Thu, 12 Dec 2024
Esai / Kontributor / Dec 31, 2020

Pandemi Virus Semakin Meluas, Biaya Kuliah Bikin Lemas

Perguruan tinggi merupakan tingkat tertinggi dari sebuah institusi pendidikan yang hampir semua orang bermimpi untuk mengenyam pendidikan di dalamnya. Perguruan tinggi juga merupakan tempat para intelektual, tempat belajar serta tempat mahasiswa idealis berkumpul, saling bertukar dan menyatukan pemikiran.

Akan tetapi tidak semua anak bangsa mampu duduk dan merasakan perjuangan ketika duduk di bangku tingkatan tertinggi dalam satuan pendidikan yang ada di Indonesia lantaran mahalnya biaya yang harus di bayar. Ada banyak jalur masuk yang dapat di tempuh untuk dapat mengakses pendidikan tinggi di antaranya jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Seleksi Mandiri dan masih banyak lagi.

Tentu itu semua di dapat bukan secara cuma-cuma melainkan harus di bayar dengan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit. Yang menjadi sorotan saat ini yakni dengan di laksaanakannya Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk calon mahasiswa yang ingin masuk di perguruan tinggi melalui jalur SBMPTN di berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia.

Apalagi di tengah pandemi virus yang sedang melanda Indonesia, entah apa maksud dari semua ini. Sebab sebelumnya pemerintah mengimbau agar satuan pendidikan melakukan Study From Home untuk menghambat penyebaran virus, kini di selenggarakan ujian tatap muka dengan kondisi krisis saat ini.

Indonesia saat ini mengalami krisis kembar yaitu krisis kesehatan yang beriringan dengan krisis ekonomi. Awalnya untuk menekan penyebaran virus pemerintah ingin melakukan karantina wilayah atau lockdown akan tetapi tidak menjadi pilihan karena akan mengganggu jalannya perekonomian.

Hal ini di sampaikan langsung oleh presiden Joko Widodo yang di kutip dari Kompas.com (1/4/2020) “Kita ingin aktivitas ekonomi ada, tapi masyarakat kita semua harus jaga jarak aman, social distancing, physical distancing itu yang paling penting”. Oleh karena itu Jokowi lebih memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Apa yang di takutkan pun terjadi, jumlah orang yang terinfeksi meledak sangat tinggi dan tejadi krisis ekonomi yang sangat besar.

Banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerjanya dengan alasan tidak mampu lagi mebayar upah/pesangon dan parahnya lagi ada beberapa perusahaan yang nakal karena tidak meberikan upah/pesangon kepada pekerja yang di rumahkan.

Dalam menghadapi krisis ini, pemerintah kembali membuat kebijakan yaitu Normal Baru atau New Normal yang di terapkan pada beberapa daerah dari masing-masing provinsi yang ada di indonesia dengan pertimbangan wilayah yang masuk dalam zona kuning-hijau dalam kasus penularan virus dan penerapannya di serahkan kepada pemerintah daerah.

New Normal ini merupakan kebijakan yang di buat oleh pemerintah untuk menanggulangi krisis ekonomi yang berbarengan dengan krisis kesehatan. Akan tetapi banyak masayarakat yang keliru dan menganggap New Normal ini bahwa kita akan kembali ke kehidupan semula dan melakukan aktivitas dengan normal dan menganggap bahwa virus ini tidak pernah ada. Tercatat hingga Selasa, 7 Juli 2020 jumlah kasus positif 66.226 orang, kasus sembuh 30.785 orang dan kasus meninggal 3.309 orang di lansir dari Merdeka.com.

Di tengah pandemi virus yang mengacaukan sistem di Indonesia, ada problematika serius yang kurang di perhatikan oleh pemerintah yaitu dunia pendidikan khususnya Perguruan Tinggi. Setelah menerapkan Belajar Dari Rumah (Study From Home) untuk satuan pendidikan dan semester genap hampir selesai, kini kita menyambut tahun ajaran baru dengan polemik baru pula yakni mengenai masalah biaya kuliah yang tak kunjung mendapat subsidi dari pemerintah.

Berbagai tuntutan pun di lontarkan mahasiswa dengan tuntutan utamanya yaitu “Meminta keringanan biaya kuliah”,dan itu sangat layak di dapatkan mengingat banyaknya sarana dan prasaran kampus yang tidak terpakai akibat dari Study From Home ini. UKT yang sudah di bayar semester lalu di gunakan unruk biaya operasional selama pembelajaran tatap muka di lakukan seperti biaya gedung, administrasi, KKN dll.

Tetapi selama pandemi virus ini apakah ada komponen UKT/BKT yang di gunakan oleh mahasiswa? Tentu tidak. Jika mengatakan di gunakan untuk memberikan subsidi kuota karena pembelajaran di lakukan secara daring, kampus masih mempunyai Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang di ambil dari anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebanyak 20% untuk membiayai kekurangan biaya operasional. Maka dari itu keringanan biayah kuliah nyata adanya akan tetapi belum terwujud hingga sekarang.

Dengan melakukan aliansi baik itu internal maupun eksternal, mahasiswa melakukan sebuah gerakan Dalam rangka menyampaikan aspirasinya akan tetapi pihak kampus seakan tuli dan tidak mendengarkan apa yang di sampaikan oleh mahasiswa bahkan ada dari beberapa kampus yang melakuakan tindakan represif kepada mahsiswanya. Betul yang dikatakan oleh Soe Hok Gie :

“kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”

Di kutip Dari Kompas.tv (7/7/2020) “Menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim akan memberikan bantuan keringanan biaya kuliah tunggal atau UKT bagi mahasiswa. Kebiajakan ini di ambil untung meringankan biaya bagi orang tua mahasiswa yang mengeluhkan biaya kuliah agar di turunkan karena imbas dari wabah virus corona”.

Hingga kini waktu pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) akan segara berakhir untuk Perguruan Tinggi Negeri, namun belum ada bantuan yang datang. Maka dari itu pemerintah harus berpikir secara radikal sebelum membuat kebijakan.

Seharusnya untuk keringanan biaya kuliah harus di generalkan atau di samaratakan, mengapa? jika pemerintah mengatakan hanya terdampak mendapat keringanan, perekonomian orang semua terpukul akibat pandemi virus ini. Jangankan untuk membayar kuliah, untuk makan saja saat ini susah bagi orang tua mahasiswa yang perekonomiannya menengah kebawah.

 

Penulis: Indra Lesmana, mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.