Thu, 19 Sep 2024
Esai / Kontributor / Feb 22, 2021

Krisis Demokrasi Rentan Represi: Polemik UU tentang Cipta Kerja

"Indonesia Negara Demokrasi", katanya. Namun, demokrasi tidak sesempit hanya menyoal pemilu yang kerap kali dijuluki sebagai pesta demokrasi.

Demokrasi bukan hanya sekedar sistem pemerintahan, lebih jauh demokrasi adalah dasar hidup bermasyarakat dan bernegara yang artinya rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan Negara, karena kebijakan Negara tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.

Dengan demikian Negara yang menganut sistem demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat (Affan Ghaffar, 2000). Namun, ironisnya figur-figur yang dipercayakan sebagai wakil rakyat secara eksplisit menampakkan wajah mereka yang sama sekali tidak pro terhadap rakyat.

Bentuk nyata dari ketidakberpihakkan para wakil rakyat hari ini adalah dengan disahkan nya UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai tujuh persen dengan catatan iklim investasi beserta regulasinya betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Namun, selama berlangsungnya masa periode kedua kepresidenan Jokowi hingga saat ini, ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan yang stagnan. Bahkan, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat pada 4 hingga 5 persen dan tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,5 persen (Badan Pusat Statistika, 2011).

Disparitas yang ada antara realita dengan impian Jokowi mendorong pemerintahannya untuk mencari suatu alternatif yang dapat mengubah status quosecara drastis. Alternatif yang dimaksud adalah manifestasi dalam berbagai pasal yang tercantum di dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Selain urgensi ekonomi sebagai motif utamanya, proses pembentukan UU ini juga dipermudah oleh iklim sosio-ekonomi yang tercipta atas konsekuensi dari pandemi COVID-19. Pandemi COVID-19 menjadi momentum yang tepat untuk membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja.

Masyarakat kehilangan fokus untuk memperhatikan isu selain dalam bidang kesehatan karena pandemi yang semakin parah. Banyaknya korban yang terinfeksi dan meninggal dunia menjadikan isu-isu kesehatan sebagai fokus utama daripada isu politik dan ekonomi.

UU ini dirancang dengan maksud mengatasi permasalahan pengaturan bidang terkait pembangunan dan investasi yang tumpang tindih. Selain itu, juga di klaim bahwa regulasi ini akan mendatangkan berbagai manfaat, seperti ketertarikan investor untuk menanam modal di Indonesia. Namun, sebenarnya yang menjadi masalah adalah buruknya birokrasi serta maraknya tindak korupsi yang mengakibatkan ketimpangan antara pemasukan dan hasil investasi. 

Banyaknya penyimpangan dalam proses pembahasan sampai pengesahan UU Cipta Kerja yang terkesan terburu-buru juga permasalahan- permasalahan krusial meliputi penghapusan sanksi pidana untuk perbuatan pidana lingkungan hidup, penghilangan fungsi pemerintah sebagai pengontrol jalannya perizinan, pengubahan pasal 19 UU SBP pada pasal 32 UU Cipta Kerja yang mengubah syarat pengalihfungsian lahan dan munculnya pasal 142 UU Cipta Kerja tentang penghapusan AMDAL (Fakultas Hukum UGM, 2020).

Selain itu, beberapa pasal UU tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja.

Sehingga hal ini membuat berbagai kalangan seperti buruh dan mahasiswa menyatakan aksi protes melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah seperti Makasssar, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Namun, yang didapat hanya tindakan represi terhadap aspirasi rakyat.  Buruh dan mahasiswa yang mengikuti aksi demonstrasi di berbagai daerah mengalami tindak kekerasan dari aparat.

Lebih mirisnya, tercatat ada ribuan tahanan selama aksi demonstrasi penolakan UU ini bahkan sampai diproses diranah hukum yang pada akhirnya kita ketahui bersama akan memihak kemana. Berbagai upaya pembungkaman kepada rakyat terkait permasalahan ini. Meskipun sudah jelas bahwa untuk rasa diperbolehkan seperti yang telah diatur pada UU No. 9 Tahun 1998.

Pengesahan RUU Cipta Kerja secara resmi pada 5 oktober 2020 adalah suatu produk hukum dari kolaborasi yang apik oleh 3 pilar demokrasi yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga jelas bahwa munculnya skeptisisme rakyat terhadap rezim hari ini bukan sesuatu yang tidak beralasan.

Tontonan yang memilukan dari berbagai bentuk respon dari elit-elit tersebut yang diperlihatkan kepada rakyat,  sarat akan kekerasan oleh aparat-aparat keparatnya; tangan kosong, peluru karet, dan gas air mata digunakan terlebih lagi independensi penegakan hukum yang masih patut dipertanyakan. Sikap abai dan represif sebagai respons pemerintah terhadap berbagai tuntutan demokrasi mampu mengikis rezim demokrasi.

Merujuk pada realitas tersebut, dapat dilihat bahwa rakyat Indonesia sudah memiliki kesadaran kolektif untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan politik yang juga sejalan dengan pernyataan Jokowi yang meminta untuk masyarakat agar lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintahan. Akan tetapi, hal ini bukanlah hanya ajang untuk eksistensi semata.

Perlu dipahami bahwa terdapat indikasi-indikasi pengikisan demokrasi dengan pelemahan-pelemahan lembaga, peredaman aksi, naiknya oligarki, dan hal lainnya. Sehingga suatu kesadaran akan pentingnya demokrasi sudah tidak cukup, dan diperlukan adanya kajian-kajian untuk menemukan formula terkait metode-metode yang tepat terkait hal ini.

 

Penulis: Dian Fadilla, mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.