Thu, 12 Dec 2024
Esai / Muhammad Ian Hidayat / Nov 10, 2021

Membangun Kekuatan Ekologis di Tanah Bapak

Bapak adalah seorang Pegawai Negeri, tahun 2006 beliau membawa kami merantau ke Pasangkayu, Sulawesi Barat. Masa itu Bapak baru saja terangkat menjadi Pegawai Negeri di daerah yang baru saja memekarkan diri menjadi Provinsi Sulawesi Barat tersebut.

Pemekaran Provinsi yang menjadi implementasi dari gagasan otonomi daerah. Menjadikan sebuah nilai untuk memperjuangkan Sulawesi Barat yang mencakup daerah Kabupaten Polewali Mandar di ujung selatan sampai Kabupaten Pasangkayu di ujung timur sebagai Provinsi yang mampu berkembang secara mandiri. Terutama dalam pembangunan.

Perihal pembangunan. Setidaknya ada 3 Pemerintah Daerah Kota yang punya pendapatan berlebih dalam ranah sawit. Kami tidak akan bahas berlebih mengenai sawit pada tulisan kali ini. Walau banyak permasalahan ekologis tentang perkembangan lahan sawit secara besar besaran. Pembahasan kali ini mengenai tambang. Tapi untuk itu, setidaknya dalam perkembangan perluasan lahan sawit selalu diikuti tambang galian Kelas C.

Pengerukan lahan yang berada di perbukitan, menjadikan tempat bermain kami waktu kecil menjadi rata dengan jalanan. Gunung adalah ekosistem ekologis yang cakupan sampai ke masyarakat kelas bawah. 

Penghidupan di gunung gunung, dieksploitasi. Atas dalih pembangunan.

Masalahnya melupakan hal hal yang mungkin dianggap kecil oleh mereka. Mereka lupa udara yang segar itu dihasilkan di gunung yang masih menjadi hutan tidak tereksploitasi.

Menarik membahas ekologi dari buku Ekologi Sastra oleh Satjipto Rahardjo. Disitu dikatakan setiap komunitas masyarakat memiliki caranya dalam menjaga alam sekitarnya masing masing.

Namun, globalisasi yang sulit untuk dibendung mengakibatkan kebiasaan kebiasaan menjaga alam itu hanya diperuntukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak sampai menyentuh korporasi korporasi kelas atas yang seringkali bekerjasama dengan Pemda maupun Pemkot.

Setidaknya dalam perhitungan kasar luas lahan sawit dan gunung yang dikeruk sudah melebihi seperempat luas wilayah daerah tersebut. Dalam penelusuran lebih jauh lahan yang digunakan adalah hutan produksi yang seharusnya tidak dimiliki secara pribadi maupun korporasi.

Data yang kami ingin peroleh pun seringkali tidak mendapat transparansi dari Pemerintah setempat. Menghadapi permasalahan yang kian pelik. Bapak seringkali ingin melakukan perlawanan terhadap hal hal tersebut. Namun, apa daya? Kekuatan kekuasaan yang dapat mengakses kekuatan represif dan informasi membuat Bapak tidak berdaya.

Masa kecil Bapak dihabiskan di Luwu, Sulawesi Selatan. Sesekali kami berkunjung ke makam bapak. Kunjungan itu tidak sengaja mempertemukan kami pada permasalahan ekologis di Luwu Raya. Luwu Raya adalah sebutan daerah yang dalamnya mencakupi Kabupaten Luwu, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara, dan Labupaten Luwu Timur.

Peristiwa yang terjadi di Kota Palopo misalnya, yang terjadi tahun 2020. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan melaporkan tujuh rumah hancur akibat bencana tanah longsor di Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo. Lima di antaranya hanyut (dilansir dari detik.com).

Belum lagi yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara. Dilansir dari kompas.com, banjir akibat meluapnya 3 sungai di Luwu Utara yakni Sungai Rongkong di Kecamatan Sabbang, Sungai Meli di Kecamatan Baebunta dan Sungai Masamba ini menelan korban jiwa sebanyak 38 orang. Diduga korban dapat terus bertambah mengingat tulisan ini dibuat ketika proses pencarian masih berlanjut.

Peristiwa bencana tersebut sebenarnya bukan hal yang tidak dapat dihindari. Melainkan dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab itu sendiri. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin mengungkapkan, “Jelas kelihatan terjadi penebangan hutan secara masif dan luas. Kemudian dilihat bagian atas, bagian hulu daerah hujan terjadi degradasi yang luar biasa. Bukan bencana alam, ini murni bencana ekologis yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.”

Akibat dari pembukaan lahan yang terus-menerus tanpa memperdulikan keadaan lingkungan tersebut, menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Dampaknya pun dapat merugikan manusia. Peristiwa di atas sebenarnya sudah sering terjadi, kejadian bencana ekologis di Indonesia seharusnya dapat diatasi dari dini. Sayangnya, para pemangku kekuasaan negara tidak terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut.

Pembangunan yang melibatkan tambang sebagai instrumen bahan materialnya dirasa perlu untuk dibatasi agar tidak terjadi eksploitasi. Pembatasan itu tidak mungkin dilakukan oleh Negara. Kekuatan solidaritas lah yang paling mungkin untuk hal itu.

 

*essai ini telah diajukan ke JATAMNAS sebagai syarat pendaftaran Sekolah JATAM 2021

 
 
Penulis: Muhammad Ian Hidayat AnwarKetua Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Cabang Gowa.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.