Indonesia dan Jalan Pertobatan Ekologis
Indonesia selalu dibanggakan sebagai surga tropis dunia. Negeri dengan garis pantai yang Indonesia selalu dilukiskan sebagai anugerah tropis paling megah di muka bumi. Negeri yang garis pantainya seolah tak mengenal ujung, hutan hujannya pernah dipandang mustahil habis, gunung menjulang seperti penjaga abadi, dan sungai mengalirkan kehidupan bahkan ke desa-desa yang tak tersentuh kabel listrik.
Kekayaan alam itu menumbuhkan keyakinan bahwa negeri ini tidak akan pernah kehabisan apa pun. Keyakinan yang membuat kita lengah. Kita menggali tanah semakin dalam, menumbangkan pohon yang berdiri ratusan tahun, dan mengeruk isi perut bumi tanpa henti, seolah bumi selalu punya stok energi untuk memaafkan.
Tetapi kemurahan bumi punya batas. Alam, meski jarang mengancam dengan kata-kata, sedang memberi teguran yang tak bisa lagi disangkal. Banjir bandang meratakan permukiman, longsor melumat lereng-lereng rapuh, kekeringan memecah sawah seperti kulit retak yang tak lagi punya darah, sungai berubah warna menjadi gelap dan pekat, dan udara kota semakin berat di paru.
Bencana tak lagi terasa seperti kisah orang jauh: ia merangsek masuk ke ruang tamu kita sendiri, hadir tiap tahun tanpa jeda, dan menambah deretan korban yang belum sempat dikubur kenangan.
Musibah atau Buah Tangan Kita Sendiri?
Masih ada yang menyebut semua tragedi itu sebagai musibah alam, sebagai takdir yang harus diterima. Namun semakin terang bukti yang memperlihatkan bahwa semua ini bukan permainan nasib, melainkan konsekuensi dari keputusan yang kita buat bersama.
Hutan di hulu ditebang tanpa pertimbangan daya dukung, tambang raksasa dibuka tanpa memikirkan pemulihan, perkebunan monokultur menggantikan rimba yang jadi rumah ribuan spesies, dan kota dibangun dengan rakus tanpa ruang bernapas. Alam dipandang sebagai mesin produksi, bukan sebagai ruang hidup.
Namun akar masalahnya lebih dalam dari sekadar kerusakan fisik. Kita mengalami krisis cara berpikir: memandang alam hanya sebagai objek eksploitasi. Sungai direduksi menjadi selokan industri, laut sebagai bak sampah raksasa, udara sebagai gudang emisi.
Hubungan lama antara manusia dan alam yang dulu dijaga dengan kesadaran moral seolah terputus. Kita berdiri di tahta semu, merasa berhak menentukan hidup dan mati apa pun yang berada di bawah kaki kita..
Gagasan Pertobatan Ekologis
Di tengah kondisi yang makin genting, gagasan pertobatan ekologis muncul sebagai tawaran moral sekaligus spiritual. Ia bukan jargon kampanye lingkungan, juga bukan respons emosional yang muncul setiap kali banjir merendam kota lalu menghilang ketika matahari terbit.
Pertobatan ekologis adalah cara baru dalam memandang dunia: menyadari bahwa manusia bukan pusat tata semesta, melainkan satu simpul kecil dalam jejaring kehidupan yang saling terhubung. Dan setiap pertobatan selalu dimulai dari pengakuan kesalahan.
Kita lupa bahwa tanah tidak hanya batu dan pasir, hutan bukan hanya tumpukan kayu, sungai bukan sekadar jalur air, dan laut bukan tempat membuang apa yang tak lagi kita inginkan. Semua itu ruang sakral, tempat kehidupan bertumpu. Tanpa pengakuan yang jujur, pertobatan hanya menjadi slogan rapuh yang lenyap bersama angin.
Belajar Kebijaksanaan dari Mereka yang Sederhana
Nusantara sesungguhnya telah lama punya guru terbaik, masyarakat adat. Mereka menebang pohon dengan ritus, berburu dengan batas, dan membuka ladang tanpa memutus saraf ekosistem.
Mereka tidak punya kalkulator ekonomi, tidak menghafal istilah karbon dan biodiversitas, tetapi kebijaksanaannya jauh melampaui gelar akademik dan konferensi internasional yang gemerlap, menghasilkan sebuah ironi yang pahit: semakin tinggi ilmu yang dimiliki, maka semakin jauh ia tersesat dari kearifan menjaga bumi.
Kerusakan pun bukan hanya milik industri besar. Budaya konsumsi perkotaan bekerja sebagai mesin tak bersuara. Kebahagiaan diukur lewat kemampuan membeli. Ponsel baru tiap tahun, pakaian berganti tiap musim, barang sekali pakai dibuang tanpa tahu jejak akhirnya. Lalu kita terkejut melihat gunungan plastik di pesisir dan sungai yang berbusa racun.
Pertobatan yang Dimulai dari Rumah
Bagaimana wujud pertobatan ekologis di Indonesia? Jawabannya tidak menunggu forum internasional atau pernyataan pejabat yang dikemas manis.
Ia tumbuh dari pilihan sehari-hari, mengurangi konsumsi yang tidak perlu, memperbaiki barang alih-alih membeli baru, meminimalisir sampah, dan belajar mengikuti ritme alam. Tetapi perubahan individual saja tidak cukup. Kesadaran ini harus menjadi keberanian kolektif untuk bertanya: Mengapa izin tambang diberikan di zona rawan bencana? Mengapa hutan lindung tiba-tiba berubah nama menjadi konsesi?
Mengapa sungai yang mati tidak pernah diusut pelakunya? Sikap kritis bukan bentuk permusuhan terhadap negara, justru cara menjaga negara tetap menjalankan tugasnya, yakni melindungi kehidupan.
Pembangunan selama ini dipuja lewat angka pertumbuhan ekonomi namun angka itu tidak menghitung air bersih yang hilang, udara beracun yang dihirup anak-anak, atau nyawa yang tenggelam dalam banjir. Apa gunanya pertumbuhan tinggi jika berdiri di atas reruntuhan masa depan?
Jalan Panjang yang Layak Ditempuh
Dalam masyarakat yang menjunjung keyakinan religius, pertobatan ekologis adalah bagian dari iman. Menjaga bumi adalah merawat titipan. Menanam pohon adalah latihan kesabaran. Menjaga sungai adalah wujud kesetiaan.
Mengurangi sampah adalah disiplin mengendalikan diri. Pertobatan ekologis bukan nostalgia hidup primitif, tetapi langkah menuju masa depan yang tidak menukar kehidupan dengan keuntungan sesaat. Perjalanan ini tidak akan cepat dan tidak akan nyaman.
Kita akan berhadapan dengan keserakahan ekonomi, kekuasaan politik yang anti kritik, dan budaya konsumsi yang membius. Tetapi setiap langkah sangat berarti, suatu hari anak-anak kembali berlari di ruang hijau yang teduh, memancing di sungai yang jernih, dan tumbuh tanpa bayang-bayang bencana buatan manusia.
Jika hari itu tiba kita mungkin mengerti: Pertobatan ekologis adalah bentuk cinta paling jujur, cinta kepada bumi, kepada sesama, dan kepada mereka yang belum lahir. Dan tidak ada perjalanan yang lebih mulia dari itu.
Penulis: Muhammad Hilmi, mahasiswa Program Studi PPKn FIS-H UNM & Ketua Komisi Sosial dan Politik Maperwa UNM