Thu, 12 Dec 2024
Esai / Askar Nur / Dec 29, 2020

Perihal Asmara Manusia, Manis di Awal Pahit di Akhir?

“Sudahlah, semua laki-laki memang begitu. Awalnya manis tapi ujung-ujungnya menyisakan pahit. Laki-laki sebelumnya pun pernah mengutarakan hal yang sama, akan selalu setia beserta bujuk rayuan lainnya namun akhirnya berpisah juga dan menyakiti. Kau pun nantinya pasti akan begitu meski hari ini mengatakan tidak, ke depannya kita tidak tahu-menahu”.

Sekilas dari percakapannya yang tidak sengaja disaring oleh telinga saya yang beberapa bulan terakhir sangat sensitif, was-was dan jeli menangkap setiap suara, seorang perempuan – yang kalau boleh diprediksi kisaran umurnya berada pada angka 20-21 tahun yang memang memiliki tingkat sensitifitas di atas rata-rata bahkan angin yang menerbangkan ujung jilbabnya pun mampu membuatnya badmood – telah berbicara via telpon dengan seorang laki-laki yang tengah pendekatan atau bahkan mengutarakan isi hatinya namun ditolak dengan alasan pengalaman masa lalu.

Dari jauh, nampak perempuan tersebut duduk di bangku yang terletak di pojok Cafetaria kampus sembari memesan minuman dingin di salah satu kantin, namanya Kantin Ceria. Sebuah kantin yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa dan mahasiswi yang rawan tertimpa kegalauan, entah galau karena cinta atau karena tugas akhir kuliah yang tak kunjung terselesaikan, dengan varian nama menu yang juga unik mulai dari es jeruk peras dengan air mata yang terkuras sampai jus mangga penangkal bucin.

Kantin tersebut selalu ramai pengunjung setiap harinya. Kantin yang memang seakan-akan dimodifikasi sebagai ruang bagi mereka yang tak tahan hidup di era ketidakpastian dan para korban peristiwa masa lalu, seperti perempuan yang sedang diperbincangkan dalam tulisan ini. Perempuan yang mengutuk peristiwa masa lalunya dan membawanya di masa sekarang sebagai sebuah cerminan hingga menganggap segala bujuk-rayuan para lelaki yang mendekatinya saat ini adalah non sense, hanyalah kebohongan semata.

Alain Badiou, seorang Filsuf Perancis, dalam dua novelnya, Almagester (1964) dan Portulans (1967), mengemukakan bahwa sebuah peristiwa yang pernah menimpa manusia akan selalu terbawa dan bersarang dalam pikiran dan hati manusia tersebut hingga membentuk pola kehidupan baru dan kebenaran. Singkatnya, peristiwalah yang membentuk pola dan kehidupan manusia.

Peristiwa masa lalu yang pahit khususnya dalam hal kegagalan hubungan asmara seperti yang pernah dialami oleh perempuan yang diceritakan di atas merupakan perkara yang membentuk stigma dalam benaknya dan menciptakan pembenaran bahwa tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan menimpanya kembali, hubungan cinta yang kandas, sehingga ia memutuskan untuk tidak menjalin hubungan spesial lagi dengan seorang laki-laki dengan alasan yang marak kita dengarkan bersama, yakni “semua laki-laki sama, sama-sama hobi menyakiti”.

Kendati demikian, Badiou melanjutkan bahwa meskipun peristiwa masa lalu membentuk pola pikir dan tindakan kita di masa sekarang namun sebuah keharusan untuk tetap melakukan penelaahan kembali terkait kebenaran akan peristiwa tersebut. Sebagai contoh narasi Anti-Komunisme dalam benak masyarakat Indonesia saat ini.

Berangkat dari peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal yang disinyalir bahwa PKI sebagai dalang dari peristiwa tersebut sehingga memantik terjadinya tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, sekitar 78.000 sampai jutaan orang meninggal dunia baik anggota PKI maupun simpatisannya (dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 oleh Wijaya Herlambang). Dari peristiwa itulah lahir wacana anti-komunisme hingga sekarang yang juga didukung kuat oleh beberapa produk-produk budaya seperti novel dan film Penghianatan G30S/PKI.

Namun banyak pula yang menolak PKI sebagai dalang dari pembunuhan tujuh jenderal tersebut. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa karya sastra, seperti novel September karya Noorca Massardi, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa dan lain sebagainya. September merupakan novel pertama yang secara terperinci menolak PKI sebagai dalang dari pembunuhan tujuh jenderal dan menjungkirbalik narasi utaman Orde Baru yang Anti-Komunisme.

Pada dasarnya, peristiwalah yang membentuk kita namun perlu penggalian kebenaran di dalamnya sebelum sampai pada proses penarikan kesimpulan. Sama halnya pula dengan cerita perempuan di atas yang seakan-akan menarik sebuah kesimpulan bahwa semua laki-laki akan menciptakan rasa sakit pada perempuan di akhir sebuah hubungan asmara melalui seperangkat peristiwa masa lalunya.

Dewasa ini, fenomena dari kisah percintaan masa lalu yang suram telah menjadi ukuran dasar mayoritas generasi muda baik laki-laki maupun perempuan dalam menjalani hubungan asmara yang baru. Tak ayal, kebanyakan lebih memilih untuk tidak menjalani hubungan asmara dengan orang baru. Mereka bukanlah para pengidap Xenophobia (orang yang tidak nyaman dengan sesuatu yang berbau asing), namun mereka takut dan trauma dengan kisah masa lalunya masing-masing. Dari beberapa peristiwa masa lalu yang pernah terjadi membawa mereka pada fase trauma akut untuk menjalani hubungan asmara yang baru. Mereka menggeneralkan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan bahwa semuanya sama dan pada akhirnya akan menggoreskan luka dan sakit hati.

