Gadget Membunuh Literasi
“Jika Ingin Menghancurkan Sebuah Bangsa dan Peradaban, maka Hancurkan Buku-Bukunya”
Milan Kundera.
Kutipan ini mengajak kita merefleksi makna dibalik kata literasi. Ada yang masih ingat apa itu literasi? Umumnya kita mengenal literasi sebagai simbol dari habbit membaca dan menulis, namun seiring berjalannya waktu literasi kian berkembang dan memiliki beragam penafsiran.
Pada tahun sebelum 2000-an literasi cukup pada kemampuan menggunakan bahasa lokal dan menulis alfabet, namun seiring berjalannya waktu, literasi menuntut makna yang lebih komprehensif, yakni membaca, memahami, mengelola informasi lalu menyampaikannya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, juga mengharuskan kita menguasai aksara bangsa maju seperti bahasa inggris yang merupakan bahasa universal, dengan tujuan menciptakan manusia unggul dan beradab.
Di masa lalu, para cendekia berbondong-bondong menerjemahkan buku-buku asing kedalam bahasa mereka untuk diajarkan kepada para murid, ini bertujuan menambah referensi pengetahuan akan dunia luar yang belum sepenuhnya ia jamah, hal inilah yang membuat peradaban berkembang hingga sekarang. Literasi sejatinya adalah salah satu pendorong dari kemajuan suatu bangsa, dewasa ini kita bisa menyaksikan Jepang dan Amerika Serikat hadir sebagai kekuatan raksasa dunia, mereka merupakan negara adidaya yang matang di sektor ekonomi, sains pun teknologi.
Berdasarkan hasil Riset Center For Social Marketing (CSM) dalam setahun masyarakat di dua negara ini rata-rata menghabiskan buku bacaan sebanyak 32 judul, yang artinya minat baca kedua negara tersebut terbilang tertinggi di dunia. Jika kita memperhatikan keseharian masyarakat didua negara ini juga, maka kita akan mendapati mereka menjadikan literasi sebagai budaya keseharian yang berlangsung di semua tempat, mulai saat terbangun hingga kembali menjelang tidur, dan saya fikir, inilah rahasia dibalik perkembangan pesat bangsa mereka.
Dalam konteks Indonesia, secara kesadaran individu hampir semua orang mengetahui bahwa aktivitas membaca merupakan hal yang baik dalam peningkatan kualitas diri, dimana literasi sebagai salah-satu metode dalam transformasi ilmu pengetahuan. Anehnya, kesadaran ini berbanding terbalik dengan fakta empiris yang ditemukan. Pada tahun 2011, UNESCO merilis survei budaya literasi terhadap penduduk di negara-negara ASEAN, hasilnya sungguh miris, Indonesia berada pada peringkat paling rendah dengan nilai 0,001. Artinya, dari sekitar seribu penduduk Indonesia, hanya satu yang masih memiliki minat literasi tinggi. Ini tentu menjadi masalah jika kita mendambakan sebuah bangsa maju dengan peradaban yang menjadi poros dunia.
Bagi penulis sendiri, hal yang melatarbelakangi masalah ini adalah suplai teknologi besar-besaran dari negara luar yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan masyarakat. Khusunya gadget yang sebelumnya tak kita kenal namun secara mengejutkan menjadi kebutuhan primer yang wajib terpenuhi. Belum lagi aplikasinya yang beragam seakan menghipnotis pengguna hingga enggan melepasnya meski sejenak. Akhirnya itu menyebabkan manusia Indonesia hidup dalam frame sempit dan mengaburkan budaya literasi ditanah ibu pertiwi.
Di negara asalnya, gadget tidak lebih dari alat komunikasi yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan manusia dengan menghubungkan satu orang dengan lainnya di tempat yang berbeda. Di negeri ini mayoritas masyarakat menjadikan gadget sebagai teman bermain bahkan teman hidup, akhirnya bukan lagi masyarakat yang mengendalikan gadget melainkan masyarakatlah yang di kendalikan gadget tersebut. Bagai pisau bermata dua, gadget menjelma senjata yang memakan tuannya.
