Thu, 12 Dec 2024
Esai / Askar Nur / Jan 03, 2021

Empat Tipikal Aktivis Kampus Versi Nakke’

Meski sempat tertawa sedih terpingkal-pingkal mendengar narasi-narasi yang seakan-akan memposisikan semua aktivis itu sama, sama-sama berada di bawah ketiak penguasa. Wah, tentu tidak semuanya lah. Mana mungkin ketiak penguasa mampu menampung ribuan bahkan jutaan aktivis, mana bau lagi. Aktivis kan adalah gerombolan domba-domba gembala kumpulan orang-orang intelektual, tentu tahu mana buruk dan baik, mana bau dan harum.

Tidak mungkinlah mereka berada di bawah ketiak penguasa yang jelas-jelas bau. Yang ada itu berdampingan ketiak dengan penguasa di warkop atau cafe mewah di tengah kota (mungkin saja), ngobrolin masalah ummat, masalah kebijakan kampus yang tidak disepakati mahasiswa. Tapi tunggu dulu! Kok bahas masalah ummat di cafe? harusnya kan di tempat kejadian tuh. Misalnya di tempat penggusuran terjadi. Sama halnya dengan kebijakan kampus, harusnya kan diselesaikan di kampus yah. Kan di kampus masalahnya bukan di warkop terus sama penguasa lagi. Waduh, Ferguso wajar curiga. Jangan-jangan ada adakah? di penghujung diskusi.

Nah, itu jawaban bagi yang selalu bilang bahwa semua aktivis itu sama, sama-sama berlindung di bawah ketiak penguasa. Dan perlu juga diingat, menyamakan semuanya tanpa data dan tinjauan objektif, itu haram kurang elegan bagi Daeng Jalaluddin Rahmat karena itu fallacy namanya (cacat logika). Lagian yang bilang demikian tidak sedang cacat yah, janganlah saling cacat-mencacatkan di antara kita. Itu dosa loh, bilang Pacceramah (orang yang ceramah).

Agang-agang (saudara-saudari) sekalian perlu ketahui bahwa aktivis kampus punya banyak tipe sejauh nakke’ (saya) memandang khususnya di ruang lingkup kampusnya nakke’. Pertama, aktivis kiri mentok. Tipe aktivis ini biasanya tidak mengenal kata kompromi terhadap penguasa, sekali turun ke jalan maka hanya ada satu kata lawan passimbung (hancurkan). Akrab dengan kata-kata yang sedikit kebarat-baratan, misalnya Fuck The System dan sejenis lainnya. Mereka ini gampang dijumpai di kampus, biasanya di tempat lapakan buku dan di tempat-tempat anti-mainstream lainnya. Biasanya juga di tas mereka penuh dengan buku-buku bersampul merah berjilid-jilid, pokoknya mirip-mirip Das Kapital ala Marxlah ditambahlagi anti warkop-warkopanlah dengan penguasa.

Kedua, aktivis kiri rawan terpleset. Tipe yang satu ini biasanya sangat akrab dengan megaphone, sedikit-sedikit ada masalah dalam kampus maka ia serahkan sepenuhnya pada megaphone. Tidak terlalu banyak teori, kebanyakan bertindak. Saking cintanya sama yang namanya tindakan dibanding teori, sering lupa atau pura-pura lupa kajian isu. Konsolidasi hari ini, besoknya aksi demonstrasi. Prinsipnya; apalah artinya banyak teori jika minim tindakan. Iya benar juga.

Tiba-tiba aktivis kiri mentok datang dan bilang; apalah artinya banyak tindakan namun minim teori, mau jadi apa tindakan kita. Yah, berdebatlah mereka, pecahlah solidaritas gerakan dan bergegaslah penguasa menelurkan kebijakan barunya dengan memanfaatkan konflik batin horizontal antar sesama aktivis kampus. Dan juga mahasiswa biasa yang muak melihat perdebatan dan yang maunya instan-instan saja, akhirnya memutuskan untuk menjadi aktivis juga namun bukan aktivis tipe pertama dan kedua melainkan berada di tipe ketiga atau keempat.

Selanjutnya, tipe kedua ini biasanya jarang bawa buku dan penampilannya agak mewah-mewahlah dibanding tipe pertama yang kadang jarang mandi dan pakaiannya berhari-hari baru diganti. Biasanya juga tipe ini kalau distalking akun sosmednya, acapkali berorasi di berandanya dan penuh komentar-komentar puja dan puji antar sesamanya. Di instastory pun kadang begitu, setiap momen diabadikan dengan beberapa caption berapi-api dan tak ayal pun, terselip di antara mereka orang-orang berkerah sakti putih di warung-warung ngopi ternama dan mewah. Lantas nama aktivis kiri rawan terpleset diambil darimana? Yah, simak saja pembahasan dari awal paragraf terkait tipe ini sampai akhir. Tapi jangan tuduh nakke’ memfitnah atau menghina yah, nakke’ kan tidak sebut nama kalau merasa tersinggung alhamdulillah kalau tidak alhamdulillah juga. Intinya, janganlah terpleset ke meja warkop atau cafe untuk menyelesaikan masalah.

