Pencemaran Air dan Potret Sendu Ibu Pertiwi
Bukan menjadi rahasia lagi memang, jika sampah telah menjadi momok dan perkara yang sampai saat ini sulit menemukan titik terang. Lingkungan hidup yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup telah mempengaruhi perikehidupan serta kesejahteraan manusia juga makhluk hidup lain. Pencemaran lingkungan merupakan salah satu permasalahan yang patut dihadapi melihat perkembangan zaman yang semakin modern.
Pencemaran lingkungan adalah memasukkan makhluk hidup, zat energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan akibat kegiatan manusia dan proses alam. Pencemaran lingkungan bukan hal yang patut di-daifkan, tampak dari sekian-sekian jenis pencemaran lingkungan seperti water pollution menjadi perbincangan hangat setelah air pollution dan limbah medis, baik di dunia maupun di Indonesia.
Berbicara mengenai dunia, telah dilaporkan bahwa sejumlah relawan bekerja sama membersihkan Danau Uru-Uru di Ororo, Bolivia dari sampah plastik. Sangat terlihat potret sampah plastik di Negara Eropa Amerika itu tak dapat terhitung lagi. Sepanjang danau hanya tampak tumpukan plastik pada permukaan air yang mulai berbau. Tak hanya di Negara berpenduduk Euro, hal serupa pun terjadi di Priboj, Serbia. Lautan sampah di danau Potpecko terlihat menutupi seluruh bidang danau. Disebutkan alasan terjadinya musibah ini karena kebijakan lingkungan yang belum memadai.
Kebijakan lingkungan adalah salah satu perwujudan visi dan misi pemerintah bersama perusahaan-perusahaan yang merupakan alasan utama mengapa suatu kegiatan berdiri dan dijalankan. Dalam visi misi tersebut tentunya terdapat komitmen yang diharapkan senantiasa teguh dan utuh.
Kebijakan lingkungan suatu perusahaan tetap harus sejalan dengan ketetapan pemerintah, sebab akan sangat sulit untuk membayangkan terutama menyelenggarakan apabila antara satu kebijakan dan kebijakan lain saling bertolak belakang.
Di Indonesia, ada banyak sekali hal yang menyebabkan pencemaran air. Salah satunya karena ulah tangan manusia itu sendiri. Manusia melakukan kegiatan yang menjadi pencetus. Diantaranya, pembuangan limbah ke sungai ataupun laut tanpa melalui proses filtrasi, penebangan pohon, dan membuang sampah di sungai.
Limbah industri mempunyai pengertian segala bahan pencemar yang dihasilkan oleh aktivitas industri yang sering menghasilkan bahan berbahaya dan beracun (B3). Tahukah kita bahwa pembuangan limbah industri ke sungai maupun ke laut tanpa melakukan tahap filtrasi terlebih dahulu dapat memberikan dampak yang begitu fatal? Sistem filtrasi bertujuan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari dalam air.
Filtrasi digunakan untuk menyaring sisa material padat tersuspensi yang tidak terendapkan proses sedimentasi agar sisa padatan yang tersuspensi tersebut menghilang dan tidak meninggalkan sisa lagi. Namun sampai detik ini banyak dari sekian pemilik pabrik yang berlagak mendirikan pabrik besar tanpa memikirkan akhir dari pembuangan limbah. Sedangkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai anjuran membuang limbah industri dengan benar saat melakukan perizinan pembangunan pabrik di suatu wilayah.
Hal inilah yang sangat ingin saya tekankan sebelumnya, bahwa apabila kebijakan pemerintah dan perusahaan tidak sejalan, lantas bagaimana nasib lingkungan? Sepertinya egoisme itu memang digunakan sebagai senapan untuk membunuh satu demi satu ekosistem yang ada. Sebenarnya seberapa jauh kepedulian pemerintah terhadap masyarakat kecil yang bergantung pada lingkungan? Saya pikir itu semua tidak jauh berbeda dengan para koruptor yang kehilangan integritas berkat menekan hingga melahap hak rakyat diam-diam. Apa bedanya, keduanya sama-sama menginjak kalangan bawah.
Perhatikan para petani Bondowoso yang melakukan aksi protes pencemaran limbah pabrik hingga akhirnya polisi turun tangan untuk menyelesaikan perkara. Akibatnya, sebanyak 100 warga mayoritas para petani yang terdampak serta warga setempat sepakat melayangkan surat petisi. Keresahan tak hanya dirasakan para petani Bondowoso. Pemkab Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, juga telah laporkan adanya pencemaran limbah sludge oil di pulau Bintan kepada Kemenko Polhukam pada, Jumat 12 Februari 2021.
Sludge Oil adalah limbah lengket berwarna hitam, berbau dan memiliki tekstur mirip lumpur. Karenanya, Sludge oil sering disebut sebagai limbah lumpur minyak. Limbah itu digadang berasal dari perairan internasional dan bersumber dari aktivitas tank cleaning yang sengaja memanfaatkan arus ke wilayah pantai Indonesia sehingga Bupati Bintan ‘Apri Sujardi’ mengatakan masalah ini mendapat atensi langsung dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Mohammad Mahfud MD.
Tanpa mereka sadari, dalam limbah yang dibuang terdapat banyak zat yang akan mencemari air, sebut saja berbagai jenis zat anorganik seperti Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), hingga Arsen (As). Arsen notabene memiliki sifat yang tinggi toksik. Arsen sering digunakan sebagai racun tikus, apabila zat berbahaya ini dikonsumsi oleh manusia maka akan menimbulkan anoreksia kronis, mual, diare, konstipasi, iceterus, pendarahan pada ginjal hingga kanker kulit yang mengancam jiwa. Pada zat Kadmium (Cd) yang tak kalah tinggi toksik dan menimbulkan penyakit seperti gangguan gastrointestinal, hingga penyakit ginjal.
Sedangkan Timbal (Pb) biasanya digunakan untuk meningkatkan oktan dengan cara mencampurkannya dengan bensin. Penggunaan timbal awalnya digunakan sebagai konstituen di dalam cat dan materai. Dampak yang ditimbulkan dari keracunan timbal biasanya korban akan mengalami perasaan tersedak logam dalam mulut, garis hitam pada gusi, gangguan GI, anoreksia, muntah-muntah, klik, encephalitis. Pada tingkat keracunan berikutnya jika tidak ditangani segera mungkin dapat menyebabkan stupor, koma, sampai pada kematian.
Miris, bukan? Asian Development Bank (2008) pernah menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun. Biaya akibat pencemaran air ini sampai menyeret pembiayaan kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, hingga tingginya angka kematian bayi. Dampak lain yang tak kalah merugikan adalah terganggunya lingkungan hidup, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.
Kebijakan lingkungan tidak akan memiliki makna jika tidak dapat diwujudkan dalam praktek kerja sehari-hari melalui elemen-elemen lain dalam standar. Tidak ada gunanya karyawan sukses menghafalkan arti kebijakan lingkungan, visi dan misi perusahaan tetapi mereka sama sekali tidak mengenal bahaya Timbal, Arsen hingga asam sulfat sehingga dengan percaya dirinya bekerja tanpa sarung tangan, sama sekali tidak mengetahui tujuan dari pemilahan limbah sesuai berat dan jenisnya hingga semua jenis sampah dibuang di lokasi yang sama secara terus menerus tanpa henti.
Penulis: Rheina Yuliana B, mahasiswa Keperaawatan Universitas Negeri Sulawesi Barat, aktif Komunitas Bisa Menulis (KBM).