Thu, 12 Dec 2024
Esai / Nurhidayat / Dec 19, 2020

Mati Sebelum Mati

Beranilah berfikir sendiri “Sapare Aude”, mungkin ungkapan itulah yang harus kita gaungkan dalam menjalani kehidupan. Seperti pandangan Michael Hurrington terhadap Karl Marx yang menginginkan kebebasan berfikir sewaktu Marx masih berumur 20-an, jiwa kemanusiaan sudah tertanam di dalam dirinya. Banyak tokoh yang mengagumi Marx, salah satunya adalah Robert Down yang mengatakan bahwa dimanapun Marx berada dia tetap menjadi tukang pidato yang aktif.

Diskusi soal kapitalisme merupakan hal yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat dan dikalangan intelektual. Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah pancapaian keuntungan (profit) sebanyak banyaknya, begitupun Max Weber juga mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi untuk dijual dan diperdagangkan guna mendapatkan profit.

Weber mengatakan bahwa ciri dasar kapitalisme adalah sistem pertukaran dipasar. Ketika berbicara masalah sistem kapitalisme, banyak cara yang dilakukan oleh kaum kapitalis untuk mematikan kesadaran manusia guna untuk mendapatkan keuntungan sebanyak banyaknya. Perkembangan kapitalisme menurut Marx itu di dukung oleh negara dalam proses akumulasi kapital, Marx mengatakan bahwa negara pada hakikatnya adalah “kekuatan pemaksa” dan merupakan alat dari kelas borjuasi untuk melindungi dan memajukan kepentingannya.

Nafsu kapitalisme yang sangat tinggi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak banyaknya sehingga apapun yang mereka lihat menguntungkan maka mereka akan mempergunakannya, misalnya tubuh perempuan yang dijadikan sebagai komoditi untuk menjual komoditi-komoditi lain. Sistem kapitalisme yang halus ini menjadikan perempuan perempuan tidak sadar dan merasa bangga, senang dan gembira ketika mereka tampil di iklan, brosur, stiker, spanduk ataupun ketika mereka di jadikan SPG, model, penari oleh kaum pemodal yang mempunyai hasrat tinggi untuk mendapatkan keuntungan.

Belum lagi masyarakat yang tidak mempunyai alat produksi, mau tidak mau mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan keluarganya, ataupun kebutuhan untuk menyekolahkan anaknya sehingga dia dituntun oleh invisible hands “tangan tangan tak terlihat”. Misalnya masyarakat yang bekerja pada perusahaan baik menjadi supir dan pasti dia dituntut oleh waktu sehingga ada yang namanya pelipatan waktu, yang saya maksud pelipatan waktu adalah ketika orang yang menjadi supir ini menyetir sambil makan, minum, merokok dalam waktu yang hampir bersamaan karena mereka mengejar target atau dituntut oleh waktu yang diberi perusahaan dimana dia bekerja.

Saya mempunyai cerita singkat sewaktu saya mengunjungi salah satu tempat perkumpulan masyarakat pada malam hari di kota Makassar. Pada malam hari saya berkunjung di tempat itu untuk melihat aktifitas-aktifitas masyarakat di tempat tersebut dan setiba saya di tempat tersebut saya melihat orang-orang berdatangan tanpa henti yang dengan santainya berjalan berkelompok. Ada yang jalan bersama kekasihnya sambil tertawa, dan ada segerombolan wanita dan laki laki yang duduk di depan saya sambil beradu merek pakaiaan, kosmetik, serta harga pakaian yang cukup mengagetkan. Tempat yang sebenarnya cukup sederhana tetapi dirancang sedemikian rupa untuk menarik perhatian masyarakat sehingga anak muda mau berkunjung kesana yang mempunyai level kegengsian tertinggi di dunia sehingga dia harus tampil “keren” berjalan di tengah keramaian.

Apakah para kaum penerus bangsa tersebut purbo (pura pura bodoh) sehingga dia menjadi peserta penuh dalam perpanjangan nafas kapitalisme? Saya selalu berfikir begini “kenapa sih masih banyak orang orang yang dininabobokkan oleh invisible hands?" Sangat disayangkan ketika kaum intelektual juga belum sadar melihat kondisi dan paling parah ketika para kaum intelektual tidak tahu tentang ciri dasar sistem kapitalisme tersebut.

Kita sadari bahwa pada saat ini, kesadaran manusia telah dimatikan oleh para kaum kapitalis sebelum kematian yang sesungguhnya menjemput manusia. Kaum kapitalis yang sangat cerdas memainkan situasi dan tanda sehingga dengan mudahnya mereka mengeksploitasi apapun untuk meraih profit sebanyak banyaknya.

Michael Blim juga mengatakan bahwa suka tidak suka, mau tidak mau kita sudah berada di dalam sistem kapitalisme. Tetapi saya yakin ketika kita juga cerdas memainkan situasi didalam situas serta membangun kesadaran kolektif atau merevolusi diri maka otomatis umur sistem kapitalisme tidak akan bertahan lama.

Maka dari itu membangun budaya membaca dan menulis merupakan salah satu bentuk perlawanan kepada kaum kapitalis. Selain itu, cinta juga yang dapat membuat kita sadar, namun cinta yang saya maksud adalah cinta atas dasar kemanusiaan, cinta yang mencerdaskan dan membebaskan.

”Gaya boleh berantakan asalkan pikiran tidak berantakan maka jadilah berandalan berkualitas”

 

Penulis: Muh Nurhidayat S, Kader Gerakan Rakyat Dan Mahasiswa Indonesia (Gerak Misi)

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.