Ketiga, tipe aktivis kanan kekiri-kirian. Golongan aktivis ini biasanya melawan dalam garis tawadhu . Hobinya memposting kritikan di akun sosmednya dan tukang sebar pamflet seruan konsolidasi dan aksi di media dengan bumbu-bumbu pedas tapi tidak sepedas tahu crispy dekat bundaran Samata namun jarang hadir di lokasi kejadian. Biasanya juga tipe ini kurang sepakat dengan dua tipe sebelumnya dan selalu jadikan peristiwa masa lalu sebagai tameng narasi utamanya para aktivis masa lalu yang terbilang ganas di masanya namun takluk saat masuk di jabatan pemerintahan.

Kan begini, agang-agang sekalian, setiap orang kan punya masa dan sekarang bukan masanya bagi mereka untuk melawan penguasa yang tirani secara terang-terangan, cara melawan mereka beda sekarang. Mungkin saja mereka duduk di jabatan pemerintahan sekarang punya niat untuk memperbaiki, itu kan juga melawan namanya. Justru agang-agang sekalian yang punya masa seharusnya melawan secara terang-terangan, jangan cuman nge-gibah di balik layar, toh tidak ada juga jaminan di kemudian hari agang-agang untuk tidak melakukan hal yang sama dengan mereka. ingat! “Nak, setidaknya kita sudah melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”, #NyaiOntosoroh.

Terakhir, tipe keempat: aktivis kanan mentok. Tipe aktivis ini lebih tawadhu lagi jalan ninjanya perlawanannya ketimbang tipe sebelumnya. Golongan ini biasanya tasnya dipenuhi buku-buku panduan kiat-kiat sukses dan sejenis lainnya, rajin hadiri seminar kewirausahaan dan tentunya pernah baca bukunya “Mimpi Satu Juta Dollar”. Biasa juga duduk melingkar di bawah pohon atau di area masjid mendengar presentasi bernuansa “Bintang berlevel-level” plus wejangan kuliah sambil berpenghasilan.

Dan itulah empat tipikal aktivis kampus versi nakke’. Selebihnya silahkan agang-agang tambahkan sendiri. Agang-agang jangan terlalu kaku dan tegang jadi aktivis. Anton Chekov bilang, pada setiap tragedi pasti menyisakan komedi. Anggaplah paparan di atas adalah tragedi dan nakke’ tulis dengan senyam-senyum, itulah komedinya. Tertawa adalah alat pelunak tragedi, setidaknya kita menertawai orang-orang yang hanya ingin ketawa, mereka membeli tiket bioskop dan sementara kita cukup menertawai mereka dan menertawai diri sendiri yang tak mampu beli tiket bioskop.

Eh, hampir lupa. Dua atau beberapa artikel terakhir yang dimuat oleh voxpop.id menyinggung seputaran dunia aktivisme di antaranya sisi gelap aktivis dan fenomena aktivis cabul. Merujuk kepada KBBI V mengenai arti dari aktivis itu sendiri, terdapat dua definisi yakni secara umum dan politik atau pemerintahan. Tapi sebelum lanjut, mungkin pembahasan pada wilayah ini terbilang agak kaku, menggunakan bahasa baku dan mengikutsertakan referensi kamus namun sesekali kita perlu agak kaku agar terkesan membawa kebenaran. Lah, kalau bawaannya santai apakah tidak membawa kebenaran juga? Tuh kan, serba salah lagi. Yah sudahlah, bodoh amat pekik Mark Mansion.

Aktivis secara umum, yakni orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Secara politik, aktivis adalah seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya). Dari dua definisi yang agak kaku tersebut, tentu agang-agang sekalian mampu memahami definisi aktivis secara apa yang terbilang cabul dan memiliki sisi gelap. Kalaupun belum paham, berarti kita sealiran karna nakke’ pun belum paham sebenarnya.

Baik, seumpama agang-agang sekalian berargumen bahwa aktivis cabul dan memiliki sisi gelap adalah mereka yang sering berkoar-koar di depan gedung-gedung parlemen menuntut keadilan dan melawan ketidakadilan sementara mereka acapkali berlaku tidak adil terhadap perempuan atau melakukan hal-hal yang beraroma kenyamanan lahir dan batin dengan lawan jenisnya serta sisi gelapnya adalah lihai berbohong dan mempermainkan perasaan perempuan. Berarti mereka yang demikian adalah bukanlah aktivis sesuai definisi dari KBBI di atas melainkan orang yang hanya memakai identitas aktivis dan membuang jauh-jauh substansinya.

Sementara itu, cabul dalam KBBI V adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Dan jika disandingkan dengan aktivis maka akan menjadi aktivis cabul: orang yang melawan ketidakadilan dan melakukan hal tidak senonoh terhadap lawan jenisnya. Dan tentu itu bukan aktivis namanya melainkan orang yang tak bertanggungjawab menggunakan identitas aktivis itu sendiri. Namun itu hanyalah hasil implikasi antara arti aktivis versi KBBI dan yang seharusnya terjadi di kenyataan.

