Thu, 12 Dec 2024
Esai / Ita Rosita / Jan 09, 2022

Permendikbud PPKS: Angin Segar Untuk Kita Semua

Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu mutakhir kali ini, bagaimana tidak hasil terbitan catahu Komnas Perempuan 2021, sebanyak 299. 911 kasus kekerasan terhadap perempuan secara umum sepanjang tahun 2020 dan khususnya kasus kekerasan seksual bagaikan bak gunung Es.

Olehnya itu, Para kaum feminis bergerak berbagai versi dalam memperjuangkan penanganan dan pencegahan kekerasan tersebut, sebab kekerasan seksual bagian dari bentuk ketidakadilan gender. Perlu dipahami bahwa kekerasan seksual ini bukan hanya terjadi bagi perempuan atau yang jadi korban hanya perempuan, laki-laki dan genderqueer juga jadi sasaran korban kekerasan seksual.

Akhir tahun 2021, dengan diluncurkan secara resmi di bulan November kemarin terkait peraturan menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di lingkungan perguruan tinggi. Tentunya, sebuah angina segar bagi para korban kekerasan seksual dan aktivis anti kekerasan seksual di Indonesia yang mendorong sebuah keadilan bagi korban kekerasan seksual. 

Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Sesuai determinasi umum bahwa KS (kekerasan seksual) yang dimaksud adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa yang dapat berakibat penderitaan psikis atau fisik termasuk  mengganggu kesehatan reproduksi seseorang.

Hasil survei Kemendikbud Ristek pada tahun 2019 bahwa lingkup kampus menjadi urutan ketiga insiden tindak kekerasan dan di tahun berikutnya survei Ditjen Dikti Ristek 2020 melaporkan 77% dosen menyampaikan kasus kekerasan seksual pernah terjadi di area kampus dan 63% kasus yang tidak terlaporkan.

Selama ini sudah berlimpahnya kasus KS yang terjadi di Kampus, baik itu negeri maupun swasta, satu demi satu terungkap. Namun, perkara tersebut hanya dibiarkan begitu saja dan kampus tidak menangani dengan beres atau dengan kata lain “tersembunyi di bawah karpet” demi nama baik kampus.

Seperti halnya perkara pelecehan seksual yang baru terjadi di Universitas Riau, yakni seorang pimpinan fakultas yang melakukan pelecehan terhadap mahasiswi yang merupakan anak bimbingan skripsi si pelaku. Juga kasus Begal Payudara di sekitaran pemukiman kampus UIN Alauddin Makassar yang sampai sekarang menjadi tempat rawan KS dan makin hari korban makin meluap, tapi hal ini belum ditangani secara tuntas oleh pihak birokrat. Ditambah lagi dengan beberapa kasus di kampus lain, yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Selain itu, masih banyak korban KS di lingkup Kampus yang tidak speak up, karena adanya rasa malu dan takut terjadinya victim blaming atau menyalahkan korban. Sebab lahirnya relasi kuasa yang timpang serta stereotip terhadap korban, juga paling penting tidak adanya payung hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual sebelumnya di Kampus yang berpihak melindungi si korban. Bahkan yang telah melapor sebelumnya sering terjadi ancaman bahkan dibunuh masa depannya akibat relasi kuasa yang bermain.

Multitafsir Terkait ‘Consent’

 “Permen PPKS ini melegalkan perzinahan dan seks bebas, sama sekali tidak melibatkan dengan norma agama” kalimat yang disampaikan oleh kelompok atau ormas yang kontra terhadapisi permen tersebut. Terkhusus pada pasal 1 ayat 1 tentang pengertian kekerasan seksual dan pasal 5 ayat 2 tentang persetujuan korban atau disebut dengan consent yang menurutnya sangat mengabaikan norma agama secara umum.

Terkait consent merupakan titik fokus dalam memahami kekerasan seksual. Seseorang tak akan bisa mengetahui dan memahami kasus kekerasan seksual terjadi tanpa adanya consent atau persetujuan korban. Adanya izin atau tidaknya korban, sebagai penilaian penting yang bisa membedakan bahwa tindakan tersebut masuk kategori kekerasan seksual atau tidak.

Consent dianggap sebagai lampu hijau untuk melanggengkan seks bebas, padahal consent dalam hubungan seksual adalah komunikasi kedua belah pihak yang terus berlanjut. Misalnya, Mahasiswa A boleh memegang tangan Mahasiswi B tapi tidak dengan yang lain atau lebih dari itu.