Senada dengan itu, seorang antropolog sekaligus sosiolog Perancis, Pierre-Felix Bourdieu, menamai fenomena tersebut sebagai reproduksi budaya. Melalui konsepnya tentang habitus dan arena serta hubungan dialektis keduanya, Bourdieu mendefinisikan reproduksi budaya sebagai bertemunya antara budaya lama dengan budaya baru yang berbeda satu sama lain dan saling mempengaruhi sehingga timbul kebudayaan baru yang mengandung dua unsur kebudayaan tersebut.

Jika analisa Bourdieu tentang reproduksi budaya dikaitkan dengan narasi bahwa semua laki-laki atau perempuan sama-sama akan menyakiti di kemudian hari yang diwacanakan oleh subjek baik dari pihak perempuan maupun laki-laki maka akan menghasilkan kebudayaan baru, yakni laki-laki atau perempuan yang antipati terhadap hubungan asmara. Sikap antipati terhadap hubungan asmara merupakan budaya baru yang lahir dari proses pertemuan budaya lama (pacaran) dan budaya baru (trauma pacaran).

Secara sekilas, hal demikian merupakan kewajaran namun bukanlah sebuah keharusan yang kiranya terus tereproduksi karena secara tidak langsung hal demikian akan menggeser nilai dari proses pertemuan dua insan yang memiliki cinta. Pertemuan dua cinta dalam sebuah hubungan akan mendewasakan keduanya dan sekitarnya. Betapa tidak, hubungan cinta yang nyata adalah hubungan yang dialektis dari pertemuan dua hati yang saling menanggalkan ego kapitalis masing-masing serta menjadikan hubungan percintaan sebagai ruang diskusi untuk memecahkan setiap masalah yang terjadi di sekelilingnya.

Sebuah film Indonesia terbaru “Cinta Itu Buta” yang resmi dirilis oktober lalu, bergenre komedi romantis, garapan sutradara Rachmania Arunita yang diadaptasi dari film asal Filipina dengan judul “Kita-Kita”. Sebuah film yang berlatar tempat di Korea Selatan, dibintangi Dodit Mulyanto sebagai Nik dan Shandy Aulia sebagai Diah.

Alur ceritanya tidak jauh beda dengan fenomena trauma yang dialami mayoritas generasi muda saat ini. Nik sebelum menjalani hubungan dengan Diah, ia menelan pil pahit dalam hubungannya dengan kekasihnya. Ia menyaksikan perselingkuhan kekasihnya dengan temannya sendiri sehingga ia memutuskan mengakhiri hubungannya.

Singkat cerita, Diah adalah perempuan Indonesia yang menjalani hubungan dengan seorang laki-laki asli Korea. Diah sangat mencintai laki-laki tersebut dan mereka akan segera menikah. Namun tanpa sepengetahuan Diah, laki-lakinya selingkuh dengan temannya sendiri mirip dengan kisah cinta Nik.

Karena Nik merasa berutang budi sama Diah yang selalu membawakannya makanan dan juga tidak ingin Diah merasakan apa yang ia pernah alami. Akhirnya, Nik diam-diam merencanakan untuk membongkar perselingkuhan kekasih Diah dengan memberi alamat tempat di mana kekasih Diah akan bertemu dengan selingkuhannya.

Diah pun akhirnya menyaksikan perselingkuhan kekasihnya. Dengan perasaan sangat hancur, ia pergi meninggalkan kekasihnya dan di tengah perjalanan Diah jatuh dan pingsan. Setelah sadar, Diah tak mampu lagi melihat keindahan Korea Selatan, ia buta. Kemudian Nik membawakan makanan Diah setiap hari sama halnya yang pernah dilakukan Diah padanya.

Waktu demi waktu berlalu, Nik dan Diah akhirnya bersama. Meskipun Diah buta tapi Nik tetap mencintainya. Buta yang diderita Diah hanyalah sementara, ia akan sembuh jika tidak mengalami depresi dan stres. Diah akhirnya mampu melihat lagi namun sayangnya ia tidak dapat melihat lagi Nik yang kecelakaan di malam saat Diah dapat melihat.

Melalui beberapa petunjuk yang ditinggalkan Nik, akhirnya Diah mengetahui siapa Nik sebenarnya dan kenapa ia memutuskan untuk merawatnya selama ini. Nik adalah gembel yang selalu tidur di depan rumah Diah dan Nik tidak mau Diah mengalami kisah cinta yang pernah ia alami sehingga memutuskan untuk membongkar perselingkuhan kekasih Diah dengan temannya sendiri. Nik mencintai Diah.

Dari segenap peristiwa di atas khususnya dalam film “Cinta Itu Buta”, mengisyaratkan pesan kepada para generasi antipati pada hubungan asmara atau pengidap trauma kisah cinta masa lalu untuk segera mengakhiri stigma anti-pacarannya dan bersama-sama menyelamatkan para generasi yang dilanda trauma masa lalu serta mengembalikan ihwal ultim dalam sebuah hubungan asmara sebagai ruang dialektika untuk saling membebaskan dan mendewasakan. Yang harus hadir adalah hubungan asmara yang menciptakan kebiasaan yang benar bukan membenarkan yang biasa.



Penulis: Askar Nur, Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.