Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 28, 2020

Gerakan Sosial atau Siapkan Kuburan Massal

Sejak dinyatakan bahwa COVID-19 sudah merambat ke Indonesia, publik menilai pemerintah selaku penentu kebijakan belum mengambil langkah serius. Pemerintah baru menangani ketika sudah mendesak dengan mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun sampai hari ini terjadi peningkatan kasus setiap harinya, sebelumnya presiden telah menetapkan kedaruratan kesehatan dengan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar.

Secara umum keputusan ini mungkin sudah tepat, tapi disisi lain dilema bagi banyak masyarakat. Mereka sebagai pekerja informal merasa kesulitan, merosotnya hasil bisnis, simpanan semakin menipis, makan menjadi dilematis. Jika pemerintah apatis terhadap hal ini, masyarakat bukan hanya terancam virus mematikan tapi juga terancam mati kelaparan.

Apalagi ada opsi dari presiden jika pemberlakuan PSBB kurang tepat, mungkin saja diberlakukan darurat sipil. Jangankan pemberlakuan darurat sipil, pemberlakuan PSBB saja pemerintah sudah banyak melewati anak tangga. Dimana seharusnya ada banyak kebijakan yang perlu dimaksimalkan pada pasal sebelumnya, sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam pasal 52, 55, dan 58. Apakah pemerintah enggan memenuhi pasal itu?

Seharusnya pemerintah bisa lebih memaksimalkan UU Kekarantinaan Kesehatan dibanding rencana pemberlakuan darurat sipil. Belum lagi beberapa persoalan yang lahir akibat pandemi ini, berupa pengucilan tim medis dihalamannya, pelarangan pemakaman jenazah korban COVID-19 dibeberapa daerah, serta masih banyaknya masyarakat yang tidak taat terhadap aturan dan kebijakan pemerintah. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terjalinnya hubungan baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, ataupun pemerintah daerah dengan pemerintah setempat.

Keadaan ini berimbas kepada masyarakat yang terkadang melakukan hal-hal yang keliru karena mereka tidak tahu. Kemudian ketika terjadi kekeliruan di masyarakat, pemerintah ataupun yang berwenang dalam hal itu dengan segala pengetahuannya. Seyogyanya mereka yang mengetahui ataupun kita tidak boleh sewenang-wenang menstigma, bahkan menghakimi dan menghukumi.

Faktanya sebagai masyarakat yang tergolong kaum awam tentunya butuh pengertian dengan adanya sosialisasi pemerintah pusat, daerah, ataupun setempat yang sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan. Akhirnya terjadilah banyak kekeliruan yang akan membuat kita terpuruk dalam menghadapi persoalan yang sangat besar seperti pandemi ini.

Terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi, WHO memuji Korsel atas keberhasilannya memukul mundur COVID-19. Mengutip perkataan mantan laksamana angkatan laut AS, Hyman Rickover George "kita perlu belajar dari kesalahan negara lain, karena untuk membuat kehidupan itu tidak dengan sendiri". Indonesia tidak hanya perlu belajar dari keberhasilan negeri ginseng, tapi Indonesia juga sangat harus belajar atas keterpurukan AS dan Italia dalam menghadapi pandemi ini.

Tidak banyak kesalahan yang dilakukan oleh 2 negara tersebut, namun sangat fatal akibatnya. Pertama, AS terpuruk akibat kelengahan pemerintahnya. Bahkan presiden AS pernah berkata di akhir Februari kemarin, Donald Trump "virus corona jenis baru ini akan hilang dengan sendirinya seperti mukjizat". Karena itulah, tidak adanya keseriusan pemerintah AS membuat negeri paman sam pemegang rekor kasus terbanyak sampai saat ini.

Kedua, Italia terpuruk karena tingginya populasi lansia dan ketidak patuhan masyarakatnya. Menurut wakil presiden palang merah Tiongkok di kota Milan, kata Sun Shuopeng "Disini salah satu area paling terdampak COVID-19, tapi penerapan lockdown sangat longgar. Aktivitas masyarakat masih berjalan seperti biasanya, seakan tidak ada ancaman dan aturan pemerintah".

Memahami beberapa dampak yang terjadi dengan melihat realita, zona nyaman Indonesia saat ini seruang dengan 2 negara pemuncak klasemen. Sebagaimana ketua PMI, Jusuf Kalla pernah berkata "Ada suasana memandang enteng". Dan seorang ekonom senior, Rizal Ramli menganggap "awalnya respon pemerintah relatif lambat dan terlambat".

Akhirnya terjadi soft denial, penolakan lembut pemerintah terhadap pandemi ini. Kasus pasien Cianjur setidaknya menjadi gambaran bagaimana pemerintah menyikapinya. Namun di akhir bulan Maret kemarin, ada kebijakan tentang stabilitas keuangan dan perekonomian yaitu subsidi kredit pekerja informal, gratis listrik 450va dan diskon 50% listrik 900va, tambahan pendanaan PKH, pra kerja, dan kartu sembako.

Setidaknya itu bisa menjadi angin segar bagi masyarakat, dan semoga tindak lanjut pemerintah tidak sebatas di mulut saja. Jangan sampai kebijakan demi kebijakan yang ditawarkan itu hanya menjadi alat penenang, bukan menjadi bantuan kebutuhan. Karena disaat-saat seperti inilah masyarakat miskin Indonesia akan semakin menggema dengan segala jeritan suka duka.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, semuanya tidak akan cukup untuk memaksa pendemi ini meninggalkan Indonesia. Kita perlu semangat nasionalisme, kita harus lakukan gerakan sosial. Gerakan sosial yang didalamnya saling support satu dengan yang lain, saling mengerti satu dengan yang lain, saling membantu satu dengan yang lain, menghilangkan egoisme dan mengutamakan altruisme.

Pemerintah harus memenuhi kebutuhan rakyatnya, rakyat harus taat terhadap aturan pemerintahnya. Jika ini yang kita lakukan, kemungkinan menyusul Korsel itu ada. Tapi jika tidak kita indahkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan senasib dengan AS dan Italia.

Ingat! Jarak fisik memang harus direnggangkan, tapi gerakan sosial justru harus dirapatkan. Mengingat pesan Ibnu Sina "kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan".

 

Penulis: Wisnul, hobi watawa shau bil haqqi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.