Thu, 19 Sep 2024
Esai / Kontributor / Dec 28, 2020

Pendidikan: Mencerdaskan Atau Memaksakan Kehidupan Bangsa?

Dari tapak tilas pendidikan yang memiliki segenggam harapan mulia, terangkat dari hamparan teks cita-cita bangsa Indonesia. UUD 1945 menyebutkan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentunya ini tidak hanya menjadi wasiat cita-cita sejarah yang diwartakan secara turun temurun, melainkan sebagai agenda baik pendidikan yang disematkan pada setiap generasi sebagai langkah optimal untuk mewijudkan patahan dari keseluruhan cita-cita bangsa Indonesia.

Penekanan pada kata "ing ngarso mangun tulodo, ing madyo mangun kurso, tut wuri handayani" adalah korelasi paripurna dengan spirit pendidikan yang senantiasa memadukan teladan, semangat bergagasan sampai pada pucuk cita bersama yakni "mencerdaskan kehidupan bangsa". Meskipun keinginan bersama itu sedikit menuai kesulitan, di tengah poros panjang pandemi Covid-19 maka sudah barang tentu segala intisari kebijakan terkait pendidikan tidak terlepas dari marwah pendidikan itu sendiri.

Meskipun langkah taktis berupaya dicoba oleh Pemerintah untuk tetap memaksimalkan dan mecegah adanya kekosongan di ruang pendidikan, diantaranya dengan menerapkan proses belajar mengajar dengan menggunakan via daring. Namun pada faktanya di lapangan masih terdapat beberapa kendala, diantaranya tidak semua orang mampu mengakses via android sebagai alat utama untuk mengikuti pelajaran, sulitnya mencerna pelajaran melalui daring dan masih banyak kendala lainnya yang mesti dipahami.

Eko Prasetyo dalam bukunya yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah mengatakan bahwa "hubungan antara ekonomi dan pendidikan selalu menarik untuk dikaji. Salah satu teori menyatakan bahwa jika tingkat ekonomi masyarakat tinggi maka tingkat kemampuan mereka untuk memperoleh atau lebih tepatnya membeli pendidikan menjadi tinggi". Hal yang demikian tentunya mampu disaksikan ditengah masa-masa sulit pandemi, belajar daring yang dianggap sebagai solusi justru menjadi bumerang bagi masyarakat yang tidak mampu menyediakan alat dalam proses belajar mengajar.

Kekhawatiran yang dimunculkan Eko Prasetyo dalam buku itu adalah karena dasar dari proses pendidikan berbiaya mahal maka sekeluarnya dari sekolah juga harus mampu mengembalikan modal yang telah digunakan untuk biaya sekolah. Akhirnya sekolah dinilai berdasarkan ekonomi, berdasarkan untung rugi. Hanya yang memiliki modal yang bisa mengecap sekolah dan yang tak memiliki modal hanya mampu menatapnya.

Suatu hal yang pasti ditengah pandemi Covid-19 ini yang tak kunjung berakhir, ketakutan di atas mewakili ketakutan kita semua. Ruang pendidikan tak lagi jadi taman pencerdasan, melainkan sebagai ruang untuk membentuk manusia pekerja yang seutuhnya. Disisi lain aspek etika dan moral sebagai pondasi dari konstruksi perkembangan peserta didik harus dikesampingkan.

Tak hanya itu segelumit permasalahan di dunia perkuliahan seakan membuat ironi pendidikan menjadi paripurna. Sebab permintaan keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di setiap Universitas di Indonesia terkhusus Universitas yang ada di bawah naungan kementrian agama justru hanya dianggap dogma-dogma yang tidak jelas dan mengancam oleh pimpinan universitas.

Menariknya dalam dunia pendidikan terlebih kepada tingkat sekolah dasar seorang pendidik seyogyanya menerapkan teori taksonomi yang beranggapan bahwa proses pendidikan dimulai dengan suatu pengetahuan yang sederhana dan tumbuh menjadi pengetahuan yang kompleks. Pada masa evaluasi ini, anak didik telah memiliki kemampuan untuk merefleksikan apa yang diajarkan padanya. Tetapi dengan via daring apakah ini memungkinkan untuk terealisasi?

Sangat perlu kiranya pemerintah mencari solusi yang solutif dalam dunia pendidikan. Segala upaya harus berdasar pada berbagai pertimbangan dan kajian mendalam terkait bias dari kebijakan tersebut. Lalu mengapa pemerintah tidak melaksanakan pendidikan secara langsung (bertatap muka) dengan tetap berasas pada protokol kesehatan yang ditetapkan dengan memaksimalkan jumlah tenaga pendidik yang ada?

Bukankah dengan diterapkannya protokol kesehatan di lingkungan sekolah, seperti membiasakan cuci tangan sebelum masuk ruangan, menggunakan masker dan menjaga kebersihan. Jika kita mencermati justru hal ini menjadi nilai edukatif untuk meningkatkan kedisiplinan dan membiasakan hidup sehat peserta didik bukan?

 

Penulis: Muhammad Kasim, pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Takalar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.