Gerakan Perempuan Kodingareng: Kesetaraan Gerakan Tanpa Teori
Kodingareng Lompo merupakan salah satu pulau di Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kodingareng juga termasuk dalam gugusan pulau Spermonde yang membentang sepanjang Selat Makassar bagian selatan. Secara garis besar Kepulauan Spermonde berada di kawasan laut yang membentang dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru.
Kawasan Spermonde dapat dikatakan sebagai surga bagi biota laut seperti terumbu karang, ikan dan lain sebagainya. Hal ini yang menjadikan Kawasan Spermonde primadona bagi para nelayan. Namun rupanya tak hanya nelayan yang menyukai kawasan ini, penambang pasir laut pun demikian. Kegiatan tambang pasir laut kemudian dilegalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 2 Tahun 2019 tentang RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
Dalam Perda tersebut zona penambangan pasir bersinggungan langsung bahkan berada tepat di wilayah tangkap nelayan. Salah satu titik zonasi yang merupakan wilayah tangkap nelayan berada di Bone Malonjo (nama tradisional wilayah tangkap nelayan). Nelayan pulau Kodingareng Lompo khususnya menjadikan Bone Malonjo salah satu wilayah tangkap mereka.
Sejak tanggal 13 Februari kapal penambang pasir terbesar di dunia yakni TSHD Queen of Netherlands milik PT Royal Boskalis melakukan penambangan di wilayah tersebut. Masyarakat Kodingareng mulai merasakan kegelisahan. Karena kegiatan penambangan pasir laut membuat air laut menjadi keruh sehingga nelayan utamanya yang menggunakan teknik memancing dan menyelam kesulitan melihat ikan. Hal ini menjadi pemantik amarah masyarakat tak hanya nelayan pun perempuan Kodingareng.
Pada awal bulan Juli masyarakat mulai memperbincangkan akibat dari kegiatan tambang pasir laut yang mendatangkan paceklik bersamaan dengan wabah covid-19. Masyarakat kemudian memutuskan untuk melakukan gerakan kolektif dalam rangka menolak tambang pasir laut. Bersama beberapa organisasi mahasiswa, masyarakat melakukan aksi di laut. Tak lama kemudian Walhi Sulawesi Selatan sebagai salah satu organisasi yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) memulai pendampingan di pulau Kodingareng.
Yang menarik untuk dilihat adalah gerakan perempuan di pulau Kodingareng. Dari awal dilakukannya gerakan kolektif masyarakat tak ada tindak dikriminasi gender. Perempuan dalam gerakan di Kodingareng memiliki tempat yang setara dengan nelayan yang hampir seluruhnya laki-laki. Karena berangkat dari keresahan yang sama dalam hal ini ruang lingkup wilayah kelola masyarakat dirusak. Tak hanya perihal wilayah kelola seiring berjalannya waktu masyarakat juga merasakan langsung kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas penambangan pasir.
Melihat perubahan ekologis serta paceklik menggugah nurani perempuan Kodingareng untuk melakukan perlawanan. Aksi yang dilakukan masyarakat tak hanya di laut juga di darat dari bulan Juli hingga Desember melibatkan massa aksi yang kebanyakan adalah perempuan Kodingareng. Tak hanya dilibatkan sebagai massa aksi saja, pelibatan partisipatif perempuan Kodingareng dalam gerakan terhadap penolakan tambang pasir pun sangat strategis.
Perempuan Kodingareng tanpa dikenalkan pada teori kesetaraan dalam gerakan mengerti apa yang harus mereka lakukan. Contohnya saling mengorganisir sesama perempuan yang menjadi korban tambang pasir. Cara perempuan saling mengorganisir cukup sederhana. Melalui percakapan yang dilakukan tiap kali berkumpul pada pagi dan sore hari. Di sela-sela kesibukan mengurusi urusan domestik mereka tidak lupa untuk membahas polemik tambang pasir serta langkah-langkah apa yang kiranya mesti dilakukan.
Praktik kesetaraan tanpa teori ini juga dapat dilihat setiap kali musyawarah perihal tambang pasir digelar masyarakat. laki-laki dan perempuan memiliki hak suara yang sama. Mereka bebas menyampaikan pendapat masing-masing di dalam forum musyawarah. Tanpa adanya pembatasan suara sebagai tindak diskriminatif berbasis gender. Tak hanya hak suara juga hak memberi keputusan dalam gerakan masyarakat Kodingareng sama sekali tidak membatasi perempuan. Mufakat dicapai dengan keputusan bersama tidak ada dominasi dalam menetapkan keputusan.
Masyarakat sadar yang terkena dampak akibat kegiatan tambang pasir tidak hanya para lelaki yang berprofesi sebagai nelayan pun juga perempuan. Dampak pada perempuan tidak hanyak mengena aspek ekonomi yang mendatangkan paceklik juga aspek sosial yang menimbulkan problematika di kalangan masyarakat. Keadaan ekologis tidak luput dari perhatian perempuan Kodingareng. Karena memikirkan kehidupan dan masa depan anak-anak mereka. Khawatir anak-anak mereka tidak mampu lagi hidup di pulau yang merupakan tanah kelahiran mereka akibat abrasi sebagai salah satu kerusakan ekologis akibat kegiatan tambang pasir laut.
Karena bergerak dari hati nurani sampai sekarang banyak perempuan Kodingareng yang masih konsisten melakukan gerakan penolakan terhadap tambang pasir laut bersama dengan masyarakat lainnya. Peran perempuan Kodingareng yang sangat partisipatif dalam gerakan penolakan tambang pasir semakin istimewa dengan dengan adanya kelompok ekonomi kreatif. Kelompok ekonomi kreatif ini merupakan gerakan kolektif perempuan Kodingareng dalam mengelola sumber daya alam di pulau seperti pengelohan ikan tenggiri menjadi abon ikan, ikan teri goring serta sarden tradisional dari ikan campuran yang dikenal sebagai cao. Gerakan ekonomi kreatif ini dibentuk untuk merawat napas perjuangan masyarakat Kodingareng.
Sebab perempuan Kodingareng mengerti bahwa napas perjuangan mereka harus dirawat secara kolektif. Dengan bantuan modal usaha dari beberapa NGO yang mendukung perjuangan Kodingareng, perempuan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka kemudian berkomitmen untuk membentuk kelompok sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam mengolah sumber daya alam.
Praktik kesetaraan yang dilakukan oleh perempuan dan masyarakat Kodingareng adalah praktik tanpa teori kesetaraan. Mereka bergerak dengan posisi yang sama dalam gerakan berangkat dari hati nurani tanpa adanya kepentingan individu dan diskriminasi gender sama sekali. Mereka tidak tahu apa itu feminisme, emansipasi, atau teori kesetaraan lainnya. Masyarakat sadar bahwa gerakan mereka adalah gerakan demi kepentingan seluruh elemen masyarakat. bukan gerakan yang mewakili kepentingan golongan atau gender tertentu.
“Kita semua berhak setara tanpa harus menjadi feminis” Hi The Strange.
Penulis: Hi The Strange. It's Not The Way You Plan It, But It's How You Make It Happen!