diterima.

Dan celakanya lagi, kadang dengan sadar masyarakat membagikannya dengan terburu di media sosial? Hingga ke grup whatsapp keluarga. Informasi itu seolah-olah harus diketahui oleh seluruh anggota grup. Kondisi seperti itulah yang hari ini dapat dikatakan bahwa masyarakat telah masuk pada era post-truth.

Mengenal Post-Truth

Istilah post-truth ini sebenarnya sudah sejak lama ada. Menurut Oxford Dictionaries post-truth digunakan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1992 dimuat dalam majalah The Nation dengan judul artikel The Goverment of Lies oleh Steve Tesich.

Seiring berjalannya waktu, istilah ini kembali marak digunakan. Sangking banyaknya digunakan sehingga istilah post-truth dinobatkan sebagai Word of year oleh Oxford Dictionaries pada tahun 2016. Penobatan tersebut didasari pada kejadian Inggris Raya menyatakan keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan kemenangan Donald Trump pada pemilu di Amerika Serikat 2016 silam.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan post-truth? Bila ditinjau dari katanya maka post berasal dari bahasa Inggris yang berarti sudah dan truth berarti kebenaran. Maka kata post-truth ialah sesudah kebenaran. Bila menggunakan definisi dari Oxford Dictionaries, kata post-truth yaitu kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.

Bila disederhakan yakni kondisi emosi atau keyakinan pribadi yang didahulukan ketimbang fakta. Post-truth kini bukan hanya berkaitan dengan politik saja, tapi telah memasuki sektor kehidupan yang lainnya. Misalnya saja kondisi kehidupan sosial kita.

Di Indonesia sendiri ada begitu banyak contoh yang bisa kita temukan mengenai fenomena post-truth ini. Akan tetapi sangat sedikit orang yang menyadari bahwa mereka sedang berada dalam pusaran post-truth.

Duet Maut Post-Truth dan Media Sosial

Maraknya fenomena post-truth ini tidak serta merta tumbuh begitu saja, tetapi sangat dipengaruhi dengan perkembangan media sosial. Baik dari segi pengguna dan jenis dari media sosial itu sendiri.

(Jumlah Pengguna Media Sosial di Dunia. Foto: We are Social)

Seperti dilaporkan oleh Hootsuite dan We are Social pada Januari 2020 bahwa masyarakat dunia dan Indonesia tengah marak dalam menggunakan media sosial. Pada level dunia pengguna aktif media sosial sekitar 3.8 Miliar, untuk Indonesia berada pada sekitar 160 juta pengguna aktif.


(Jumlah Pengguna Media Sosial di Indonesia. Foto: We are Social)

Seperti yang dikatakan di atas bahwa kita dengan mudah mendapati fenomena post-truth ini, maka penulis mengajak melihat efek post-truth di Indonesia meskipun bukan kasus pertama dari post-truth yang ditemukan.

Misalnya saja saat Pilgub DKI 2017, lalu Pilpres 2019 di Indonesia. Saat itu sangat banyak informasi yang berseliweran bersifat sangat provokatif hingga tak jarang pula ada yang hoaks. Dan akhirnya memecah bela bangsa - Hingga kini mungkin?.

Ada juga saat kasus Audrey, Ratna Sarumpaet, yang menurut penulis ialah orang-orang dengan mudah memercayainya. Bahkan media yang harusnya melakukan pemeriksaan fakta bahkan turut larut. Hingga akhirnya kebenaran mengenai kedua orang ini terkuak —cie kena prank.

Ada lagi yang masih hangat, mengenai kasus foto jenazah covid-19 yang beredar di media sosial, dan efek dari penggunaan thermo gun yang digunakan untuk mengukur suhu saat hendak masuk ke tempat-tempat umum saat sekarang ini.

sumber gambar :https://www.chrismadden.co.uk/cartoon-gallery/ignore-the-facts-the-post-truth-society/

Dari rentetan kejadian di atas, menurut penulis terlihat dengan jelas peran vital dari media sosial dalam menyebarkan informasi. Sebab semakin banyaknya pengguna media sosial maka setiap orang dengan bebas menyebarkan informasi, entah itu benar atau salah.

Alhasil orang semakin bingung dengan begitu banyak informasi yang abu-abu mengenai kebenarannya. Hingga akhirnya membuat pengguna media sosial yang lain memercayai informasi yang diyakininya saja bukan yang benar adanya.

Dengan demikian, peran media sosial menjadikan fenomena post-truth tumbuh dengan sangat subur. Umpama tanaman yang disirami air dengan sinar matahari, tumbuh tinggi menjulang kian harinya.

Tak mudah memang untuk terhindar atau tidak terjebak dalam fenomena post-truth. Selain tugas Negara yang harus menertibkan informasi yang menyesatkan hingga akun buzzer membuat media sosial jadi gaduh, maka ini menjadi tugas setiap pengguna media sosial untuk meningkatkan literasi digitalnya serta etika dalam menggunakan media sosial.

Mengakhiri tulisan ini maka penulis menyampaikan bila dahulu lidah lebih tajam dari pisau itu sendiri, maka di era post-truth ini jempol lebih tajam dari keduanya. Sebab dengan jempol kita dapat menyesatkan hingga dapat menghakhiri hidup orang lain seperti kasus bunuh diri di Korea Selatan. Jadi bijaklah dalam menggunakan media sosial.

 

Penulis: Ruslan Anwar, seorang Alumni dari Prodi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer, Fakultas Teknik UNM (PTIK FT-UNM). Pernah menjejali organisasi intra kampus sebagai Ketua Umum MAPERWA FT-UNM 2017-2018. Anggota komunitas Pecandu Aksara. Kini sedang menunggu hasil pendaftaran di Pascasarjana Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada. Menyukai membaca buku, Berselancar di Internet serta Berolahraga.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.