Pancasila: Makna Keutuhan Negara
Soekarno dalam beberapa kesempatan selalu menegaskan jika ia sendiri bukanlah yang menciptakan Pancasila, tetapi ia hanya perpanjangan lidah dari setiap sila untuk disampaikan kepada masyarakat. Sebelum lahir sebagai suatu dasar negara, Pancasila menuai banyak kritikan dan juga amandemen yang membuatnya semakin teruji sampai sekarang.
Diantara contohnya ketika kritikan datang dari minoritas agama yang bermukim di Nusantara pada saat itu terkait pada butir pertama di sila Pancasila yang berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang mana ini hanya merepresentasikan satu agama yaitu islam. Padahal ada lebih dari satu agama yang diakui
Dalam wawasan filsafat pancasila dapat kita kaji dalam 3 aspek penyelidikan yaitu yang pertama aspek ontologis yang berarti bahwa Pancasila sudah hadir dalam jiwa bangsa indonesia sebelum Pancasila itu sendiri hadir menjadi dasar negara, pada aspek epistemologi Pancasila menjadi pedoman/petunjuk dalam menjalankan sebuah negara sekaligus menjadi dasar pengambilan keputusan, dan aspek aksiologis yaitu Pancasila menjadi satu kesatuan sumber nilai yang setiap silanya tidak boleh dipisahkan satu sama lainnya. Sebab jika sila-sila daripada Pancasila berdiri sendiri berpotensi melahirkan penafsiran individu atau kelompok yang akan mengancam persatuan bangsa.
Sila pertama contohnya berpotensi melahirkan paham Teokrasi Absolut yang mana menjadikan pemimpin negara harus dipegang oleh guru spiritual serta berdirinya negara harus memegang prinsip-prinsip ilahi yang berperan utama. Padahal Indonesia berdiri di atas keberagaman agama dan juga kebudayaan, bukan berdasarkan satu agama saja.
Sila kedua berpotensi melahirkan paham Kosmopolitanisme yang beranggapan bahwa seorang individu tidak harus terikat dengan sebuah negara secara hukum dan melegalkan menjadi warga negara dunia saja tanpa adanya negara yang bisa menjamin keselamatan dan kemaslahatan seorang individu.
Sesuai dengan teori terjadinya negara secara primer yang mana terjadi dalam empat fase, salah-satunya, fase Genootschap, yang merupakan perkelompokan dari orang-orang yang bergabung demi kepentingan bersama dan disandarkan pada persamaan.
Sila ketiga berpotensi melahirkan paham chauvinisme yang sifat mempunyai sikap yang terlalu mengagungkan sebuah negara/kelompok, suku serta memandang rendah negara/kelompok lain. Paham-paham etnosentrisme memang sudah berkembang sebelum Indonesia sendiri lahir, namun itu semua berakhir ketika para kaum terpelajar mencetuskan Sumpah Pemuda yang menandai berakhirnya paham chauvinisme dan etnosentrisme itu sendiri.
Sila keempat berpotensi melahirkan paham demokrasi liberal yang lebih mengedepankan kebebasan individu pada sistem politik dan juga dalam parlemen. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat menjadi landasan fundamental yang mencegah berkembangnya paham demokrasi liberal ini, sebab masyarakat menuntut pengikutsertaan dalam pengambilan keputusan atau keterwakilan mereka di parlemen, yang mana ini disebut dengan Demokrasi langsung.
Sila kelima berpotensi melahirkan paham Komunisme/Sosialis yang sudah jelas tertolak di bumi nusantara yang mana dalam konsepnya mengingkari eksistensi keTuhanan yang bertentangan dengan sila pertama dari Pancasila.
Maka sudah sepatutnya kita sebagai warga NKRI memaknai setiap sila dari sila Pancasila sebagai satu-kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan karena setiap sila itu saling mengisi dan saling menopang keberadaanya satu sama lain.
Tak hanya itu, makna filosofis dari pemaknaan Pancasila sebagai satu-kesatuan yang tidak boleh dipisahkan itu juga terdapat di dalam konsep Bhineka Tunggal Ika yang mana kita artikan sebagai sebuah semboyan yang sangat melekat dan menjadi identitas dari negara kita Indonesia.
Bhineka Tunggal Ika menjadi sebuah kendaraan di dalam pengimplementasiannya dengan kehidupan sehari-hari dan juga menjadi media untuk pengamalan dari setiap sila-sila Pancasila.
Penulis: Andi Fiqri Virgiawan, seorang mahasiswa.