Tue, 30 Apr 2024
Esai / Jun 08, 2021

Ecocide dan Upaya Memupus Impunitas Para Korporasi

Selama ini para produsen tidak pernah bertanggung jawab atas kemana larinya sampah-sampah plastik yang mereka produksi selama ini. Produk yang digunakan konsumen dalam bentuk plastik memiliki kelemahan, yakni hanya digunakan sekali pakai. Selebihnya berujung menjadi polutan apabila tidak di daur ulang.

Menurut laporan audit merek global yang dilakukan pada 2020, tercatat 10 korporasi yang menjadi dalang pencemar sampah utama. Mereka adalah, The Coca-cola Company; PepsiCO; Nestle; Unilever; Mondelez International; Mars Inc; Procter & Gamble; Philip Morris International; Colgate-Palmolive; dan Perfetti Van Melle (Greenpeace, 12/11/2019).

Laju produksi para korporat tidak terbendung, selaras dengan laju sampah plastik yang dihasilkan. Fakta mencengangkan dari penelitian Jenna R. Jambeck dari Universitas Georgia pada 2010, ada sekitar 275 juta ton sampah plastik di seluruh dunia, dan 4,7-12,7 juta ton terbuang ke laut. Sederhananya, dalam satu menit ada satu truk berisi sampah plastic besar yang ditumpahkan ke laut (Greenpeace, 12/11/2019).

Pelaku industri justru memanfaatkan fenomena ini sebagai kondisi “kenyamanan hidup” lewat budaya konsumtif. Produk-produk dihasilkan dengan membungkus dalam kemasan yang cantik dan praktis. Namun dibalik zona kenyamanan ini ada sisi hitam yang bersembunyi. Lambat laun plastik menjadi polutan yang ada di sekitar manusia dan mengganggu makhluk hidup lain.

Sampah plastic yang tidak didaur ulang berpotensi menjadi partikel-partikel kecil yang biasa disebut dengan mikroplastik. Mikroplastik dapat masuk ke dalam tubuh manusia, ancamannya berupa gangguan kesehatan seperti kanker, stroke, serta penyakit pernapasan.

Salah satu untuk mengurangi sampah plastik adalah dengan mendaur ulangnya. Beberapa cara seperti bentuk pengolahan sampah 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) dan bank sampah menjadi program dari pemerintah. Namun, proses daur ulang sampah bukan tindakan proteksi. Ia hanya menyelesaikan masalah pada hilir masalah, bukan pada hulu.  Yang menjadi fokus utamanya seharusnya memberikan proteksi kuat dan pertanggungjawaban para korporasi atas tindakan mereka sebagai aktor penyerap polutan nomor satu di Bumi.

 

Perampasan Hak Asasi Manusia dalam Model Baru

Wacana tentang kerusakan lingkungan selalu menjadi isu yang dianaktirikan oleh pemerintah. Padahal jaminan untuk memperoleh kehidupan yang layak telah menjadi jaminan dari konstitusi. “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga diatur. “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Dalam instrumen HAM, hak atas lingkungan hidup merupakan bentuk dari hak asasi manusia dalam rumpun hak ekonomi, sosial budaya, dan politik. Dari dampak yang sangat serius ini pencemaran lingkungan akibat plastik dapat dikategorikan menjadi bentuk kejahatan baru untuk merenggut hak asasi setiap orang.

Kerugian masyarakat yang terkena dampak dari kerusakan lingkungan mendorong lahirnya konsep ecocide untuk dimasukkan dalam pengkategorian sebagai kerusakan lingkungan hidup yang luas dalam konteks perang. Istilah penggunaan ecocide sendiri diilhami dari peristiwa “Perang Ekologi” dalam penggunaan bahan kimia dalam perang Vietnam pada tahun 1968.

 Dalam forum internasional pun istilah ecocide sendiri sudah menjadi wacana yang sering diperbincangkan dalam setiap pertemuan, mulai dari Konferensi Washington tahun 1970 sampai Konferensi Lingkungan Hidup Stockholm tahun 1972. 

Korporasi selalu lolos dari jerat hukum dari dampak yang mereka perbuat. Sedangkan masyarakat harus menerima konsekuensi dari ancaman kerusakan lingkungan yang terjadi. Selama ini kejahatan HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya mengkategorikan, Kejahatan Genosida (Genocide); Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity); Kejahatan Perang (War Crimes); dan Kejahatan Agresi (Aggression).

Sehingga dari dampak kerusakan lingkungan yang semakin menggila ini, Indonesia, bahkan dunia membutuhkan proteksi tentang dampak kejahatan lingkungan yang selalu diabaikan. Bukan hanya tentang keselamatan bumi, namun masa depan manusia juga turut dipertaruhkan.

Harapan Untuk Bumi dan Lingkungan

Masalah yang timbul adalah ketidaksamaan persepsi dari semua negara. Negara-negara berkembang terkadang begitu berat hati untuk menyepakati kesepakatan soal pentingnya menjaga lingkungan. Saat negara-negara maju telah mengalihkan prioritas pada perkembangan untuk lebih memperhatikan perlindungan lingkungan, negara berkembang justru sebaliknya.

Negara-negara berkembang masih memikirkan usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya. Memikiran bagaimana mengeksploitasi sumber daya alam yang masih mereka miliki, dan masih memanfaatkan sumber energi fosil yang tentunya akan memakan korban, termasuk dengan keselamatan lingkungan hidup.

Kerusakan bumi yang telah terjadi tidak semata-mata rusak fisiknya karena memang waktunya rusak. Namun jauh dari itu ada relasi dengan manusia dan komponen-komponen ekosistem yang turut menjadi dalang penghancur dari lingkungan.

Konsep ecocide diharapkan menjadi solusi dari proteksi terhadap lingkungan bumi: pertama, lahirnya norma hukum sebagai bentuk proteksi terhadap bumi dan ekosistem lingkungannya. Kedua, adanya kebijakan untuk menuntut tanggung gugat dari korporasi sebagai dalang dari perusakan secara massif dalam perusakan lingkungan hidup.

Karenanya, kejahatan lingkungan tidak dapat dimaklumi sebagai sebagai fenomena alam biasa. Kejahatan lingkungan adalah bentuk baru terhadap kerusakan hidup manusia dalam bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Saatnya pemerintah dan korporasi untuk turut andil dalam bertanggungjawab dalam menyelesaikan permasalahan kejahatan yang telah merenggut hak asasi manusia dalam model baru ini. Apabila tidak, bukan hanya bumi yang hancur, namun nasib umat manusia yang juga dipertaruhkan.

 

Penulis: Bingar Bimantara, sedang menempuh pendidikan formal di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura dan telah menulis beberapa buku. Curahan hatinya dapat dilihat di bingarbimantara.blogspot.com

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.