Thu, 19 Sep 2024
Esai / Kontributor / Mar 14, 2021

Menjadi Perempuan Seyogyanya Perempuan

Perempuan adalah pusatnya suatu kehidupan dalam keluarga. Semua perempuan diciptakan dengan versi terbaiknya dalam hidup ini. Kita perempuan memiliki koodrat yang sama, koodrat menjadi ibu, koodrat menjadi istri, semua ini adalah koodrat yang kemudian membuat perempuan dikatakan sebagai pusatnya atau pondasi dasar suatu keluarga.

Perempuan sangat berpengaruh terhadap berdirinya suatu negara. Negara tanpa perempuan adalah fana. Tolak ukur suatu negara dikatakan negara maju adalah tingkat pendidikan yang tinggi. Pendidikan awal atau dasar ada pada keluarga dan ibu memiliki peran penting dalam hal ini.

Kaum perempuan sering kali dipandang sebelah mata, padahal hakikatnya perempuan punya andil dalam menentukan keberhasilan suatu negara. Kami perempuan di batasi oleh paradigma, oleh persepsi tentang perempuan yang seharusnya. Tentang menjadi seorang perempuan yang seyogyanya perempuan.

Menjadi seorang perempuan yang seyogyanya perempuan membuat beberapa orang kaum perempuan memiliki beban moral tersendiri. Menjadi perempuan dengan berbagai standar yang ada. Standar seorang perempuan dalam stigma masyarakat luas adalah cantik, putih, rambut lurus, langsing, berpendidikan tinggi, dan feminim.

Berbagai standar seorang perempuan yang terbangun di masyarakat kemudian membuat sebagian perempuan merasa memiliki beban moral, merasa terdiskriminasi, merasa terasingkan. Seperti kasus yang dialami oleh seorang perempuan asal Korea Selatan.

Perempuan yang akrab disapa Park Seul ini memimpikan dirinya menjadi seorang model. Akan tetapi dengan berbagai standar yang ada tentang perempuan, ia harus mengubur mimpinya itu. Tidak sampai disitu Park berusaha ingin mengubah stigma masyarakat tentang standar seorang perempuan melalui siaran radio, dan youtubenya. Park memperkenalkan mode busana untuk seorang perempuan yang tidak memiliki tubuh yang idel (gemuk dan pendek).

Banyak perempuan yang memaksakan dirinya menjadi perempuan dengan standar yang ada seperti langsing sehingga menggunakan korset. Park hadir mendorong para perempuan melepas korsetnya dan percaya diri dengan dirinya saat ini. Hal ini membebaskan perempuan dari stereotip sosial yang sudah lama melekat dan mengikat perempuan dalam penampilan.

Tidak hanya itu berbagi kasus tentang diskriminasi perempuan berkulit hitam kian meraja. Rasisme masih saja terus terjadi. Cherly Green adalah seorang perempuan berkulit hitam yang mengalami diskriminasi terhadap standar menjadi seorang perempuan. Secara terang-terangan ketika berada di tempat umum Cherly sering ditanyai mengapa rambutmu keriting, mengapa kulit mu hitam dan pertanyaan mengapa lainnya yang membuatnya merasa terpojokkan.

Kasus-kasus seperti ini sudah sering sekali terjadi. Perempuan dituntut menjadi seorang perempuan dengan standar yang ada. Katanya menjadi seorang perempuan yang seyogyanya perempuan. Padahal menjadi seorang perempuan adalah hal yang istimewah akan tetapi dengan berbagai standar yang ada menempatkan perempuan seolah-olah diatur, dirancang agar menjadi perempuan yang seyogyanya perempuan dengan standar yang ada.

Bisa kita lihat sekarang, standar-standar tersebut masih saja digunakan dan masih saja merajai pikiran-pikiran masyarakat yang membuat beberapa kaum perempuan yang tidak sesuai dengan standar merasa menjadi bahan cemohan. Menjadi Perempuan yang seyogyanya perempuan bukan tentang standar tapi tentang bagaimana mengubah semua perspektif tentang perempuan yang sebenarnya, tentang perempuan yang seharusnya bukan tentang perempuan yang dituntut harus.

”Untuk para kaum saya, kaum perempuan tetaplah pada garis perjuangan, membela yang seharusnya menjadi hak perempuan, ubah segala bentuk paradigma, segala bentuk stigma tentang perempuan yang seyogyanya perempuan, lawan segala bentuk diskriminasi, dan segala bentuk standar. Kamu, saya dan semua perempuan adalah perempuan yang seyogyanya memang perermpuan”.

 

Penulis: Miranda, mahasiswi Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Makassar. Aktifitas sehari-hari seperti pada umumnya mahasiswi yaitu kuliah dan berdiskusi. Beban berat membawa embel-embel sebagai seorang mahasiswi dengan perannya sebagai agen perubahan.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.