Fanatisme Beragama Melahirkan Intoleransi
Sesungguhnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan antarsesama untuk menjalani kehidupan yang lebih tentram. Yah, manusia mestinya banyak berinteraksi terhadap sesama walaupun akan menemukan berbagai lingkungan yang berbeda-beda sebab dunia ini sangatlah beragam. Namun, terkadang seseorang sulit bergaul karena adanya sikap fanatik yang ditanamkan dalam diri.
Sikap Fanatik menurut KBBI adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran baik itu politik, agama dan sebagainya. Keyakinan yang kuat dan berlebih-lebihan dalam suatu ajaran bukanlah hal yang salah, tapi pada kenyataannya kepercayaan itu dapat berubah menjadi tidak sehat ketika berhadapan dengan seseorang beda pandangan.
Dalam artian bahwa adanya sikap fanatik akan mengurangi atau membatasi interaksi terhadap sesama manusia sebab hanya bergaul dengan seseorang yang menurutnya mempunyai pandangan yang sama. Seperti halnya dengan orang yang fanatik terhadap agama islam, ia tak nyaman dengan penganut agama lain karena berbeda ideologi dan lahirnya perasaan bahwa pemahamannyalah yang paling benar.
Lah katanya fanatik bertujuan untuk penguatan terhadap ajaran tapi kok tak menghargai penganut ajaran agama lain? Bukankah Islam mengajarkan untuk toleransi terhadap penganut agama lain?
“Lakum diinukum waliyadin” yang artinya untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (Al-Kafirun/109: 6). Tafsiran Nurcholish Madjid dalam buku Manajemen Kerukunan Umat Beragama di Indonesia mengatakan bahwa “ungkapan pada ayat tersebut bukanlah pernyataan tanpa peduli terhadap agama lain melainkan karena terdorong oleh kesadaran bahwa setiap orang tetap harus dihargai sebagai manusia sesama makhluk Allah Yang Maha Esa walaupun berbeda agama” (Samiang Katu: 2018).
Perbedaan keyakinan bukan berarti menjadi jurang pemisah dalam interaksi sosial bermasyarakat dan perbedaan kepercayaan tak bisa dijadikan suatu alasan untuk menyerang yang lainnya.
Kasus intoleransi beragama di Indonesia merupakan hal yang tak asing lagi kita dengar mulai dari kasus pelarangan pembangunan tempat beribadah nonmuslim sampai dengan terjadinya radikalisme atau kekerasan. Djayadi Hanan selaku direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan pula bahwa tingkat intoleransi masyarakat pada periode pertama pemerintahan presiden Joko Widodo 2019 November lalu masih cukup tinggi, terutama dalam hal pembangunan rumah ibadah.
Penulis juga teringat pada buku novel Okky Madasari yang berjudul Maryam, Si Maryam gadis penganut Ahmadiyah yang dibakar rumahnya dan diusir dari kampung halaman beserta keluarganya oleh penduduk mayoritas Islam. Ahmadiyah adalah salah satu sekte agama Islam yang dianggap menyimpang oleh penganut islam yang lazim. Bukan karena Maryam mencuri, berzina atau hal lainnya tetapi karena menganut paham agama yang berbeda dengan penduduk mayoritas.
Keluarga Maryam tak punya apa-apa lagi bahkan kembali menginjak tempat lahirnya pun tak diperbolehkan lagi sungguh haknya sudah dirampas dengan orang-orang si fanatik berislam itu. Penulis terharu sambil membayangkan ketika berada diposisi yang sungguh menyakitkan itu.
Sejarah kehidupan manusia, sejak dahulu selalu diwarnai dengan perbedaan-perbedaan yang penuh dengan keberagaman. Indonesia sendiri merupakan Negara yang kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan semacamnya yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan kemanusiaan. Artinya bahwa perbedaan identitas, ideologi dan kepercayaan adalah implikasi historis dari respons manusia terhadap dinamika sosial dalam lingkungannya.
Umat Islam mestinya membangun kesadaran sosial, bahwa hidup dalam lingkungan yang luas ini penuh dengan keberagaman. Dengan berbagai pandangan dan pergerakan yang berbeda karena setiap langkah yang dijalani jelas ada saja seseorang pro memandangnya serta tak bisa dipungkiri bahwa ada pula yang kontra dan itu adalah konsekuensi logis.
Selain itu, sebagai penganut yang baik seharusnya memahami lebih dalam tentang ajaran islam serta paham bahwa pada intinya semua ajaran agama mengajarkan untuk saling menghargai terhadap sesama umat manusia. Islam pula bukan hanya mengajarkan tentang beribadah semata seperti berdo’a, bersembahyang dan berpuasa secara vertikal (Habluminallah) tapi juga berbuat kebaikan untuk kepentingan sesama umat manusia secara horizontal (Habluminannas).
Dengan demikian harapan besar untuk manusia bisa berintekasi tanpa ada sekat perbedaan hingga menjadikan kehidupan menjadi damai dan harmonis serta membantu negara menjaga samboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi tetap satu.
Penulis: Ita Rosita, mahasiswa UIN Alauddin Makassar.