Tue, 21 May 2024
Esai / May 11, 2021

Polemik Skema Impor Pada Persaingan Bebas

Diberitakan, serbuan daging ayam impor dari Brasil membayangi para peternak dan konsumen di dalam negeri. Bahkan tak hanya Brasil, melainkan sekitar 14 negara juga sudah siap ikut mengekspor ke Indonesia. Hal ini bukan karena Indonesia kekurangan stok di dalam negeri, melainkan ada kewajiban dari Indonesia untuk memenuhi tuntutan setelah kalah gugatan dari Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Perang dagang ayam antara Brasil dan Indonesia memang bukanlah kisah baru. Tahun 2014, Brasil pernah mengadukan Indonesia ke WTO karena dianggap menghambat masuknya produk daging ayam beku dan olahan ke dalam negeri. Polemik ini berulang selama bertahun-tahun, hingga 2018 Indonesia akhirnya mengubah ketentuan impornya yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 65 Tahun 2018 tentang ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan produk Hewan serta peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2018 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan olahannya ke dalam Wilayah NKRI.

Sayangnya, Brasil tetap belum menunjukan rasa puas dengan perlakuan Indonesia. Sehingga pada Juni 2020, Negeri samba itu kembali mengatakan bahwa Indonesia masih menghalang-halangi ekspor daging ayamnya ke Indonesia dengan menunda sertifikasi kebersihan dan produk halal. Akibatnya, mau tidak mau kekalahan Indonesia di WTO membuatnya harus membuka peluang pada ayam ayam Brasil untuk menari-menari di pasar dalam negeri.

Padahal, Indonesia sendiri sudah berada dalam 10 besar negara yang menghasilkan ayam broiler terbesar di dunia. Untuk penghasilan setiap tahunnya, Indonesia memproduksi 107 juta ton ayam dan hampir dua persen ayam broiler di dunia dihasilkan di Indonesia (Tempo.co, 4/05/2021).

Rudi Afnan, Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan mengatakan, Brasil sendiri berada pada urutan ketiga dunia. Tetapi karena produksi yang meroket maka ekspor ke Indonesia dengan harga yang lebih murah menjadi pilihan. Kira-kira berkisar Rp 14 ribu/ kilogram.

Tentu saja, hal ini mengembuskan kecemasan pada peternak lokal, sebab harga ayam lokal mencapai Rp 30-40 ribu per kilogramnya. Ini pun diakibatkan harga pakan yang cukup mahal dalam negeri. Namun asal tahu saja, persoalan pakan ternak pun memiliki polemik tersendiri.

Pemilik produsen-produsen besar produk ternak dikuasai oleh korporasi besar, yang berasal dari negara asing. Tak heran bila harganya cukup mahal, yang kemudian berakibat pada naiknya harga ayam para petani lokal. Sehingga, petani lokal makin terbebani, ditambah skema impor paksa yang akan datang dari Brasil.

Hal ini membuktikan, betapa skema impor begitu mudah dipermainkan dalam persaingan bebas. Indonesia yang seharusnya tak perlu impor bila kapasitas daging ayam masih cukup di dalam negeri, menjadi tak dapat terealisasi. Sebab, kebijakan ini tentu akan kalah bila di hadapkan pada badan perdagangan dunia yang notabene berkeinginan membuka pasar seluas-luasnya. Wajar, yang menguasai perdagangan dunia saat ini adalah mereka para kapital, para pemodal.

Negara adidaya seperti Amerika Serikat memberi andil besar dalam perdagangan. Dengan kekuatannya, ia tentu mampu mengalahkan lawan, lawan pun bertekuk lutut di hadapannya. Wajar, Indonesia yang hanya negara berkembang, mau tak mau harus kalah di hadapan badan dunia yang notabene dikuasai oleh negara adidaya. Para kapital yang berperan besar dalam badan perdagangan tentu akan melancarkan kebijakan yang dianggap melanggengkan hegemoninya.

Untuk melepaskan diri dari jebakan dan ikatan bersama badan perdagangan dunia yang dikuasai oleh para kapital, tentu membutuhkan keberanian besar. Mampukah dan beranikah Indonesia mengambil langkah demikian? Belum tentu, sebab boikot perdagangan menjadi ancaman.

Di dalam negara Islam, hal kerja sama perdagangan bebas diputuskan secara tegas. Dengan aturan yang tegas dalam memilih bersama siapa hendak melakukan kerja sama, tentu akan memberikan dampak yang besar. Negara dengan mabda Islam akan membedakan kerja samanya dengan negara kafir yang memusuhi Islam, dan negara yang kafir namun tak memusuhi Islam.

Untuk kerja sama dengan kafir yang memusuhi Islam, tentu diharamkan, sementara dengan yang tak memusuhi Islam meskipun kafir, tetap diperbolehkan. Sehingga keputusan kerja sama tetap diambil tanpa melibatkan campur tangan negara negara lain.

Persoalan impor juga tak sembarangan. Apabila dibutuhkan, tentu negara akan mengadakan impor, namun bila tidak, tentu saja impor tak perlu dilakukan. Keputusan yang tegas seperti ini, hanya dapat diambil oleh negara yang tegas dan berdikari.

Penguasa yang memiliki persepsi tentang kepemimpinan yang berbeda, yang tak bercampur dengan nafsu menguasai harta, akan mengadakan pelayanan prima pada kebutuhan dasar masyarakatnya. Termasuk urusan pada sektor peternakan. Bukan menghitung untung rugi dan kerja sama bersama pihak lain namun merugikan umat.

Tidak rindukah kita dengan gambaran pemimpin dan sistemnya yang sempurna? Seperti yang pernah terjadi pada pemimpin pemimpin muslim abad keemasan Islam? Hanya dengan perjuangan mengembalikan ideologi Islam untuk memimpin dunia, segala ketimpangan dan ketidakadilan ini akan berakhir. Sebab terbukti sudah, ideologi selain Islam sampai hari ini terus mengulang masalah yang ada dan menyengsarakan sebagian rakyat tak mampu.

Wallahu a'lam.

 

Penulis: Arinda Nurul Widyaningrum, Aktivis & Co-Founder @keranjangkritik_

Tranding

Puisi / 05 21, 2024
Di Perjamuan Lain
Puisi / 05 21, 2024
Kususuri Kenangan
Puisi / 05 21, 2024
Sepotong Puisi

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.