Tue, 15 Oct 2024
Esai / Kontributor / Aug 16, 2021

Menolak Merasa Benar, Belajar Menjadi Benar

Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah premis sederhana bahwa “Sebuah Ideologi sebaiknya jangan pernah diganggu”, dari premis itu kemudian kita mencoba untuk mengupas lebih mendalam. Ideologi merupakan sebuah konsep tentang ide-ide yang secara fundamental menjadi pedoman bagi individu maupun negara untuk mencapai cita-cita.

Istilah ideologi pertama kali muncul pada abad 18 dari seorang filsuf Prancis, Destrutt de Tracy. Menurutnya, ideologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan tentang sebuah sistem ide yang diyakini. Ideologi pada dasarnya menjadi harapan dalam rangka memberikan tuntunan terhadap setiap sikap, perilaku dan perbuatan secara aktual.

Ideologi juga memiliki kepiawaian yang menakjubkan, ia mampu mempengaruhi jalan pikiran manusia untuk memutuskan sebuah tata nilai mana yang benar dan yang salah, baik maupun buruk, hingga mengarahkan terhadap apa yang semestinya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Ideologi merupakan sebuah ilmu, ideologi memelihara maksud dan tujuan yang benar-benar substansial bagi kontinuitas hidup manusia, terutama bagi kemajuan dalam memikirkan ide-ide. Jika sebuah ide-ide yang terbangun dalam alam rasio menjadi terstruktur yang kemudian menjadi sebuah pedoman hidup, maka realitas akan tertuntun secara sendirinya untuk mengupayakan cita-cita yang sudah terbangun itu tadi. Itulah mengapa sebuah Ideologi menjadi sebuah desain prioritas dalam menjadi manusia, sehingga harus dimantapkan sedini-dini mungkin.

Dalam rangka melacak sebuah perwujudan ide-ide dalam realisasi sebuah ideologi, maka terdapat suatu upaya untuk menggali ideologi dengan cara memetakan jenis-jenis ideologi. Ideologi terbagi menjadi dua jenis, yaitu ideologi terbuka dan ideologi tertutup.

Ideologi terbuka merupakan penjabaran yang berisikan orientasi dasar dalam menentukan tujuan dan cita-cita bersama, sehingga penerjemahannya dapat selalu dipertanyakan dan mendapat penyesuaian dengan nilai-nilai sosial-politik yang berkembang di masyarakat. Ideologi terbuka bersifat inklusif, operasional dalam mencapai cita-cita juga tidak ditentukan secara apriori, melainkan disepakati secara demokratis melalui musyawarah dan mufakat, sehingga elit penguasa akan bersusah payah jika ingin legitimasi masyarakat.

Ideologi terbuka meniscayakan adanya pluralitas. Pluralisme menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur) merupakan sebuah pandangan yang enggan mereduksi segala sesuatu dalam prinsip terakhir, namun tetap percaya terhadap segala perbedaan keragaman yang berbeda-beda.

Jenis yang kedua adalah ideologi tertutup yang merupakan sebuah pandangan dunia yang ditasbihkan membentuk kebenaran yang mutlak, sehingga tidak diperbolehkan untuk dipersoalkan dan diperdebatkan lagi, ciri-ciri dari ideologi tertutup adalah eksklusif dan dogmatis, sehingga ideologi menjadi sesuatu yang harus dipatuhi dan meniadakan suatu pluralitas. Isinya mengharuskan sebuah masyarakat menjadi fanatik terhadap ideologi yang dianut.

Ideologi tertutup biasanya muncul dari suatu individu maupun kelompok yang memaksakan isi pikirannya diterima oleh seluruh masyarakat, dampaknya tak ada bangunan dialog, apalagi demokrasi. Masyarakat yang menjadi konsumen ide tersebut tidak diperbolehkan berpikir kritis, mereka menghendaki kepatuhan dalam keseragaman dalam berpikir dan bertindak.

Masyarakat yang menganut ideologi tertutup menjadikan mereka menjadi buta dan tuli, buta terhadap keberagaman, dan tuli terhadap perbedaan pendapat dan perbedaan pikiran. Lalu bagaimana jika ternyata ideologi tertutup itu dianut oleh para terpelajar, yang dikategorikan Pramoedya Ananta Toer sebagai “orang yang harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”

Dari penjelasan diatas, kita akan mudah menguraikan bahwa ideologi adalah sebuah akibat dari mekanisme kerja nalar, dan kita tahu bahwa setiap individu memiliki kemerdekaan untuk bernalar. Sebagai contoh dalam fenomena membaca buku, setiap  individu yang membaca buku dengan judul yang sama namun interpretasi dari pemahaman dalam isi buku itu bisa saja berbeda, semua itu tergantung dari bagaimana masing-masing individu meramu dan mengolah nalarnya. Hal ini kemudian seyogyanya membuat individu-individu saling memaklumi ideologi-ideologi yang berbeda.

Dalam fenomena hari ini, informasi yang didapatkan pun mengalami banyak bias informasi dikarenakan adanya polarisasi baik di media massa maupun di lingkungan masyarakat, sehingga manusia akan terjebak pada dimensi polarisasi tersebut.

Apa yang telah kita percayai dan sukai, benar maupun salah, semuanya menjadi benar dihadapan individu yang telah terjerumus dalam polarisasi itu, karena hari ini tidak perlu realita dalam membuat stigma, cukup dengan manipulasi cerita.

Jika hanya berbeda pandangan tentang ide, organisasi, maupun ideologi dianggap sebagai lawan, maka fenomena kafir-mengkafirkan, tuding-menuding  menjadi  hal   yang  lumrah. Istilah  ideologi   yang  tak  mau  diganggu mungkin saja adalah ideologi yang kaku, gemar mengumbar doktrin dan ajaran tanpa alasan argumentasi yang rasional dan substansial.

Perbedaan ideologi semestinya menjadi media diskusi di kalangan masyarakat kelas menengah (mahasiswa) yang digolongkan sebagai agent of change itu. Perbedaan sejatinya adalah suatu keniscayaan, dan kebenaran sejatinya adalah universal, jika kebenaran itu diletakkan pada konteks tertentu, bisa jadi itu adalah bukan sebuah kebenaran, melainkan pembenaran.

Dalam agama islam, ada sebuah konsep fastabiqul khairat, yaitu ajaran yang membuat manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Konsep fastabiqul khairat ini semestinya menjadi pegangan setiap individu untuk mempercayai adanya perbedaan dalam menentukan cita-cita kebaikan di setiap tindakan dan perbuatannya. Lomba yang dimaksud adalah adanya sebuah persaingan, dan persaingan itu akan membuat setiap individu untuk secara terus menerus mengasah nalar untuk mencapai cita-cita ideal.

Namun yang  mesti digaris bawahi adalah penolakan persaingan yang berbasis pada eksklusivitas, atau yang disebut oleh Cak Nur sebagai saling mengklaim kebenaran (Claim Truth), jika eksklusivitas itu terjadi, individu tidak lagi bersaing dan tumbuh dalam ranah ide, namun justru ingin memusuhi dan menjadi lawan terhadap yang berbeda pikiran, organisasi, maupun ideologi.

 
 
Penulis: Andi Syahrul, mahasiswa Teknik PWK Universitas Hasanuddin. Dapat dihubungi melalui instagram @ndisyahrul.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.