Wed, 15 Jan 2025
Esai / Muhammad Holil / Dec 28, 2024

Menyoal Kenaikan Tarif PPN 12 Persen

Pemerintah Indonesia merencanakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal tahun 2025 sebagai bagian dari kebijakan fiskal untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendanai program Pembangunan.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu 13 November 2024, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengatakan, penerapan PPN 12 % telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Namun, kenaikan ini dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda bagi masyarakat, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Kelompok ini cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk konsumsi barang dan jasa yang dikenakan PPN.

Dengan demikian, kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan beban hidup bagi masyarakat dengan pendapatan terbatas, dampak ini perlu menjadi pertimbangan dalam merancang kebijakan fiskal yang adil.

Setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar yang paling luas, asalkan kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain. Prinsip ini menekankan pentingnya kebebasan individu yang setara dalam masyarakat.

John Rawls “Equality For All” prinsip kesetaraan untuk semua mengharuskan setiap individu memiliki kebebasan yang setara untuk menjalani kehidupan sosial sesuai dengan pilihannya, asalkan kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Selain itu, prinsip ini juga mengharuskan adanya kesetaraan dalam akses terhadap berbagai kesempatan sosial dan ekonomi. Dalam konteks kebijakan fiskal kenaikan tarif PPN, prinsip kesetaraan dasar menekankan bahwa beban pajak seharusnya tidak dikenakan secara diskriminatif dan harus mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi dari masing-masing individu.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan sebuah kebijakan pajak bersifat umum, yang diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat pendapatan atau status sosial individu. PPN yang merupakan pajak konsumsi yang dikenakan secara merata pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Meskipun secara prinsip semua individu dikenakan tarif yang sama, dampak dari kenaikan tarif PPN ini ternyata tidak merata dan berbeda bagi setiap kelompok dalam masyarakat.

Dalam konteks prinsip kesetaraan, setiap individu seharusnya memiliki kesempatan yang setara untuk menjalani kehidupan yang baik tanpa tertekan oleh sistem pajak yang tidak proporsional.

Kenaikan tarif PPN 12% yang tidak diimbangi dengan kebijakan kompensasi yang memadai untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah atau program redistribusi dapat menyebabkan ketidak seimbangan dalam pembebanan pajak.

Meskipun tarif pajak diterapkan secara seragam, dampaknya akan lebih terasa bagi mereka yang sudah berada dalam kondisi ekonomi yang lebih rentan. Prinsip kesetaraan ini tidak hanya mensyaratkan bahwa kebebasan politik dan sosial dihormati secara setara, tetapi juga menuntut adanya keadilan dalam distribusi sumber daya.

Dalam konteks ini, kebijakan kenaikan PPN 12% dapat dianggap tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip tersebut karena dapat memperburuk ketidaksetaraan yang telah ada antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah.

Oleh karena itu, kenaikan PPN 12% ini bisa dilihat sebagai kebijakan yang kurang adil menurut prinsip kesetaraan tersebut, karena tidak mempertimbangkan perbedaan dalam kapasitas ekonomi individu untuk menanggung beban pajak.

Kelompok masyarakat berpendapatan rendah, yang mayoritas pengeluarannya digunakan untuk konsumsi barang dan jasa, akan merasakan dampak yang lebih besar akibat kenaikan PPN 12%.

Mereka akan menghadapi beban yang lebih berat karena kenaikan harga barang dan jasa yang dikenakan PPN akan secara langsung mempengaruhi daya beli mereka. Situasi ini dapat berpotensi melanggar prinsip kesetaraan tersebut, karena meskipun tarif pajak yang sama diterapkan untuk semua orang, kelompok berpendapatan rendah akan mengalami beban yang lebih besar.

Di satu sisi, kelompok masyarakat berpendapatan tinggi biasanya mengalokasikan proporsi pengeluaran yang lebih kecil untuk barang-barang konsumsi, sementara sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk tabungan atau investasi.

Oleh karena itu, meskipun mereka juga dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi, dampak dari kenaikan tarif ini terhadap mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok berpendapatan rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara resmi semua orang dikenakan pajak yang sama, dalam praktiknya, kebijakan ini tidak memberikan perlakuan yang sama bagi semua lapisan individu masyarakat sesuai dengan prinsip kesetaraan.

Jhon Rawls menyatakan “Difference Principle” Asas Perbedaan, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika ketimpangan tersebut memberikan keuntungan terbesar bagi anggota masyarakat yang paling kurang beruntung.

Bahkan sebaliknya, bisa memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada, dengan kata lain, ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya dapat diterima apabila dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dibawah garis kemiskinan.

Jika kenaikan tarif PPN 12% tidak diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang memadai atau langkah-langkah yang meringankan beban kelompok berpendapatan rendah, maka kebijakan ini bisa dianggap bertentangan dengan prinsip perbedaan menurut John Rawls.

Sebagai contoh, kelompok orang dengan pendapatan lebih tinggi mungkin lebih memilih untuk mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka pada investasi atau barang yang tidak dikenakan PPN.

Sementara itu, kelompok berpendapatan rendah cenderung menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk membeli barang dan jasa yang dikenakan PPN.

Dalam hal ini, dampak kenaikan PPN lebih dirasakan oleh kelompok miskin dan tidak memberikan manfaat tambahan bagi mereka yang berada dalam kondisi paling tidak menguntungkan.

Kebijakan pajak seperti kenaikan tarif PPN hanya dapat dibenarkan jika dampaknya menguntungkan mereka yang berada dalam posisi yang paling tidak menguntungkan.

Dalam konteks ini, perlu di pertimbangkan apakah kenaikan PPN menjadi 12% akan menambah beban atau justru dapat memberikan manfaat bagi kelompok miskin. 

Kedua prinsip ini membentuk dasar teori keadilan Rawls dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang berpotensi mempengaruhi ketimpangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Dalam pandangan teori keadilan Rawls ini, kenaikan tarif PPN 12% tanpa adanya langkah kompensasi atau kebijakan redistribusi yang tepat dapat dianggap tidak adil, terutama jika tidak ada tindakan untuk mengurangi beban pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat miskin.

Penting untuk memiliki kebijakan yang fokus pada kesejahteraan kelompok masyarakat miskin. Sebagai solusi, pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengalokasikan sebagian besar pendapatan dari kenaikan PPN untuk memberikan subsidi langsung kepada keluarga miskin atau mendanai program sosial yang dapat meringankan dampak buruk dari kenaikan tarif tersebut.

Sesuai dengan perspektif kesetaraan dan perbedaan, kenaikan tarif PPN 12% bersifat regresif,  yang berarti semua kelompok masyarakat akan membayar pajak yang sama.

Namun, hal ini sangat memberatkan kelompok miskin, yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk kebutuhan dasar. Sementara itu, kelompok berpenghasilan lebih tinggi dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan biaya tambahan tersebut.

 
 
Penulis: Muhammad Holil, mahasiswa magister Ilmu Hukum Pascasarjana UGM. Dapat ditemui melalui instagram @muhammad.holil29

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.