Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Mar 10, 2021

Memaknai IWD: Perempuan, Stigma dan Stereotip Gender

Hari Perempuan Internasional dirayakan di berbagai negara setiap tanggal 8 Maret. Tak terkecuali di Indonesia, perayaan ini merupakan bentuk apresiasi pencapaian perempuan di berbagai bidang, mulai dari politik hingga social. Hari Perempuan Internasional juga merupakan seruan untuk memepercepat tercapainya kesetaraan gender.

Sebenarnya, tidak ada penanggalan resmi sejak kapan dimulainya perayaan ini. Dikutip dari tirto.id, akar sejarah Hari Perempuan Internasional dimulai sejak 1908 ketika ribuan perempuan berunjuk rasa di sepanjang jalan di kota New York. Perempuan menuntut hak-haknya untuk memberikan suara, mendapatkan upah yang layak, dan memangkas jam kerja karyawan.

Tahun ini, tema yang diusung adalah 'Choose to Challenge' atau 'Memilih untuk Menantang'. Seluruh perempuan di dunia bisa ikut merayakannya dengan berkontribusi dalam kampanye #ChooseToChallenge. Tantangan yang dimaksud adalah tantangan yang dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Di Indonesia, kita semua menginginkan adanya gerakan yang bisa memberikan dukungan pada orang-orang yang menjadi korban pelecehan seksual, serta adanya advokasi atau bantuan hukum untuk para penyintas. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan yang harus disuarakan lebih keras di moment ini, desak pemerintah sahkan RUU PKS! (#choosetochallenge #sahkanRUUpks).

Pertanyaannya, kira-kira apa urgensi dari perayaan Hari Perempuan Internasional? apakah perayaan ini hanya patut digaungkan oleh kaum perempuan saja?

Tujuan utama perayaan Hari Perempuan Internasional tak lain adalah untuk mencapai kesetaraan gender secara utuh. Berbicara tetang gender, berarti kita berbicara kemanusiaan. Berbicara tentang kemanusiaan, tidak perlu waktu banyak untuk saling tunggu. Segala bentuk tindak pelecehan/kekerasan pada manusia harus diadili, perempuan maupun laki-laki, tua atau muda. Semua berhak menyuarakan.

Sebelum terlalu jauh, ada satu pertanyaan yang perlu dikaji secara jelas, yaitu apakah gender itu kodrat? Jawabannya adalah bukan. Kodrat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah Swt. sehingga manusia tidak bisa mengubah maupun menolaknya.

Kodrat adalah sesuatu yang sifatnya  universal (tetap sepanjang hayat dikandung badan, pada setiap waktu, pada setiap tempat). Sedangkan gender lebih menekankan pada pembagian peran laki-laki dan perempuan yang diatur oleh manusia (masyarakat). Dengan kata lain, gender adalah sesuatu yang dapat dirubah oleh manusia itu sendiri.

Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group). Stereotype seringkali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka atau diskriminasi.

Seksisme (sexism) adalah prasangka dan  diskriminasi terhadap satu individu karena jenis kelamin seseorang. Seseorang yang mengatakan bahwa wanita tidak bisa menjadi insinyur yang kompeten, ia sedang mengungkapkan seksisme. Begitu pula seseorang yang mengatakan bahwa pria tidak bisa menjadi guru anak-anak yang kompeten.

Mari kita mengulik sedikit tentang hadirnya beragam spekulasi pada perempuan. Perempuan adalah makhluk lemah, tidak tangkas, dangkal akal, selalu bergantung pada laki-laki, seharusnya hidup bersama setiap hari dengan debu rumah tangga, memiliki nilai jual karena paras dan tubuhnya bukan karena kemampuannya. Kebanyakan dari mereka memiliki kisah hidup yang selalu dipaksa, atau diperkosa.

Ya, poin-poin rendah itu selalu dilekatkan dengan perempuan. Pertanyaannya kemudian, apa yang menyebabkan berbagai penghargaan itu melekat padanya? Padahal menurut Kautsky, perempuan adalah pembangun peradaban yang pertama. Hal ini bukan argumentasi semata, melainkan hal yang telah dibuktikan oleh waktu.

Tidak akan mungkin terjadi pembangunan yang sedemikian pesat kita rasakan sekarang jika tidak ada pembangun peradaban yang pertama.

Namun, poin-poin rendah di awal tadi wajar jika terlekat pada mereka, karena ada sesuatu yang laki-laki miliki namun perempuan tidak miliki, padahal seharusnya seluruh manusia berhak memiliki sesuatu itu. Sesuatu itu adalah kesempatan.