Ah, sudahlah. Kita akhiri saja kekakuan ini. Nakke’ juga sepakat dengan artikel Bung Fauzan mengenai para aktivis cabul di sekeliling kita. Kalaupun kita hendak menggunakan metode kalkulasi dan spesifikasi ala Adam Smith untuk mengukur tingkat kecabulan para aktivis, paling banter kita akan berhenti pada kesimpulan “banyak aktivis cabul”. Dan untuk data nyatanya kita perlu melakukan riset namun siapa yang ingin melakukan hal demikian sementara banyak pula orang yang merasa minder disapa aktivis dan adapula dengan penuh percaya diri menamai dirinya sebagai aktivis. Maka untuk presentase amannya, kita cukup pakai sedikit ji’ tawwa aktivis cabul.

Jikalau agang-agang sekalian bersepakat bahwa yang kita namakan aktivis cabul adalah mereka yang selalu baca buku, pegang pengeras suara, rambut panjang, pakaian compang-camping dan sendal jepit serta melakukan tindakan tak adil dan senonoh pada lawan jenisnya, maka nakke’ akan mengklarifikasi sesuai apa yang terjadi di kampus dan kota nakke’ bahwa bukanlah mereka yang selalu berkoar-koar melawan ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan yang layak menyandang titel aktivis cabul.

Melainkan mereka, entah dapat disapa aktivis atau tidak namun intinya mereka adalah mahasiswa yang juga punya organisasi, acapkali melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai cabul. Setidaknya terdapat tiga masalah yang nakke’ temukan di kampus maupun kota nakke’, Makassar.

Pertama, seorang mahasiswa, yang sekarang menjalani proses hukum, di kampus nakke’ memasang kamera Go Pro di salah satu toilet di kampus yang letak kameranya di bawah pipa dan tangkapan kameranya tepat menyorot bagian-bagian vital dalam tubuh. Coba bayangkan! Nakke’ tak bisa bayangkan dan berita terkait itu, agang-agang sekalian dapat akses di beberapa media yang sempat muat.

Kedua, November lalu di salah satu kampus di Makassar mengadakan diskusi terbuka bertajuk Femisida dan Kekerasan Negara dan yang menjadi pemantik diskusi adalah perempuan (mahasiswi). Tiba pada sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya kepada si narasumber. Kira-kira pertanyaannya seperti ini, “Berapa kali maki’ dipakai?”. Pertanyaan tersebut jika bakukan maka, “sudah berapa kali anda dipakai?”. Kata “dipakai” bermakna berhubungan badan dengan lawan jenis. Secara otomatis, laki-laki (mahasiswa) tersebut telah melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan yang kala itu jadi narasumber. Nah, ini juga agang-agang masuk dalam kategori cabul.

Terakhir, baru-baru ini terjadi. Seorang mahasiswa nekat mengakhiri hidup kekasihnya, yang juga merupakan mahasiswi di salah satu kampus yang sama dengan si pelaku dikarenakan sang kekasih dalam kondisi berbadan dua. Lah ini cabul paling tragis, agang-agang dapat akses beritanya di beberapa media arus utama.

Ketiga peristiwa di atas juga merupakan tindakan cabul dan ketiga pelakunya pun adalah mahasiswa dan juga aktif di beberapa organisasi. Namun yang mau nakke’ katakan adalah tak semua aktivis yang bermuka aneh bin jorok, yang selalu turun ke jalan menuntut keadilan dan melawan kekerasan seksual adalah yang layak menyandang aktivis cabul tapi juga aktivis yang berwajah bersih nan elok yang jarang turun ke jalan dan meneriakkan keadilan dapat diberikan titel aktivis cabul. Buktinya, ketiga pelaku dalam peristiwa di atas adalah mahasiswa yang jarang ikut aksi demonstrasi dan pakaiannya tak sekumal aktivis pada umumnya.

Jadi siapa yang paling cabul di antara para aktivis? Silahkan agang-agang sekalian jawab, intinya tidak banyak aktivis cabul tapi sedikit ji’ tawwa. Namun yang namanya tindakan cabul terhadap lawan jenis adalah tindakan yang kurang elegan untuk ditolerir.

Eh, hampir lupa untuk kedua kalinya. Barangkali ada yang merasa tidak paham dengan beberapa kosakata yang terlontar di atas, maka izinkan saya mengatakan bahwa media, seperti voxpop.id dan mojok.co yang mengakomodir gagasan-gagasan nyeleneh dan sedikit nakal, biasanya menggunakan kosakata loe, gue, enggak dan lain sebagainya yang pada umumnya berasal dari luar Provinsi Sulawesi Selatan. Saya yang tinggal di teritorial Sulawesi Selatan ingin juga memperkenalkan dan menggunakan kosakata khas kami di sini khususnya Makassar namun bukan berarti ini tindakan separatisme. Kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda bahasa tradisional namun tetap satu jua.

Nakke’: saya, agang-agang: saudara (i), ji’: saja, tawwa: ungkapan kesepakatan, ki’: anda

 

Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.