Thu, 25 Apr 2024
Esai / Mar 16, 2022

Keterbatasan Akses Pendidikan Tinggi

Salah satu visi dari Presiden Republk Indonesia saat ini, yakni Joko Widodo adalah ingin membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, salah satunya dengan mewujudkan pendidikan tinggi yang berkualitas. Badan Pusat Statistik mencatat Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK-PT), yang menggambarkan jumlah masyarakat yang dapat melanjutkan pendidikan tinggi pada tahun 2020 baru sekitar 30,85%.

Tertinggal dibanding Malaysia yang mencapai 50% dan Singapura yang lebih dari 70%, selain itu Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS pada Februari 2020 menyebutkan bahwa hanya 10.3% angkatan kerja Indonesia yang dapat mengakses perguruan tinggi.

Permasalahan akses terhadap Perguruan Tinggi sangat berdampak pada masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah, mengingat pembiayaan untuk masuk ke Perguruan Tinggi semakin meningkat. Peneliti SMERU Research Institute Ridho Al Izzati dalam kalkulasinya menemukan bahwa anak dari rumah tangga yang masuk ke dalam kelompok 60% termiskin hanya memiliki peluang 1% hingga 20% untuk melanjutkan kuliah.

Peluang tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan anak dari rumah tangga yang termasuk kelompok 61-100% terkaya yang memiliki peluang 20% hingga 60% untuk melanjutkan kuliah.

Hak atas pendidikan dapat dikatakan terpenuhi dengan melihat pada pemerataan pendidikan dan kesenjangan yang lahir akibat adanya ketimpangan antara kualitas pendidikan di perkotaan vs pedesaan, fasilitas pendidikan di perkotaan vs pedesaan, dan kualitas pengajar di pedesaan vs perkotaan.

Salah satu ketimpangan pendidikan dapat terihat dan tidak mengalami perubahan hingga sekarang ialah pada tingkat dasar atau sekolah dasar, seperti dikutip dari kompas.com dimana masih ditemukan siswa yang kesulitan akses untuk menuju ke sekolah.

SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten yang harus meniti kabel baja menyebrang Sungai Ciliman saat pulang dari sekolah. Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela berjalan sejauh 6 kilometer pergi dan pulang untuk mencapai sekolah dan berisiko terjatuh ke sungai.”.

Data kesenjangan lain terjadi pada jembatan di Kampung Sungai Tanuak Kenagarian Barung Barung Belantai Tengah, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Padang. Jembatan tersebut putus sejak 25 November dan sampai saat ini masih belum diperbaiki, putusnya jembatan membuat anak-anak di kampung itu yang bersekolah di SDN nomor 42 Talawi terpaksa harus turun menyeberangi sungai untuk mencapai sekolah mereka.

Dikutip dari Liputan 6, memberitakan kondisi memprihatinkan Madrasah Ibtidaiyah (SD) Darul Ulum di pesisir pantai Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima. Sekolah yang berdiri sejak 2007 hanya memiliki fisik bangunan semi permanen. Berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Adapun, dari data sumber tenaga pengajar juga mengalami ketimpangan pada perkotaan dan pedesaan. Dimana 80% guru tersebar di kota, dan hanya 20% di pedesaan tenaga pengajar yang tersedia.

Hak atas pendidikan dapat dikatakan terpenuhi apabila pendidikan available (tersedia), accessible (terjangkau), acceptable (diterima), dan adaptable (bisa beradaptasi). Peraturan terakit hak atas pendidikan telah di atur atau tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak atas pendidikan”.

Adapun, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak memeperoleh pendidikan pun diatur, yakni dalam pasal 12 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai hak asasi manusia.”.

Selanjutnya, pada UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Serta pada pasal 5 ayat 1, di jelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita ketahui jelas bahwa hak pendidikan telah diatur untuk seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan salah satu sumber (tirto.id) yang memaparkan terkait fakta yang terjadi dari sulitnya mengakses pendidikan tinggi pada kalangan menengah kebawah, terjadi pada siswa bernama Haula Nu’ma Salsabila yang baru lulus pada Juni, 2021 ini.

Haula berencana melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi UGM, namun ia mengurungkan niatnya karena biaya untuk berkuliah di UGM yang tidak sesuai dengan pendapatan kedua orang tuanya yang hidup pas-pas an, serta masih terdapat dua adiknya yang juga butuh biaya sekolah. Adapun, hasil pencataan oleh BPS, bahwa kelompok dengan kalangan mengenah kebawah hanya memiliki APK perguruan tinggi sebesar 16,13% pada 2020, yang cukup naik dari 11,44% pada 2019.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa baru sekitar 16 persen dari total penduduk berusia 19-24 tahun di kelompok tersebut yang berkuliah. Sebaliknya, lebih dari separuh kelompok menengah keatas sebesar 56,87% bersekolah di pendidikan tinggi.

Permasalahan aksesibilitas pendidikan bukan hanya disebabkan oleh ekonomi, tetapi menjadi penyebab yang paling determinan dan merupakan output dari sistem neolib-kapitalis yang bercokol dalam sistem pendidikan tinggi, dimana pendidikan dijadikan alat bagi para penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya.

Akibatnya, pendidikan melangkah jauh dari tujuannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan seakan hanya memfasilitasi orang berduit dan menggeser hak rakyat kecil.

Berdasarkan pada data-data dan fakta yang telah dipaparkan tersebut, serta pada hasil pengamatan yang juga di lakukan oleh penulis terhadap lingkungan sekitarnya, penulis beropini bahwa akses pendidikan perguruan tinggi saat ini belum merata, baik dari segi fasilitas dan sarana prasarana, penerimaan subjektif terkait cara pandang perguruan tinggi terhadap mahasiswa/i nya yang masuk dalam kategori menengah kebawah, diskriminasi gender, serta kesenjangan lainnya.

Pada dasarnya, kesenjangan pada pendidikan ini telah lama terjadi khususnya di Negara Indonesia baik pada pendidikan sekolah dasar, menengah pertama, tingkat menengah atas, hingga perguruan tinggi namun sampai sekarang belum dirasakan solusi konkrit dari permasalahan ini. 

 

Penulis: A. Zhafirah Anisa Putri, mahasiswa Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.