Terlepas dari spekulasi diatas, kekerasan adalah hal yang tidak bisa lepas dari konsep stereotip gender. Tidak sedikit dari kita yang hari ini menganggap kekerasan adalah hal yang ‘biasa’. Ditambah media yang kadangkala tidak sensitif akan kalimat-kalimat seksisme, munculnya akun-akun yang mengupload konten yang katanya netizen itu lucu.

Bagaimana bisa orang menganggap lucu sedangkan apa yang menjadi isi konten itu becandaan yg seksisme. Apa itu seksisme? Seksisme adalah prasangka, perilaku, sikap yang diskriminatif terhadap suatu gender.

Lain lagi dengan adanya cap perempuan adalah kaum 'lemah', mudah menangis, dll. Padahal Tuhan menciptakan air mata bukan cuman buat perempuan saja, laki-laki pun memiliki air mata. Dijalan juga banyak laki-laki yang bawa kendaraan kacau, terus kalimat yang secara terang-terangan yang menggambarkan perempuan hanyalah sebagai objek pemuas nafsu, seakan-akan perempuan dibuat hanya untuk melayani laki-laki, sedangkan dapur diciptakan bukan hanya untuk perempuan, kenapa mengharuskan perempuan saja yang memasak?

Hal lain yang perlu dipahami juga adalah pemikiran feminisme multikulural. Paham ini menggambarkan bahwa kondisi perempuan tidaklah sama. Perempuan berkulit putih dan perempuan berkulit hitam memiliki kondisi berbeda dan tidak dapat disamaratakan. Apabila berefleksi lebih jauh lagi dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia ataupun di Makassar khususnya, stigma terhadap warna kulit masih tumbuh subur.

Selama perempuan itu sendiri masih menganggap “sosok berkulit putih” jauh lebih baik, hebat, cakap, rupawan, dan kompeten maka diskriminasi akan terus terjadi pada perempuan kulit hitam. Stigma tersebut perlu dilawan bersama untuk membebaskan perempuan dari belenggu rasisme, seksisme, dan klasisme.

Kita beralih ke sejarah peralihan model bertahan hidup dengan sistem berburu (berpindah-pindah tempat), mejadi model bertahan hidup dengan sistem bertani (menetap). Perubahan ini tidak lepas dari inovasi yang dimiliki oleh perempuan, karena pada hakikatnya manusia bukan hanya makhluk carnivore, mereka adalah omnivore yang juga butuh terhadap tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayur-sayuran.

Kalau laki-laki sibuk berburu, dan mencari tumbuh-tumbuhan, maka perempuan yang menunggu untuk kemudia diolah menjadi makanan. Dimasa itu, perempuan menjadi makhluk yang penting dalam hal mempertahankan kehidupan.

Sebuah sistemdisebut Matriarchat, yang dikaji Lafitau adalah kondisi dimana perempuan menguasai hasil-hasil ladang,perempuan berkuasa atas perang atau damai, yang menetapkan perkawinan-perkawinan, dan menurut garis merekalah diambil aturan keturunan.

Terjadinya konsep matriarchat ini hanya sebagai pembukti bahwa alasan-alasan akan kodrat perempuan seperti melahirkan, mengurus anak dll yang menjadi penghambat akan aktualisasi diri perempuan itu salah. Karena penyebabnya bukan persoalan kodrat, melainkan persoalan kesempatan. Mereka mampu, mereka dapat diandalkan, dan terbukti tidak dangkal akal.

Namun, bukan berarti dengan cara memperbudak laki-laki sebagaimana yang terjadi pada konsep matriarchat ini merupakan solusi bagi permasalahan ini. Keadaan yang semacam ini tentu bukan keadaan yang sehat.

Satu sistem yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistem yang memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistem, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia.

Ir. Soekarno, dalam bukunya –Sarinah- mengatakan bahwa syarat mutlak kesejahteraan rakyat adalah terwujudnya persatuan nasional, yang tentu menyangkut hubungan anatara wanita dan laki-laki Indonesia. Jangan sampai, wanita misalnya terlalu menitik beratkan pada pengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan perjuangan pembelaan bangsa.

Sukarno mengharapkan agar wanita bisa bergerak. Jika kita memaknai IWD hari ini, maka harusnya kita sadar bahwa tantangan itu terus berkembang, kontribusi kita menjadi kunci dari semuanya. Puan, mari bergerak bersama...

 

Penulis: Andi Nurul Fadhilah, mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UINAM. Dapat ditemui melalui Instagram @nunufdhlh.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.