Menyongsong 2022 yang Lebih Baik
Merosotnya Kualitas Demokrasi
Kelihatannya tahun 2022 bangsa Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan yang penting untuk dilakukan. Proses demokrasi yang mestinya baik, sesuai amanat konstitusi bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, seakan hanya dipraktekkan setengah hati.
Menurut laporan The Economist Intelligence (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia menunjukkan adanya pengurangan signifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan.
Secara lebih spesifik laporan tersebut menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hal utama memperlihatkan penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Selain itu, Demokrasi Report menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan demokrasi. Dari hasil laporan ini, negara menunjukkan adanya pergeseran dalam pola demokrasi Indonesia yang semula demokrasi elektoral menuju pada demokrasi yang cacat.
Penyebab lain yang mengilhami menurunnya kualitas demokrasi yakni, penangkapan pembela HAM sepanjang tahun 2021. Amnesty International Indonesia mencatat ada 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 pada tahun ini. Kasus yang kerap menimpa pembela HAM terdiri dari berbagai sektor mulai dari kalangan jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa. Adapun jenis serangan yang dialami juga variatif mulai dari pelaporan polisi, ancaman, intimidasi, kekerasan fisik hingga pada kasus pembunuhan.
Hukum memerlukan itikad bersama/kesungguhan bersama, praktik buruk dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan nampak jelas. Saat Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Omnibus Law dinyatakan cacat formil. Dari awal berbagai kalangan masyarakat sipil menyatakan menolak dan menganggap regulasi tersebut cacat formil walaupun saat ini MK telah menyatakan hal demikian secara bersyarat. Dari awal pembentukan Omnibus Law dibentuk atas dasar kepentingan elit dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Krisis Iklim Nyata Terjadi
Pada gelaran Conference of the Parties (COP 26) yang berlangsung di Glasgow, mengungkapkan fakta yang tidak terbantahkan bahwa suhu bumi dari tahun 2015 hingga 2021 berada dalam tren menuju tujuh tahun dengan rekor terpanas dalam sejarah. Bencana ekologis yang terjadi di awal dan akhir penghujung tahun 2021 seperti Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah, menunjukkan bahwa daya tampung dan daya dukung lingkungan sudah tidak mengalami keseimbangan.
Kebijakan pemerintah yang dengan mudah mengeluarkan izin ke korporasi untuk melakukan eksploitasi kekayaan alam yang kita miliki sebagai pemicu dari bencana yang terjadi.
Deforestasi merupakan perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh ulah korporasi dan kegiatan manusia. Penyebab terjadinya deforestasi antara lain, konversi hutan yang dilakukan untuk penggunaan lahan sebagai lahan perkebunan skala besar, Kebakaran hutan, pembalakan liar.
Deforestasi sebagian besar dilakukan untuk perkebunan sawit dan pertambangan dengan secara tidak langsung, aktor penyebab terjadinya deforestasi adalah pemberi izin yakni pemerintah dan korporasi sebagai pelaku, apalagi jika korporasi tidak menjalankan kaidah dalam melakukan kegiatan eksploitasi dengan benar, maka dipastikan akan terjadi dampak besar yakni bencana alam.
Amoral di Dunia Pendidikan
Salah satu peristiwa yang menjadi perhatian publik, yakni saat terjadi kejadian biadab yang dilakukan oleh pimpinan lembaga pendidikan islam di Bandung yang tega mencabuli beberapa satriwatinya hingga melahirkan sembilan bayi. Sebelumnya di Kab. Pinrang juga telah terjadi hal yang sama, ketika salah satu Pimpinan Ponpes dilaporkan oleh santriwatinya karena dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut.
Pada laporan akhir tahun Komnas Perempuan yang menghimpun data dari tiga organisasi yakni Simfoni PPA, mencatat ada 9.057 korban sintaspuan, Komnas Perempuan ada 1.957 korban, dan Tutian Perempuan mencatat 806 korban.
Melihat banyaknya kasus yang terjadi Kementerian Agama penting melakukan penguatan materi kesetaraan gender dalam pendidikan islam. Pemerintah dan DPR segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU tindak kekerasan seksual dengan mengakomodir secara maksimal kebutuhan korban kekerasan seksual.
Partisipasi Publik Tidak Boleh Disepelekan
Mengingat pesan Presiden keempat Republik ini, Gus Dur. '' Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi’’. Masyarakat akan merasakan kedamaian jika keadilan terpenuhi. Namun, keadilan akan terpenuhi jika Demokrasi diwujudkan tanpa Demokrasi negara hanya utopia atau hanya khayalan dan tidak akan terwujud.
Dalam pembuatan suatu kebijakan wajib hukumnya melibatkan partisipasi publik. hal ini mengutamakan keinginan publik. Agar publik bisa merasionalisasikan kebijakan yang terbentuk, karena mereka yang akan terdampak secara langsung.
Beberapa regulasi belakangan ini mendapat sorotan publik karena tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Revisi UU KPK pada tahun 2019 menuai kontroversi secara terang-terangan ditolak pada berbagai kalangan karena dianggap akan menghambat proses penyelesaian kasus tindak pidana korupsi, UU cipta kerja yang saat ini nyatakan cacat formil oleh MK sebagai bukti bahwa regulasi tersebut memang sarat akan kepentingan oligarki.
Dari awal telah ditentang oleh kelompok masyarakat sipil, UU Minerba yang dibuat juga tanpa pelibatan masyarakat, tidak hanya itu UU MK yang dilakukan dengan secara diam-diam. Menurut berbagai macam asumsi pengamat, bahwa hal tersebut sebagai hadiah bagi hakim MK (Zainal Arifin Mochtar 2020).
Refleksi di Akhir Tahun 2021
Ini merupakan renungan agar 2022 jauh lebih baik. Kepada pelaksana UU yakni Pemerintah, agar lebih mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan siapapun (oligarki). DPR sebagai lembaga representasi rakyat. Publik mengharapkan agar penderitaan yang dialami dapat disuarakan secara lantang dan tidak pandang bulu.
Yudikatif sebagai lembaga penegak dan memberikan kepastian hukum kiranya dapat memberikan rasa keadilan dan slogan yang selama ini populer dikalangan masyarakat bahwa hukum tumpul ke atas, tidak terjadi. Masyarakat pula, seharusnya dapat lebih kritis untuk melihat segala situasi yang ada saat ini.
Masyarakat secara hukum telah dijamin dalam konstitusi untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat dimuka umum untuk menyampaikan segala ungkapan deritanya. 2022 merupakan harapan agar terwujudnya masyarakat madani yang demokratis dan berkeadaban dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Penulis: Arif Maulana, Direktur Eksekutif LKPMP.