Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / May 07, 2020

New Normal

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Walaupun lebih banyak menyerang lansia, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi, anak-anak, hingga orang dewasa.

Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. Hingga per 2 Mei 2020 berdasarkan worldometersinfo sebanyak 3,429,562 orang yang positif terinfeksi di seluruh dunia.

Untuk menghentikan pandemi, kita perlu mengubah secara radikal hampir semua yang kita lakukan seperti: Bagaimana kita bekerja, sekolah, berolahraga, bersosialisasi, berbelanja, mengelola kesehatan kita, dll. Hal itu akan mengubah cara hidup kita, dalam beberapa hal selamanya.

Kita semua mungkin menginginkan semuanya kembali normal dengan cepat. Tetapi apa yang sebagian besar dari kita mungkin belum sadari - belum akan segera terjadi - adalah bahwa hal-hal tidak akan kembali normal setelah beberapa minggu, atau bahkan beberapa bulan.

Sekarang telah disepakati secara luas bahwa setiap negara perlu meratakan kurva: memaksakan jarak sosial untuk memperlambat penyebaran virus sehingga jumlah orang yang sakit bisa menurun. Itu berarti pandemi perlu bertahan, pada kurva yang rendah.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan, dan seberapa perlu pembatasan sosial dilakukan? Pemerintah Indonesia sudah menerapkan sistem PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa Provinsi termasuk di Sulawesi Selatan Makassar, tapi tidak semudah itu pandemi akan berakhir begitu saja. Selama seseorang di dunia memiliki virus, keteledoran dapat saja terjadi dan akan terus berulang tanpa kontrol ketat untuk mengatasinya.

Apa yang dianggap sebagai "jarak sosial"? Beberapa peneliti mengelaborasikannya sebagai "Semua rumah tangga mengurangi kontak di luar rumah, sekolah atau tempat kerja sebesar 75%." Itu bukan berarti anda bisa nongkrong dengan teman-teman anda seminggu sekali, yang sebelumnya empat kali. Ini berarti setiap orang melakukan segala usaha yang mereka bisa untuk meminimalisir kontak sosial, dan secara keseluruhan, jumlah kontak turun drastis ke 75%. Ini bisa saja menjadi awal dari cara hidup yang sangat berbeda kedepannya.

Beberapa faktor perubahan itu tentu saja akan ada beberapa dari kita yang kesulitan untuk bangkit, akan ada orang yang kehilangan lebih dari sekedar kehilangan. Yang terbaik yang bisa kita harapkan adalah bahwa kedalaman krisis ini pada akhirnya harus memaksa Pemerintah Indonesia agar lebih serius memperbaiki kesenjangan sosial yang nyata.

Hidup dalam keadaan pandemi

Dalam jangka pendek, ini akan sangat merusak bisnis yang bergantung pada orang-orang yang berkumpul dalam jumlah besar: restoran, kafe, gym, hotel, teater, bioskop, galeri seni, pusat perbelanjaan, pameran kerajinan, museum, musisi dan pemain lainnya, tempat olahraga (dan tim olahraga), tempat konferensi, jalur pelayaran, maskapai penerbangan, transportasi umum, sekolah swasta.

Kita tidak akan tahu persis seperti apa new normal ini, tentu saja. Tetapi orang dapat membayangkan dunia di mana, untuk dapat terbang, mungkin anda harus mendaftar ke layanan yang melacak pergerakan anda melalui ponsel anda. Maskapai ini tidak akan dapat melihat ke mana anda pergi, tetapi akan memberi peringatan jika anda berada di daerah yang memiliki resiko tinggi penularan virus.

Akan ada persyaratan serupa di pintu masuk ke tempat-tempat besar, gedung-gedung pemerintah, atau pusat transportasi umum. Akan ada pemindai suhu di mana-mana, dan tempat kerja anda mungkin meminta anda mengenakan monitor yang melacak suhu Anda atau tanda-tanda vital lainnya.

Kita akan beradaptasi dan menerima langkah-langkah seperti itu, seperti kita beradaptasi dengan pemeriksaan keamanan bandara yang semakin ketat setelah serangan teroris.

Skema pasar berjarak sudah dilakukan oleh salah satu pasar di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Karena bagaimanapun hidup harus terus berjalan, roda ekonomi harus terus berputar. Maka pasar berjarak bisa dianggap sebagai kondisi new normal dan tidak menutup kemungkinan hal ini akan menyebar dan diaplikasikan di beberapa daerah demi mencegah penyebaran virus setelah pandemi ini usai, karena virus bukan hanya virus corona saja.

Begitupun dengan pesta pernikahan di Indonesia, beberapa tradisi normal pada sekian orang mulai berubah. Beberapa diantara kita ataupun orang tua kita masih beranggapan kaku terhadap pesta pernikahan dengan undangan yang banyak dan tempat yang mewah memperlihatkan status sosial kita. Tradisi itu perlahan menghilang di permukaan.

Beberapa orang yang melansungkan pernikahan di masa pandemi bertindak atas prinsip bukan soal pestanya, namun akadnya. Nyatanya, menikah di KUA (Kantor Urusan Agama), Masjid, ataupun Gereja bisa dikata sudah cukup. Bagaimana pun, pernikahan akan tetap menjadi sebuah pagelaran sakral yang di hormati.

Dunia telah berubah berkali-kali, dan itu berubah lagi. Kita semua harus beradaptasi dengan cara baru dalam hidup, bekerja, dan menjalin hubungan.

 

Penulis: M. Iqbal Ramli, alumni Teknik Elektro Universitas Hasanuddin, pernah aktif di Himpunan serta UKM Keilmuan dan Penalaran Ilmiah Universitas Hasanuddin.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.