Kemudian persetujuan tersebut belum tentu berlaku di kemudian hari dan seseorang tidak bisa diklaim bahwa ketika melakukan aktivitas seksual dengan Mahasiswi B, akan mengundang reaksi si C-Z (orang lain) untuk bertindak hal yang sama. Consent juga mengajarkan kita untuk menolak seks, memandu kita untuk memahami rambu lampu kuning (Careful) & lampu merah (stop) dalam berhubungan seksual.

Kemudian perzinahan dan kekerasan seksual adalah perbuatan dua hal yang berbeda. Perbuatan perzinahan membutuhkan bukti yang terperinci sedangkan kekerasan seksual memiliki berbagai macam bentuk dan fokus untuk melindungi kelompok yang rentan, termasuk kelompok disabilitas.

Norma agama yang kita kenal sangat mengagungkan budaya etika, sangat mengajarkan bagaimana seseorang menghormati hak asasi manusia dan persoalan consent adalah bagian dari hal itu. Lagian terkait ketidakadilan bagi korban kekerasan seksual adalah bagian ketimpangan dalam ajaran agama, yang mesti ditangani secara baik dan adil sesuai dengan permen tersebut. Sebab permen ini adalah gerakkan kemanusiaan dan itu bagian besar dari norma agama.

Poin Penting Permendikbud PPKS

Betapa pentingnya memahami dan menjalankan permen ini, perguruan tinggi wajib mengadakan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pemulihan korban dan pengenaan sanksi administratif. Sebagaimana yang tercantum dalam regulasi tesebut pada Bab III tentang Penanganan KS.

Kemudian pengadaan Satuan Tugas pencegahan dan penanganan KS pada Bab IV, yang bertugas untuk mensurvei, menindaklanjuti, memantau dan membantu perkara tersebut dalam kampus serta mensosialisasikan pendidikan kesetaraan gender dan tata cara pencegahan KS kepada warga kampus. Terkait mekanisme penanganan oleh SATGAS juga telah diatur pada aturan Bab setelahnya yaitu bab V, dan pembentukan satgas serta pembuatan SOP PPKS harus melibatkan mahasiswa.

Selain itu, dalam menekel KS tentunya saksi adalah orang yang paling berperan penting, namun selama ini banyak yang tidak berani untuk mendampingi korbankarena rasa ketakutan dan tiadanya jaminan perlindungan. Tapi dalam permendikbud PPKS, Hak Saksi telah diatur untuk mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas dan meminta perlindungan, tepatnya pada pasal 53 pada ayat 2.  

Menghadapi perkara terjadinya relasi kuasa yang timpang dalam kampus, hingga sampai korban tidak diadili sebagaimana mestinya, pun telah diatur dalam Bab VI tentang pemeriksaan ulang kasus kekerasan seksual. Pemeriksaan ulang dilakukan langsung oleh kanal kementerian dirjen perguruan tinggi.

Setiap kebijakan yang dikeluarkan, jelas selalu menuai pro kontra, merupakan sebuah hal yang alamiah dan lumrah. Namun yang perlu jadi vocal point kali ini adalah korban kekerasan seksual dan membuat metode agar tidak terjadi keberulangan secara terus menerus. Karena satu pelaku yang terlindungi dan membiarkan berkeliaran maka akan melahirkan banyak korban terus menerus.

Lalu, bagaimana dengan banyak pelaku? Tentu hal yang tidak bisa dibayangkan kejadian-kejadian yang tak senonoh selanjutnya atau nanti. 

Hasil catatan komnas perempuan sebanyak 27% yang tercatat selama 2015-2020 kasus kekerasan seksual dalam ranah kampus. Lalu bagaimana dengan yang telah terjadi namun belum tercatat? Tidak ada laporan bukan berarti tak ada kejadian. Tentunya menegakkan dan menjalankan regulasi adalah jalan yang paling ampuh untuk keamanan warga yang ada di lingkungan perguruan tinggi.

 
 
Penulis: Ita Rositaaktif sebagai pengurus KOHATI Komisariat Ushuluddin Filsafat dan Politik Cabang Gowa Raya. Dapat dihubungi melalui instagram @iitarositaa.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.