Thu, 12 Dec 2024
Esai / Makmur / Oct 23, 2021

Kita Ingin Berdamai, Tapi Tidak Dengan Corona

Presiden Jokowi menghimbau kita untuk berdamai dengan corona agar kita bisa memulai fase hidup normal yang baru berdampingan dengan corona. Tapi apakah corona semudah itu diajak berdamai? Emangnya mereka gampang diajak kompromi? Mereka bukan para anggota “De-pe-er” yang biasa diajak kompromi untuk meloloskan sebuah UU untuk kepentingan bisnis oligarki.

Semenjak Pak Jokowi menuturkan kata-katanya ini tentang berdamai dengan corona di akun sosial medianya, berbagai tanggapan pun muncul dari berbagai kalangan masyarakat. Seperti biasa ada yang mendukung ada yang tidak. Beragamnya tanggapan itu muncul karna adanya tafsiran yang berbeda-beda tentang kata “berdamai”. Kata ini bisa diartikan menyerah dan meminta ampun, ataupun ada yang mengertikan berdamai berarti menyesuaikan diri.

Terlepas dari apapun tafsirannya, pertanyaannya tetap sama, apakah corona semudah itu diajak berdamai? Apakah kita siap berdamai dengan corona? Apakah kondisi yang ada mendukung untuk berdamai dengan corona?

Virus corona atau yang lebih biasa disebut COVID-19 adalah virus yang memilki tingkat dan kemampuan penyebaran yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan saudaranya SARS. Menurut laporan WHO, virus SARS telah menginfeksi 8.437 orang dan membunuh 813 diantaranya dalam kurun waktu 8 bulan semenjak diumumkannya kasus pertama. Sementara COVID-19 ini telah menjangkiti 4,56 juta warga dunia dan 308 ribu diantaranya meninggal dunia hanya dalam waktu 6 bulan semenjak diumumkannya kasus pertama di Wuhan bulan Desember 2019.

Itu artinya, COVID-19 merupakan virus yang punya daya jangkau dan daya jelajah yang cukup tinggi. Daya itu didukung oleh kemampuannya bertahan cukup lama di berbagai benda dan kemampunnya menyebar dan bertahan diudara dalam ruangan yang memilki sirkulasi udara yang buruk. Dengan dasar kemampuannya itu kemudian kita dipaksa untuk memakai masker kemana-mana, mencuci tangan sesering mungkin, sampai membatasi jarak dan tidak bepergian jika tidak penting-penting amat.

Dengan segala kemampuan beradaptasi yang kita milki, kita telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah penyebaran virus ini sampai kemana-mana. Kita telah mengorbankan beberapa hal-pekerjaan, kuliah, karir, ibadah- hanya untuk menahan laju pertumbuhan kasus positif virus ini. Meskipun tidak semua dari kita yang melakukan langkah pencegahan ini, tetapi beberapa dari kita telah melakukan dengan sebaik-baiknya.

Upaya-upaya itu juga sebenarnya bisa diartikan sebagai upaya mengajak damai yang telah lama kita lakukan. Disebut upaya berdamai dikarenakan kita tidak berani melawan virus itu, kita mencoba menghindar dan sebisa mungkin tidak bersentuhan dengan virus ini. Tapi toh nyatanya virus ini tetap ada dan penyebarannya tetap tinggi. Padahal kita telah melakukan beberapa upaya-upaya untuk berdamai dengan virus ini.

Kita telah berusaha untuk tidak berkonfrontasi secara langsung dengan mereka. Tapi toh mereka susah diajak berdamai, mereka seperti belum puas mengotak-atik kehidupan kita. Mereka seperti anak-anak yang ngambek yang susah diajak berdamai.

Sikap mereka yang tidak ingin diajak berdamai mengharuskan kita untuk bersabar. Kesabaran kita betul-betul diuji dengan berbagai himpitan sosial dan ekonomi sebagai dampak dari penghindaran yang kita lakukan kepada virus ini. Meskipun terkadang ada rasa jengkel dan emosi terhadap perilaku sebagian masyarakat dan pemerintah. Perilaku sebagian masyarakat yang bebal untuk mematuhi larangan dan protokol COVID-19 serta pemerintah yang kurang responsive dan mengambil kebijakan yang kontraproduktif.

Bagaimana kita tidak jengkel, disaat masa-masa pandemi pemerintah justru menggodok dan mengesahkan UU Minerba yang disinyalir dan dicurigai didalamnya terdapat pasal yang merugikan masyarakat secara sosial dan lingkungan. Undang-undang juga diyakini sebagai tanda bahwa pemerintah-baik eksekutif maupun legislatif- lebih berpihak pada korporat dan oligarki daripada kepada masyarakat.

Alih-alih membuat undang undang dan pengawasan serta kontrol yang ketat kepada eksekutif dalam rangka mengawal kebikan penanganan COVID-19, mereka justru lebih mementingkan agar kepentingan ekploitasi alam yang berlebihan tetap berlangsung.

Belum lagi dengan kebijakan iuran BPJS yang dinaikkan di saat masa-masa sulit pandemi seperti sekarang. Disaat normal saja masyarakat tercekik dengan iuran BPJS, apalagi disaat sekarang disaat roda perekonomin mengalami pelambatan. Kebijakan itu seperti mencekik masyarakat bahkan mungkin berpengaruh pada penurunan imun tubuh karna stress.

Lantas dengan kondisi itu, kita diajak dan dipakasa untuk berdamai? Berdamai dengan kebijakan pemerintah saja susah, apalagi berdamai dengan virus ini yang telah mengjangkiti kita selama 6 bulan ini. Bukan hanya itu, berdamai dengan virus ini dengan kondisi pertumbuhan kasus positif masih tinggi dan tidak terkontrol tentu menjadi pilihan yang problematis. Tercatat pada tangga 16 Mei 2020, dengan penambahan 490 orang, kasus positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai angka 16.496 jiwa dengan 3.803 diantaranya yang sembuh dan 1.076 meninggal dunia.

Makin meningkat dan belum menentunya statistik kasus postif di Indonesia, seharusnya menjadi penanda dan acuan bagi kita bahwa kita belum siap untuk mengambil langkah yang lebih maju untuk berdamai. Justru penambahan kasus bisa jadi menjadi sangat tinggi dan menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan yang lebih besar jika kita paksakan.

Maka dari itu dalam mengambil langkah dan kebijakan perlu dikaji lebih matang dan lebih cermat agar tidak salah kaprah dan salah perhitungan seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya. Dan pada akhirnya, kita harus selalu bertanya dan menjawab, apakah corona bisa diajak damai?

 

Penulis: Makmur, mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.