Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 26, 2020

New Normal Yang Tidak Normal

Ingatlah bahwa New Normal tidak sama artinya dengan virus hilang dari sekitar kita,

Semenjak Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret lalu setidaknya sudah lebih tiga bulan Indonesia berada dalam bayang-bayang Covid-19. Kepanikan merambah ke penjuru negeri, keresahan menjadi teman sehari-hari dan jaga jarak menjadi kebiasaan baru.

Pada 21 Juni 2020 dilansir dari covid19.go.id setidaknya telah ada 45.891 kasus positif di Indonesia dengan jumlah kasus sembuh sebanyak 18.404 dan kasus meninggal 2.465 atau jumlah kasus per 21 Juni adalah 1226 kasus positif .Sedangkan menurut worldmeters.info telah ada 213 Negara yang terserang virus Corona dan Indonesia berada pada peringkat 29.

Setelah berjibaku dengan Covid-19 sekarang kita diperhadapkan dengan keadaan dimana kita harus beradaptasi dengan keadaan baru. Selamat datang di New Normal, menurut Juru bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dikutip dari tirto.id, New Normal merupakan tatanan, kebiasaaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.

Lalu bagaimana dampak dengan adanya kebijakan New Normal ini?

Frasa New Normal kini menjadi bahan pergunjingan baru di masyarakat. Beragam meme satir berusaha mengkritik kebijakan ini. Ditambah lagi kurangnya edukasi dari pemerintah terkait kebijakan ini membuat kesalapahaman semakin langgeng. Istilah New Normal dipahami masyarakat secara bulat bahwa kita telah boleh melakukan aktifitas seperti sebelumnya hanya saja ada beberapa aturan yang perlu dipatuhi.

Pernahkah anda melihat seseorang memiliki masker tapi hanya digantung pada leher atau kasarnya hanya jadi pajangan atau mungkin hanya menghindari rasia “Tidak memakai masker, tidak boleh masuk”?. Masyarakat kita memang unik. Tetap berkerumun dan menganggap bahwa Covid-19 hanya hoaks. Ditambah lagi maraknya isu yang beredar bahwa Covid-19 hanya sebuah bisnis yang dimanfaatkan oleh Negara dan para pelaku kesehatan.

Penanganan Covid-19 memang pada dasarnya tidak mampu diselesaikan hanya oleh satu pihak yaitu pemerintah, pandemi ini perlu sokongan dari berbagai pihak dan setiap lapisan masyarakat. Apalagi sebagai makhluk sosial yang kehidupanya senantiasa berhubungan dengan banyak orang maka sudah seharusnya kita selalu bersikap waspada.

Kebijakan New Normal diinterpretasikan sebagai jalan alternative ditengah kebimbangan akan kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu melakukan sebuah langkah taktis yang mampu menyelamatkan keduanya secara bersamaan.

Kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar membuat banyak sektor ekonomi mengalami penurunan bahkan pailit sehingga tidak memungkinkan untuk dijalankan dalam waktu yang lama. New Normal ini dianggap sebagai antipasti untuk membuat keduanya menuju zona aman. Harapannya!.

Namun dikarenakan kebijakan New Normal merupakan kebijakan yang diadaptasi dari luar negeri dan tentunya kebijakan ini lahir dalam waktu yang singkat membuat kebijakan ini tentunya memiliki banyak kekurangan terutama dalam hal implementasi.

Satu diantara kekurangan dalam implementasi kebijakan ini adalah kesalapahaman antara masyarakat dengan pengampu kebijakan. New Normal dipahami sebagai pelegalan seluruh aktifitas keseharian sama halnya sebelum pandemi melanda. Padahal kebijakan New Normal tidak sesederhana itu.

Menurut WHO (dikutip dari tirto.id) ada beberapa kriteria sebuah daerah yang boleh menerapkan kebijakan New Normal yaitu;

1. Bukti menunjukkan bahwa transmisi Covid-19 dapat dikendalikan
2. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontrak, dan mengkarantina
3. Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai
4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan dan kebersihan pernapasan
5. Risiko kasus impor dapat dikelola
6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan New Normal

Lalu bagaimana masyarakat menanggapi kebijakan New Normal?

Dikarenakan minimnya sosialisasi terkait kebijakan ini sehingga sebagian besar masyarakat menganggap bahwa kebijakan ini diterapkan dalam satu waktu di sebuah daerah. Namun nyatanya hanya daerah-daerah yang telah memenuhi syarat yang boleh menerapkan kebijakan ini. Anggapan yang keliru akan membuat persebaran virus semakin tidak mampu dikendalikan.

Ditambah lagi banyaknya isu yang menyertai Covid-19 membuat pemerintah akan semakin kewalahan dalam menanggulangi pandemi sehingga untuk membuat kurva melandai nampaknya berakhir utopis.

Kita seharusnya sama-sama sadar bahwa pandemi ini akan berakhir ketika kita melawannya bersama-sama tentunya bukan dengan berjalan beriringan sambil bergandengan tangan namun tetap pada protokol kesehatan yang telah ditentukan. Kita semua tentu menginginkan kondisi kembali normal kecuali oknum yang nirhumanity.

Karena sejatinya hal yang membuat kita tidak acuh adalah karena korban bukan dari orang yang kita kenal atau dekat dengan kita. Tabiat kita manusia biasanya akan empati terhadap kondisi ketika kita telah berada atau pernah meraskan kondisi tersebut.

 

Penulis: Nugrawati, mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran FIS Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.