Bangsa ini disodorkan berbagai macam gadget keluaran terbaru, menjadikan masyarakat pangling memilih sebab hasrat besar ingin memiliki. Dampak berikutnya adalah masyarakat lebih senang mencari sensasi dibanding arti, lebih banyak caption ketimbang action, lebih sibuk memoles diri untuk tampilan instastory ketimbang berliterasi. Tak bisa dinafikan, gadget memang bisa menjadi malaikat yang menawarkan kemudahan dalam pengembangan literasi. Namun di sisi lain, ia cenderung menjelma iblis yang menghegemoni manusia menjadi acuh, malas dan akhirnya bodoh. Ia menempatkan manusia pada jurang dengan pilihan melangkah jatuh atau beranjak mencari aman.
Mari sedikit membuka ruang kesadaran berfikir, setiap hari kita melihat wajah-wajah baru yang tiba-tiba viral karna media sosial, anak-anak yang menghabiskan harinya dengan menggenggam gadget sambil bermain game. Belum lagi ketidakmampuan masyarakat dalam memfilter apa yang baik untuk dikonsumsi dalam gadget, sehingga lebih sering menyelami laman-laman dengan konten negatif. Perilaku semacam Ini lambat laun menjadi kebiasaan baru yang membunuh jati diri dan semangat literasi bangsa.
Coba hitung, berapa banyak orang memilih membeli gadget terbaru ketimbang buku? Bagi sebagian mereka harga tak menjadi masalah, yang jelas viturnya lengkap dan bisa di upgrade setiap saat.
Mengapa gadget begitu mempengaruhi arus budaya literasi bangsa? Hal ini terjadi sebab kita tak mendapatkan proses perkembangan gadget sehingga membuat kita buta fungsi. Proses yang di maksud adalah perkembangan teknologi gadget yang tadinya sederhana menjadi rumit hingga berakhir kompleks seperti saat ini. Masyarakat tidak sampai pada pembelajaran mengenai bagaimana membuat, apa-apa bahannya dan bagaimana pengembangannya.
Bangsa ini menerima mentah-mentah hingga kita terkesimah dan larut dalam mengagumi teknologi tersebut. Lahirlah budaya konsumerisme konyol di tengah-tengah masyarakat. Animo yang ditimbulkannya membuat kita berlomba-lomba ingin memiliki gadget-gadget itu dengan segala embel-embelnya, setelahnya kita akan asik menjelajahi setiap ruang dan kemampuan gadget yang dimiliki, menghabiskan waktu hidup untuk terus tersesat pada aplikasinya.
Hal ini menjadi contoh kongkrit bahwa kekejaman zaman telah berevolusi menjadi semakin kejam, kita memang tak melihat lagi pembakaran buku-buku seperti saat perpustakaan iskandaria menjadi lilin disatu malam yang gelap, pembakaran buku dan pembantaian cendekiawan pada dinasti Qin di China atau pemusnahan naskah kuno maya oleh penakluk dan pendeta Spanyol. Namun lebih dari itu, zaman membuat kita hidup dalam tidur, otak kita dicuci hingga berpaling dari literasi yang merupakan setapak menuju peradaban beradab yang diimpikan.
Seyogyanya zaman ini menawarkan triliyunan buku yang mudah ditemukan, setiap tahun buku baru dicetak, belum lagi buku lama yang tak terhitung jumlahnya. Sebagian bahkan menjadi E-Book untuk mempermudah kita mengakses dan membacanya. Hanya saja buku dan literasi kalah saing dari Mobile Legend, Hago, WA, IG, dan Drakor yang semuanya dapat dinikmati dalam satu layar gadget itu. Zaman yang menawarkan kemudahan justru mandek literasi, manusia milenial hidup dikelilingi buku namun tak sedikitpun melirik dan mencumbunya.
Selain hal diatas, sekaratnya minat literasi juga dikarenakan pembunuhan budaya-budaya intelektual. Semisal kebiasaan membaca al-quran bersama ketika selesai sholat magrib dan membacakan dongeng kepada anak sebelum tidur, hal-hal seperti ini semakin jarang kita temui di masyarakat milenial. Kita harus faham bahwa lingkungan merupakan pembentuk dari anak yang nantinya akan menjadi bagian vital dari masyarakat.
Oleh karna itu, lingkungan haruslah mampu mengawal tumbuh kembangnya dengan senantiasa menghidupkan buku dan budaya literasi dalam aktivitas sehari-hari. Dua kegiatan sederhana di atas secara psikologi mampu menanamkan minat baca sejak dini, yang tentunya merupakan langkah awal dalam upaya membudayakan literasi.
Penulis: Muh Arjun Wiraya, mahasiswa UINAM, berorganisasi di HMJ Keperawatan, SC.Supremasi Kesehatan, Kesatuan Mahasiswa Nusantara (KMN)