Memoar: Ihwal Perjuangan Yang Terlupakan
Esensi daripada sejarah perjuangan dan pergerakan yang di pelopori oleh kaum perempuan tidak terlepas dari bentuk respons sosial atas sistem yang tidak adil. Penting, untuk menilik kembali napak tilas perjuangan yang digaungkan oleh kaum perempuan dari masa ke masa, sebagai pelajaran (Ibrah) dan nasehat (Mau’idhzah) untuk perempuan masa kini dalam menggerakkan roda peradaban. Seperti semboyan terkenal yang diucapkan oleh Bung Karno sang orator ulung “JASMERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah)!”.
Bermuasal dari kondisi perempuan sebelum datangnya islam, sungguh sangat memprihatinkan. Seperti ungkapan dari Khalifah Umar Ibn Khattab RA. bahwa lahirnya seorang anak perempuan dalam sebuah keluarga, bagaikan aib bagi keluarga itu. Apatahlagi yang berasal dari keluarga yang mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok masyarakat.
Maka dari itu, untuk menutupi Aibnya, anak perempuan yang baru lahir harus dibunuh. Karena konsekuensi yang harus diterima ketika anak perempuan itu tumbuh dewasa maka wajib kiranya untuk melayani ( objek pemuasan dan pelampiasan nafsu) kehendak laki-laki, termasuk ayah kandungnya sekalipun. Kiprah perempuan pada masa itu hanya diperbolehkan bergerak diruang domestik saja, seperti memasak, mencuci serta melayani semua laki-laki yang datang bertamu dikediamannya.
Tak heran bila kemudian muncul adagium bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, di sumur, dan di Kasur. Setidaknya ada empat tahapan kaum perempuan diperlakukan dengan semena-mena menurut KH Aziz Mayshuri (pengasuh pondok pesantren Aziziyah) di zaman pra Islam, yaitu perempuan sebagai anak, sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat. Pada fase pertama, saat menjadi anak. Pada zaman jahiliyah (kebodohan), para orang tua yang memiliki anak perempuan akan menguburnya hidup-hidup.
Fase kedua, saat perempuan menjadi isteri. Pada zaman jahiliyah ini, kaum perempuan bisa diwariskan ke laki-laki lain untuk disetubuhi atas perizinan oleh suami, baik secara sukarela atau dipaksa. Laki-laki memiliki kuasa penuh atas perempuan yang berada dalam asuhannya serta harta yang dimilikinya. Fase ketiga, ketika seorang perempuan menjadi seorang ibu. Pada masa jahiliyah, seorang ibu tidak bisa mendapatkan harta warisan apabila anaknya meninggal dunia.
Sedang fase keempat, adalah saat perempuan menjadi anggota masyarakat. Di masa jahiliyah, seorang perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas. Ia hanya diposisikan sebagai pengurus suaminya dan tidak diperkenankan melakukan hal-hal lain.
Diskriminasi, marjinalisasi hingga eksploitasi terhadap perempuan adalah hal yang lumrah terjadi pada masa pra islam. Perempuan pun tak ubahnya seperti ajang perjual belian atau barang komoditas yang diperjual belikan. Budaya yang berkembang pada masa pra islam sangatlah patrialistik, budaya yang menganggap anak perempuan sebagai sebuah kerugian bagi kabilah atau sukunya. Hingga kemudian, Islam hadir dikenal sebagai sejarah pembebasan manusia dan zaman keemasan bagi perempuan.
Perempuan menjadi salah satu kelompok masyarakat yang mendapatkan perhatian khusus oleh islam karena penistaan yang mereka terima. Sejak awal, kehadiran islam mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan secara manusiawi. Salah satu tokoh yang menjadi penggerak di masa itu ialah Nabi Muhammad SAW, dan beberapa figur perempuan yang hadir pada masa itu seperti Khadijah binti Khuwalid, Fatimah Az-Zahrah, Aisyah RA dan beberapa figur perempuan lainnya.
Pergolakan yang terjadi dari masa ke masa melahirkan beberapa tokoh perempuan yang menjadi icon dalam menentang segala tindakan marjinalisasi terhadap perempuan. Meskipun kehadiran Islam membawa keberkahan dan kemuliaan bagi perempuan, namun pasca kepemimpinan Rasulullah SAW, tindakan diskriminasi, marjinalisasi, eksploitasi, dan bentuk kekerasan lainnya masih saja terus terjadi.
Pada masa rezim orde baru, kepemimpinan Soeharto kala itu merupakan masa sulit bagi pergerakan perempuan dalam melakukan ekspansi karena dibawah control pemerintah secara penuh. Kala itu beberapa organisasi perempuan yang sudah terbentuk berhasil dimatikan, salah satunya Gerakan Wanita Indonesai (Gerwani) yang muncul pada pertengahan abad ke-20 dengan gebrakan revolusionernya yang mencampurkan sosok Srikandi yang progresif dengan peran tradisional perempuan sebagai ibu.
Perempuan dituntut untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera seperti yang termaktub dalam Panca Dharma Wanita. Sedangkan Panca Dharma Wanita tersebut sangat membatasi ruang gerak perempuan, domestifikasi dan depolitisasi perempuan dengan hanya mengurusi suami, anak dan rumah tangga. Masa orde baru merupakan masa kelam bagi pergerakan perempuan, dan tumbangnya beberapa organisasi perempuan yang cukup berpengaruh, berhasil dilumpuhkan.
Memoar tentang napak tilas perjuangan atas segala ketidakadilan akan hak-hak perempuan, menyisahkan beragam bentuk pengajaran dan warisan juang yang melekat pada diri. Sejarah yang menjadi pijakan awal dalam melanjutkan risalah perjuangan terdahulu dan membangun gerakan pembaharuan sebagai bentuk respon sosial atas segala permasalahan yang semakin kompleks. Mengingat, angka kekerasan terhadap perempuan saat ini semakin meningkat.
Merujuk pada CATAHU ( Catatan Tahunan ) 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani oleh Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan ( UPR ) Komnas perempuan (sumber; Jurnal Perempuan).
Tentunya masalah ini tak hanya ditujukan kepada kaum perempuan sendiri namun merupakan masalah bersama ( laki-laki dan perempuan ). Maka dari itu, diperlukan kerjasama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap persoalan perempuan.
Runtuhkan budaya patrialistik yang masih mengakar, hasil dari kontruksi sosial yang berimplikasi pada pembagia kerja berbasis jenis kelamin. Gerakan perempuan adalah gerakan yang tercetuskan sebagai bentuk perlawanan atas budaya dan sistem yang cenderung patrialistik dan menindas.
Tumbuh dan Mekar!
Bunga-bunga Revolusi
Penulis: Asrini, mahasiswa Universitas Muhammdiyah Makassar aktif di IMM.