Thu, 12 Dec 2024
Esai / Ita Rosita / Feb 22, 2023

Ketabuan 5 Gender Bugis Kuno

Hampir tiap saat kita semua membahas tentang gender, tak bisa dipungkiri sebab isu gender termasuk salah satu isu mutakhir di Indonesia hingga saat ini. 

Secara umum, yang sering dipahami bahwa gender adalah hasil konstruksi masyarakat yang membedakan sifat antara Laki-laki dan Perempuan secara sosio-kultural. Kita ketahui bahwa definisi ini lahir dari gagasan Mansoer Fakih dalam bukunya “Analisis Gender dan Tranformasi Sosial”, definisi ini juga sering dipakai dan dijadikan sebagai landasan oleh kawan-kawan dalam forum kecil bahkan nasional. Seakan-akan membahas gender itu hanya berbicara mentok pada percakapan Laki-laki dan Perempuan semata.

Sebelumnya, penting dalam membedakan antara seks dan gender merupakan jalan untuk menempuh pemahaman gender, agar tak salah kaprah. Bahwa gender sering diidentikkan dengan sex. Mansoer Fakih (2017:7-8) membedakan kedua konsep lebih jelas, seks ialah pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Hal berbeda dengan konsep gender yang merupakan sifat melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosio-kultural.

Padahal, membahas tentang gender terbagi dua bagian, gender biner dan nonbiner (Genderqueer). Gender biner adalah klasifikasi gender yang menjadi dua bentuk berbeda yaitu maskulin (Laki-laki) dan feminin (Perempuan), sementara gender nonbiner ialah identitas gender yang menolak gagasan gender biner, menganggap bahwa gender hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan atau maskulin dan feminin. Kelompok nonbiner tidak menggambarkan dirinya secara khusus berdasarkan jenis kelaminnya dari lahir.

Mengenal 5 Gender Bugis Kuno

Tak heran jika dalam forum-forum nasional masih terdengar asing akan pengetahuan 5 gender Bugis kuno. Hal tersebut terjadi karena kurangnya edukasi yang mendalam tentang gender dan hak asasi manusia. Perlu di garis bawahi bahwa tiada kalah penting dari sebuah ‘kemanusiaan’ ketika membicarakan tentang keadilan gender.

Suku bugis adalah suku besar di Sulawesi Selatan. Julukan kata Bugis Kuno ini menunjukkan bahwa sejak dahulu 5 gender ini telah ada dan nyata, bahkan telah diakui dalam kepercayaan karya sastra klasik I La Galigo, yakni pedoman kepercayaan masyarakat Sulsel sebelum masuknya Islam.

Seperti yang diketahui 5 gender tersebut: satu, Makunrai yang berarti perempuan, baik secara fisik dan penampilan perempuan secara umum kita lihat. Dua, Oroane berarti laki-laki, yang tampil maskulin dalam keseharian. Tiga, Calalai yang berarti perempuan secara fisik yang berperan atau berpenampilan sebagai laki-laki. Empat, Calabai yang secara biologis seorang laki-laki tetapi dalam kehidupan sehari-hari ia memiliki perilaku seperti perempuan pada umumnya. 

Kelima, ialah Bissu yang dianggap sebagai figur spiritual vital yang menghubungkan manusia dengan dewa, tak mengakui dirinya sebagai perempuan maupun laki-laki, atau perpaduan semua identitas gender, penampilan sangat terkhusus dan istimewa karena ia berpakaian tidak seperti laki-laki dan perempuan secara umum.

Secara kebudayaan, dari lima gender tersebut seorang Bissu yang paling disakralkan di kalangan masyarakat dan dijadikan sebagai derajat sosial yang tinggi karena mereka menjadi perantara spiritualitas, melanggengkan tradisi dan budaya masyarakat Bugis. Namun, setelah masuknya gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Sulsel, kelompok tersebut menganggap bahwa Bissu adalah barisan orang musyrik. 

Sehingga, banyak Bissu yang dibunuh karena tidak ingin bertobat dan dianggap menyalahi kodrat pada saat itu. Tetapi, keberadaan Bissu hingga sekarang masih dapat dijumpai di daerah Bugis khususnya Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan Sidrap, walaupun secara eksistensi menurun.

Pepi AL-Bayqunie: Kisah Nyata Saidi (Calabai)

Seperti kisah nyata dalam buku novel karya Pepi Al-Bayqunie. Saidi merupakan anak Laki-laki dari Puang Baso. Beranjak dewasa, Puang Baso melihat ada kelainan yang ada dalam tubuh putranya yang memiliki gerak-gerik lembut dan gemulai. Saidi juga merasakan ada hal yang lain, bahwa ia tidak pernah berharap dilahirkan sebagai Laki-laki yang memiliki penis, tapi nyatanya jiwa dan karakter sangatlah perempuan secara umum. 

Saidi selalu mempertanyakan tentang identitas dirinya kepada orangtua dan di hadapan Tuhan mulai sejak kecil. Tumbuh besar saat remaja, Saidi berusaha merespon hati nuraninya (Jiwa keperempuannya), ia memulai mencoba berdandan seperti layaknya perempuan dengan mengambil gincu dan bedak Ibunya. Saidi selalu berusaha mengubah identitasnya sebagai perempuan.

Puang Baso dan istri yang menginginkan putranya sebagai Laki-laki tulen secara umum, tentu sangat bertentangan dengan kemauan Saidi. Namun, Saidi selalu merasa berada dalam kekangan orangtua, ia tak berani menunjukkan eksistensi dirinya yang sebenarnya, sebab jika itu terjadi maka Saidi mendapat hukuman dan diperlakukan secara kasar. Tiap hari, benaknya selalu dipenuhi pikiran bahwa ia telah membohongi dirinya sendiri.. 

Saidi pernah mendapatkan hukuman, seperti dilarang makan di rumah, sebab ia ketahuan pernah menggunakan lipstik Ibunya. Ia juga kerap mendapat pukulan dari ayahnya karena sering merasa malu memiliki seorang anak yang berbeda dengan laki-laki yang lain. Tidak hanya itu, Puang Baso sering menegaskan kepada Saidi bahwa ia akan dilaknat Tuhan dan menjadi kafir. Selain harus berhadapan dengan orangtua, orang-orang lingkungan sekitar pun menyiksa Saidi secara batin dan melukai hatinya, sering diperlakukan secara kasar bahkan pernah diusir dari desa. 

Cerita Saidi sangat mengajarkan kepada seluruh khalayak bahwa ada sekelompok manusia kecil yang sering diabaikan bahkan dihina oleh manusia yang merasa dirinya normal dan sempurna. Tanpa memikirkan bahwa dia juga adalah ‘manusia’ yang memiliki hak atas dirinya yang tak bisa dipaksakan. Identitas gender tergantung pada seseorang bagaimana mempersepsikan dirinya atau menilai jati dirinya, bukan berdasarkan kondisi biologis yang ditentukan jenis kelaminnya.

 
Penulis: Ita Rosita, seorang perempuan yang biasa, bercita-cita jadi penulis. Dapat dihubungi melalui Instagram iitarositaa.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.