Sat, 07 Dec 2024
Esai / Kontributor / Aug 11, 2021

Masker Sebagai Gaya Hidup Di Era Pandemi Covid-19

Sejak pertengahan tahun 2020, Dunia mengalami masalah global yang turut dirasakan seluruh elemen masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya pandemic virus covid-19 yang terus mengalami peningkatan jumlah penderitanya. Hal tersebut tentu berdampak dalam kegiatan segala sendi kehidupan sosial masyarakatnya.

Oleh sebab itu, pemerintah meluncurkan kebijakan berupa menaati protokol kesehatan, guna meminimalisasi rantai penyebaran covid-19. Salah satu kebijakan protokol kesehatan yakni tertib memakai masker. Kebijakan memakai masker tersebut sebagai bentuk adaptasi masyarakat dikala pandemi.

Penggunaan masker tersebut dinilai mampu menyaring kuman, bakteri di udara.  Selain itu, penggunaan masker juga dapat melindungi diri sendiri maupun orang lain.

Selain sebagai alat proteksi diri dalam menangkal virus, penggunaan masker juga dijadikan sebagai lifestyle (gaya hidup). Bagi sebagian masyarakat, menggunakan masker tidak hanya mengandung unsur terapan saja, melainkan juga harus mempertimbangkan unsur estetika (keindahan).

Seperti halnya terdapat desainer yang memunculkan produk masker dengan berbagai inovasi dan kreativitasnya. Inovasi masker tersebut ternyata dinilai dan diterima masyarakat sebagai kebutuhan primer di masa pandemic Covid-19. Hal ini selaras dengan pernyataan pimpinan marketing PT Softex Indonesia, dimana ia mengatakan bahwa di masa adaptasi pandemic Covid-19 ini konsumen masker tidak hanya sebagai alat perlindungan diri, melainkan juga menjadi kebutuhan lifestyle di kalangan masyarakat.

Munculnya lifestyle penggunaan masker ini terlihat di pasaran banyak dijumpai masker yang memiliki ciri khas, seperti masker yang bermotif, masker medis, masker kain hingga masker batik. Adanya diversifikasi masker tersebut sebagai bentuk upaya menggalakkan tertib protokol kesehatan dan juga sebagai ajang promosi trend fashion di kalangan masyarakat.

Begitu pula dalam pemakaian masker yang kita ketahui tentu menutup area mulut dan hidung, hal itulah yang menjadi penilaian masyarakat bahwa memakai masker menimbulkan sesak dan ada yang mengatakan “Pakai masker make up nggak keliatan”.

Melihat hal tersebut, masker bertransformasi menjadi masker transparan yang dapat menampakkan wajah dan make up yang digunakan tentu akan tetap terlihat oleh khalayak umum. Adanya transformasi ini membuat masyarakat menerima masker sebagai bagian fashion. Dengan begitu, pemerintah mengharapkan masyarakat memiliki kegemaran memakai masker atas dasar unsur estetika serta sebagai unsur perlindungan diri.

Adanya stigma masyarakat ketika menggunakan masker yang trendi dapat meningkatkan kualitas hidup sosial atau prestige sosial. Anggapan masyarakat ini dianggap sebagai upaya pemenuhan kepuasan diri ketika masyarakat tersebut action di dunia luar. Tidak heran, jika masyarakat menggunakan masker sebagai aksesoris atau pelengkap fashion sehari-hari.

Ketika masker dijadikan gaya hidup, masyarakat kurang memahami fungsi terapan penggunaan masker. Melainkan hanya berorientasi pada unsur konsumsi atau estetika yang mementingkan warna, model, motif, harga, dan merek masker yang akan dibeli.

Maka, masker sudah menjadi tren yang menjadi bagian dari gaya hidup baru. Selain itu, masker juga memiliki simbol sebagai alat untuk mempercantik diri. Selanjutnya memiliki nilai manfaat dari segi kesehatan yaitu sebagai penghambat penyebaran virus.

Gejala sosial ini didukung oleh relevansi teori konsumerisme yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard. Baudrillard menerangkan bahwa masyarakat saat ini sebagai masyarakat konsumsi, Hal ini didasarkan atas pemakaian produk konsumsi oleh masyarakat konsumsi (consumer society)  tidaklah dilihat dari unsur kegunaan atau terapan dari sebuah produk.

Melainkan, masyarakat melihat dari nilai simbolik atau unsur estetika yang melekat pada produk tersebut. Menurut Baudrillard (2014) saat ini masyarakat mengalami pergeseran dalam pola pikir yang sebelumnya rasional, namun dengan adanya perkembangan era digital mengalami perubahan menjadi masyarakat consumer.

Badrilliard menganggap bahwa saat ini masyarakat mengonsumsi tidak lagi melihat fungsi atau kegunaan suatu produk. Melainkan pada citra atau kesenangan semata. Selain itu, Baudrillard menganggap bahwa individu memiliki keinginan yang terus menerus untuk mengonsumsi barang dan melakukan pembedaan dengan individu lain. hal ini dilakukan sebagai sarana meningkatkan status sosial.

Menurut baudrillard terdapat elemen penting masyarakat dikatakan sebagai masyarakat konsumeris. Elemen tersebut yakni tanda, tanda yang dimaksudkan sebagai simbol yang dimiliki suatu barang atau jasa. Dalam hal ini masyarakat merasa puas karena tanda yang melekat, bukan pada fungsi terapan kegunaan barang tersebut. Sehingga, dapat dikatakan masyarakat consumer membeli atas dasar citra dari sebuah produk.

Teori tersebut selaras dengan penggunaan masker sebagai lifestyle, dimana masyarakat membeli masker tidak menilai fungsi masker, melainkan mengejar nilai estetika berupa keunikan yang dimiliki masker.

Adanya inovasi para produsen masker yang menyulap masker sebagai bagian aksesoris fashion. masyarakat tetap dapat berpenampilan modis dengan balutan baju dan masker yang sepadan. Sehingga, secara tidak langsung lifestyle penggunaan masker turut andil memutus rantai penyebaran Covid-19.

 

Penulis: Tia Seksiati Rahayu, mahasiswa Universitas Negeri Malang.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.