Kritik Parokialisme dan Monopolitik Dalam Beragama
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan ; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah ; Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah ; yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam ; Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya ”. (QS. Al-‘Alaq [ 96 ] : 1-5)"
Dominasi parokialis berujung pada matinya obyektivitas beragama
Kata agama kadang-kadang merujuk pada sistem kepercayaan ataupun mengatur tugas manusia. Namun dalam narasi sederhana Emile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial". Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Ibnu Khaldun menempatkan peran agama pada nilai yang sangat tinggi dalam membentuk suatu peradaban manusia. Menurutnya agama mampu memperkuat 'ashabiyyah' karena semangat keagamaan mampu meminimalisir terjadinya konflik di masyarakat.
Dalam masyarakat jasrirah arab beberapa abad silam adalah bukti homogenitas adanya varian agama. Salah satu yang menarik ialah monoteisme agama Muhammad (islam). Keberadaan islam ditengah masyarakat Arab yang cenderung heterogenitas membuat islam tak mudah diterima begitu saja. Dalam catatan abu zayd, konsep monoteisme di Arab bukan lah hal yg baru. Ini tentu, telah di konsumsi oleh beberapa kelompok masyarakat arab yang telah meyakini Tuhan dengan sebuah "Ketunggalan".
Yang tak kalah menarik, momen pewahyuan pertama al-quran telah mampu membuldoser egoisitas sosial para oligarki Arab pada saat itu. Proses pewahyuan pun, diyakini turun pada 17 ramadhan dengan sarat akan nilai, keluhuran, dan kesuciannya. Saya menganggap, bahwa kisah heroik pewahyuan tersebut adalah sebuah "intelektual history records" Bagi umat manusia. Tentu, Sebuah nilai egaliter termaktub di dalamnya.
Dalam catatan perjalanan perkembangan umat islam, mandat teologis tersebut lantas tak mendapat restu dalam praksis gerakannya. Catatan ini cukup mengoreksi letak pemahaman umat islam dalam menerjemahkan teks-teks agama. Prinsip humanis serta egalitarian monoteisme agama Muhammad tak mampu diterjemahkan secara kontekstual oleh umat islam. Bahkan, umat telah bermutasi dengan varian genre mulai dari yang konservatif, radikal, maupun progresif.
Yang paling mengkhawatirkan ialah cara pandang parokial keagamaan yang picik dalam menerjemahkan teks-teks agama. Prinsip parokial adalah prinsip yang mengisyaratkan setiap individu untuk menerjemahkan agama sesuai perspektif nilainya sendiri. Prinsip ini pun, saya anggap sebagai prinsip keagamaan yang mampu membuat matinya obyektivitas beragama.
Dalam beberapa dimensi sosial misalnya, cara pandang parokial dalam beragama telah mereduksi nilai-nilai humanisme dari prinsip pewahyuan pertama dalam al-quran. Misalnya dalam konteks sosial, cara pandang parokial akan menumbuhkan klaim kebenaran dan berujung pada egoisentrisme. Tentu, ini sangat mengkhawatirkan ditengah masyarakat yang kian di per hadapkan dengan situasi yang begitu kolot dan penuh ketidakpastian.
Implikasi monolitik beragama bagi umat islam
Salah satu yang menarik dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer ialah maraknya mis-konsepsi dalam menerjemahkan teks agama. Monolitik beragama yang kita kenal, telah bertentangan dengan prinsip pluralitas agama. Memahami bahwa pandangan beragama adalah yang paling benar dan pandangan yang lain salah, tentu akan menjerumuskan pada nir-nilai keberagamaan kita. Implikasinya pun akan cenderung mereduksi perbedaan.
Sikap monolitik dalam beragama tidak akan pernah membuka ruang pada perbedaan. Keberagamaan monolitik hanya akan mereduksi dan mendistorsi ketuhanan dalam semesta keberagamaan. Saling memarjinalkan satu sama lain adalah realitas obyektif saat ini. Tentu, maraknya mis-konsepsi tersebut telah banyak juga digunakan oleh beberapa pihak ataupun kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu. Sehingga, yang terjadi ialah fragmentasi umat tak terhindarkan.
Sikap Monolitik beragama tersebut lantas membuat fragmentasi umat kian marak bahkan dalam konteks ideologi-politik umat islam telah mengalami faksionalisme. Tentu muncul sebuah pertanyaan. Apakah perlu penyeragaman atau merawat keberagaman?.
Penyeragaman saya anggap bukanlah rute yang tepat. Problem ini bukan lah hal baru, karena di zaman Rasulullah, perbedaan pandangan beragama adalah sebuah keniscayaan. Bahkan Rasulullah pernah berpesan dalam sebuah catatan monumental bahwa "ikhtilafu ummati Rahmah" Perbedaan pandangan adalah rahmat.
Tentu ini telah mengisyaratkan bahwa agama Islam sangat menjunjung nilai-nilai keberagaman tanpa kehilangan substansi Islam itu sendiri. Pemahaman monolitik beragama yang menerjemahkan agama secara harfiah tertutup tentu tak bisa juga kita benarkan dan banyaknya agama -agama serta keberagaman pemahaman agama Islam itu sendiri bukan lah hal yang mesti di salahkan.
Tentu dari catatan ini tidak terlepas dari sikap parokialis kita yang sangat picik sehingga mengantarkan pada fragmentasi umat. Teringat GusDur, beliau pernah mengatakan bahwa islam sejatinya adalah agama kemanusiaan dan agama pembebasan. Yang membebaskan manusia dari kejumudan berfikir, dan kejumudan bersikap.
Penulis: Rahmat Ariandi, PC IMM Kota Makassar.