Thu, 12 Dec 2024
Esai / Ika Rini Puspita / May 12, 2021

Ironi Kebijakan Ramadan & Paradoks Penanganan Covid-19

Bulan suci Ramadan tidak terasa sudah di penghujung, semoga setelah ini kita menjadi insan yang suci, lebih peka terhadap sesama, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak sah rasanya, jika moment ini berlalu begitu saja tanpa dituliskan.

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbanyak di Asia Tenggara, tentu punya ke-khasan tersendiri dalam merayakan moment bahagia (baca: lebaran). Euforia di penghujung bulan suci misal, dengan berita mudiknya (sekadar berkumpul dengan keluarga), makanan, atau berbelanjanya.

Ramadan tak lengkap tanpa belanja baju baru. Sampai-sampai iklan yang liriknya “Baju baru, alhamdulillah, ‘tuk dipakai di hari Raya…” kita sampai hafal. Meski hanya lagu, tetapi kejadian ini menggambarkan pola konsumsi masyarakat Indonesia jelang Idul Fitri yang meningkat tiap tahun.

Sampai, netizen atau warganet menyebut mal dan pusat perbelanjaan di Kota Makassar layaknya suasana pesta keagamaan di India yang ramai. Hal ini diungkapkan oleh salah satu warganet di TikTok dengan akun @azwaranas. Dalam video TikTok yang viral di sejumlah aplikasi percakapan WhatsApp. "Mal Panakukang rasa India," tulis @azwaranas. "Sudah ndada yang percaya Covid kah gaes?," lanjutnya (SuaraSulsel.id, 02/5/2021).

Menyikapi fakta di atas, penulis merasa risih sebenarnya. Bagaimana tidak? Rakyat dilarang mudik, demi meminimalisir penyebaran/pelanggaran protokol kesehatan. Tapi justru di saat yang sama tempat belanja malah dibuka sampai ramai.

Apakah Covid-19 sekarang pilih-pilih tempat, tidak akan menyerang sekerumunan manusia di tempat belanja? Hal ini senada dengan arahan ibu Menteri Ekonomi Sri Mulyani yang menyerukan untuk membeli baju lebaran (Wartaekonomi, co.id, 24/4/2021).

Ibu Menteri bercandanya keterlaluan, pandemi yang semakin ganas, bukannya meminimalisir perkumpulan, malah mengajak orang berkerumun. Parah! Penulis rasa, hal ini wajar karena Negeri kita menganut sistem kapitalisme, dipikirannya duit melulu, nyawa rakyat yang jadi taruhan tak masalah yang penting uang ngalir terus.

Fakta tersebut belum cukup kawan, masih ada paradoks yang lain menjelang hari raya (baca: lebaran) yang cukup membuat kita kecele. Seperti masuknya Warga Negara Asing (WNA) China-India ke Indonesia, disaat rakyat lokal disuruh untuk berdiam diri (menetap) di wilayah tertentu dalam artian dilarang mudik.

Kasubdit Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Benget Saragih mengatakan, dua dari 85 WNA China yang masuk Indonesia dinyatakan positif Covid-19 (Kompas.com, 07/05/2021). 454 WN India Masuk ke Indonesia Periode 11-22 April
(CNNIndonesia, 24/04/2021).

Ironi memang, fakta membludaknya kerumunan menjelang lebaran artinya potensi penyebaran virus tidak bisa dikembalikan pada kesadaran individu rakyat semata. Harus ada kebijakan yang selaras dan mengantisipasi dari pemerintah. Bukankah di mata hukum semua rakyat memiliki hak yang sama.

Tanpa membeda-bedakan ia berasal dari lokalkah atau internasional sekalipun. Adanya fakta seperti ini, semakin mengkonfirmasi bahwa rezim begitu tidak berdaya dihadapan asing-aseng.

Garang jika berhadapan dengan rakyatnya sendiri, namun membisu/tidak berkutik jika berkaitan dengan asing. Dalam demokrasi dikenal slogan, “Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan).” Karena itulah, inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Dalam artian dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya fakta lapangan berkata lain, yakni dari, oleh dan untuk kapital.

Sangat jauh berbeda jika kita berbicara sistem kepemimpinan dalam Islam. Pemimpin dalam Islam memiliki amanah mulia yakni mengurusi urusan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: "Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR. al-Bukhari dan Ahmad).

Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya (Syariah Islam). Dengan selalu merujuk pada Syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat, hukumnya wajib.

Dengan demikian amanah untuk mengurus semua kemaslahatan rakyat tidak boleh didasarkan pada aturan-aturan kapitalis sekular, sebagaimana yang terjadi saat ini yang dasarnya adalah hawa nafsu dan kepentingan sesaat (kapital). Pemimpin dalam Islam pun memiliki otoritas tertinggi tanpa di didikte dari sisi atas, bawah, kiri ataupun kanan. Yang bersumber semata-mata dari syari'at-Nya.

Wallahu a'lam.

 

Penulis: Ika Rini Puspita, Ketua Forum Lingkar Pena Cabang Gowa.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.