Feminisme Berasal dari Barat: Benarkah?
Dewasa ini kita melihat kata “feminisme” berada di mana-mana. Namun apakah yang dimaksud dengan feminism itu?[1] Feminisme merupakan gerakan sosial dan juga politik yang bermaksud mencapai kesetaraan gender, dalam bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, dll.
Orang seringkali salah persepsi mengenai feminisme, yakni sebagai pembenci laki-laki. Padahal gerakan ini hanya menginginkan kesetaraan. Jika setara di bidang pendidikan, pemerintahan, tentunya nasib para perempuan akan lebih baik. Dibolehkannya perempuan voting, berada di sekolah, dan dukungan lebih terhadap hak-hak kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, serta affirmative action yaitu persentase khusus perempuan di parlemen, semua adalah berkat feminism. Jadi, anak anda mampu menempuh pendidikan di sekolah adalah hasil kerja keras para feminist.
Feminis sering didemonisasi sebagai nilai barat, sehingga tidak diterima oleh masyarakat Indonesia. Padahal, “Feminisme” sama sekali bukan nilai Barat. Buktinya di dalam Budaya Minang, perempuan sudah lebih dihormati dari dahulu kala. [2] Dalam budaya Minang nama keluarga dan kepemilikan tanah diberikan dari ibu ke anak perempuannya.
Begitu juga di Bugis-Makassar dimana ada Budaya di sebut Bissu, [3] yaitu Budaya Non-Gender dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Selain Bissu, yang biasa disucikan, dianggap perpanjangan tangan Tuhan, dan sering diminta melakukan tarian pemanggil hujan, ada pula Calalai, yaitu perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki, dan Calabai yaitu laki-laki yang berpakaian seperti perempuan. Selain itu, baru terdapat perempuan dan laki-laki.
Feminis tidak hanya mendukung kesetaraan gender, tapi feminis interseksional mendukung minoritas gender. Dalam Budaya Bugis-Makassar, rupanya para minoritas gender sudah hidup berdampingan dalam damai dengan framework lima gender tersebut.
Dalam politik, sejak dahulu sudah terdapat banyak tokoh politik perempuan hebat. Karena itu tidak bisa dibilang aktifnya perempuan di politik adalah akibat feminise barat. Di Palopo sudah ada Opu Daeng Risadju, pendiri partai pertama di Indonesia yang berjenis kelamin perempuan. [4] Beliau disiksa oleh Belanda dan disuruh berjalan kaki ribuan kilometer.
Selain itu, ada pula R.A Kartini yang berjasa melakukan empowerment secara pendidikan, dan Laksamana Keumalahayati yang sejak dulu sudah memimpin armada perang di Aceh. Sejak dulu perempuan Indonesia sudah berjuang di berbagai bidang, tidak menunggu femiisme datang dari Barat. Yang berarti, feminisme sudah ada di Indonesia jauh sebelum “nilai-nilai Barat” masuk. Wanita-wanita ini tersebar di seluruh Nusantara.
Jangan lupa, Budaya Jawa yang sebenarnya meninggikan perempuan, contohnya Tribuana Tunggadewi sebagai ratu Majapahit. Sejak zaman pra kolonial, masyarakat kita sudah mengutamakan feminism, yaitu meninggikan perempuan dan tidak masalah jika mereka ada dalam posisi penting.
Di dunia modern kita mengenal Ibu Susi Pujiastuti, Retno Marsudi, Sri Mulyani, Bu Risma Trimaharini, Khofifah Indar Parawansa, sebagai tokoh-tokoh pemimpin berpengaruh yang bergender perempuan. Hal ini berarti nilai-nilai masa lalu yang ada di Indonesia di bidang kesetaraan gender masih berlanjut hingga sekarang. Adapun diharapkan nilai-nilai ini tetap bertahan agar menjadi pendidikan bagi masyarakat bahwa memimpin itu tergantung kemampuan, bukan terkait gender.
Adapun kita harus menghindari retorika negatif untuk perempuan seperti “perempuan lebih rendah karena kromosom,” karena jika itu benar, tidak aka nada menteri, Ketua DPR, Presiden perempuan di Indonesia dan dunia, dari dahulu hingga sekarang. Jika mendengar retorika tersebut, putri anda harap dapat dibimbing, agar tidak merasa bahwa dirinya tidak pantas menjadi pemimpin. Untuk itu orang tua diharapkan memahami perspektif dan jika tidak, paling tidak mengetahui satu dua hal mengenai kesetaraan gender.
Di level internasional, di Amerika serikat, terdapat Alexandria Ocasio-Cortez, anggota dewan AS yang menjadi pembicaraan. Selain itu, terdapat juga Kamala Harris yang menjadi Wakil Presiden AS, Elizabeth Warren, Kristen Gillibrand, dll orang-orang yang menjadi nominasi dalam pemilihan kader Partai Demokrat di AS.
Jika di level internasional kemajuannya sudah seperti ini, mengapa kita ragu dalam memimpin perempuan? Banyak sekali hal-hal yang membutuhkan kepemimpinan perempuan seperti KDRT, kesehatan reproduksi, anti-prostitusi dll. Tidak bisa hanya laki-laki yang maju, karena itu berarti kita maju tanpa setengah dari tim bola kita. Karena itu kita harus selalu meyakinkan orang dekat kita yang berjenis kelamin perempuan bahwa mereka mampu, bahwa mereka bukan mahluk kelas dua, bahwa mereka tidak merupakan subjek yang harus berdri di bawah baying-bayang laki-laki.
Semoga tulisan esai ini dapat membuka mata masyarakat umum untuk memahami bahwa, feminisme adalah nilai yang sangat kompleks, walau demikian muda dipahami. Semoga kita semua dapat menjadi orang tua berperspektif feminist agar dapat memberikan kesetaraan bagi anak perempuan maupun laki-laki yang ada dalam rumah tangga.
Semua berasal dari rumah, jika rumah mengajarkan bahwa perempuan bisa memimpin maka bukan tidak mungkin mereka menjadi Megawati berikutnya atau Hillary Clinton berikutnya. Semoga tulisan ini dapat menyadarkan orang-orang bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara, tanpa ada batasan patriarki. Dengan demikian, di masa depan, perempuan pun akan sukses, tidak hanya laki-laki. (*)