Puasa, Efisiensi Anggaran dan Diet Ekstrem
Efisiensi anggaran menyita perhatian publik akhir-akhir ini. Kebijakan tersebut menuai beragam respons, ada yang mendukung dengan optimisme yang menggebu, tapi ada juga yang menolak dengan pesimisme, kekhawatiran, kecurigaan dan koreksi atas kebijakan tersebut. Artikel ini memotretnya dari dua perspektif atau sudut pandang: diet ekstrem dan puasa Ramadan.
EfisiensI sebagai Diet Ektrem?
Hari-hari ini kita menyaksikan sebuah fenomena diet ekstrem yang semakin marak di kalangan masyarakat, terutama di era media sosial dengan godaan tren gaya hidup sehat dan estetika tubuh ideal.
Banyak orang, terutama anak muda, terpengaruh oleh standar kecantikan dan kebugaran yang tidak realistis dan tergila-gila untuk menurunkan berat badan dengan cara-cara instan bahkan ekstrem tersebut.
Akibatnya, berbagai metode diet ekstrem bermunculan, seperti diet sangat rendah kalori, diet tanpa karbohidrat, puasa berkepanjangan tanpa bimbingan medis, hingga konsumsi suplemen atau obat diet tanpa resep dokter.
Meskipun tujuan awalnya baik, yaitu untuk mendapatkan tubuh yang proporsional dan bentuk tubuh yang lebih ideal, tapi karena metode diet yang tidak seimbang ini justru berakibat pada memburuknya kondisi kesehatan orang tersebut, baik secara fisik maupun mental.
Dampak negatif dari diet ekstrem bisa sangat beragam, mulai dari gangguan metabolisme, kekurangan nutrisi, gangguan hormon, hingga masalah psikologis seperti gangguan makan (eating disorder). Banyak orang yang menjalani diet ketat mengalami efek samping seperti kelelahan, mudah sakit, rambut rontok, bahkan dalam kasus yang lebih parah, bisa berujung pada anoreksia atau bulimia.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa pola makan yang terlalu ketat justru dapat memperlambat metabolisme tubuh, sehingga setelah berhenti berdiet, berat badan lebih mudah naik kembali (efek yoyo). Alih-alih mendapatkan tubuh yang sehat, diet ekstrem justru bisa menimbulkan masalah kesehatan yang lebih serius dalam jangka panjang.
Diet ekstrem ini bisa menjadi ilustrasi dalam memahami kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah. Jangan-jangan kebijakan efisiensi ini lebih menyerupai diet ekstrem daripada puasa. Bila ini benar, kita patut khawatir, ada dampak buruk, baik jangka pendek maupun jangka panjang yang menanti di depan.
Sebab diet ekstrem sebagaimana diungkapkan di atas selalu membawa dampak buruk bawaan, yang merusak sistem kesehatan tubuh, atau dalam konteks negara, merusak kesehatan tubuh negara itu sendiri.
Puasa dan Efisiensi bukan Diet Ekstrem
Puasa ramadan adalah momentum reflektif, bukan semata pada aspek transendental (relasi ke Tuhan) tetapi juga dalam sikap ekonomi dan kebijakan publik (relasi sosial kemanusiaan).
Dalam puasa, kita belajar menahan diri, mengelola kebutuhan dan menjalani hidup lebih efisien tanpa berlebihan. Prinsip yang sebetulnya juga dapat diterapkan dalam konteks kebijakan efisiensi anggaran di pemerintahan Prabowo ke depan.
Sejak awal wacana efisiensi digulirkan, meskipun ada pro dan kontra, tetapi ada harapan agar pemerintahan baru mampu mengelola anggaran dengan lebih baik, mengurangi pemborosan, kebocoran anggaran, dan memastikan alokasi yang lebih tepat sasaran.
Namun, ada kekhawatiran bahwa efisiensi yang dilakukan justru ugal-ugalan, dan tidak terencana dengan baik—seperti orang yang melakukan diet ekstrem tanpa strategi jangka panjang, yang berujung pada masalah baru.
Puasa ramadan mesti dipahami bukan sekadar menahan lapar, haus, dan nafsu seksualitas, tetapi juga soal membangun keseimbangan. Misalnya saat berpuasa kita tetap diwajibkan menjaga asupan gizi saat sahur dan berbuka agar tubuh tetap sehat.
Dalam konteks kebijakan, efisiensi anggaran juga dapat dijalankan dengan prinsip yang sama—pengurangan harus dilakukan tanpa mengorbankan fungsi utama negara dalam melayani rakyat.
Jangan sampai pemangkasan anggaran dilakukan secara membabi buta hingga berdampak pada sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Efisiensi bukan berarti sekadar mengurangi belanja, tetapi memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memiliki dampak maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan Prabowo harus belajar dari kebijakan efisiensi sebelumnya yang terkadang malah menimbulkan problem ketimpangan, misalnya di Yunani dan Inggris 2010 an, atau di Brasil tahun 2019 yang lalu.
Alih-alih hanya mengurangi pengeluaran, pemerintah harus membangun sistem anggaran yang lebih transparan, akuntabel dan berbasis kebutuhan kongkret.
Jika puasa mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam mengatur pola konsumsi, maka kebijakan anggaran seharusnya juga berjalan dalam logika yang sama: berhemat tanpa mengorbankan hal-hal esensial.
Dalam jangka panjang, efisiensi yang terencana dan berkelanjutan akan lebih bermanfaat daripada pemangkasan drastis yang justru bisa menimbulkan dampak buruk.
Ramadan mengajarkan kita untuk bersikap seimbang dan tidak berlebih-lebihan dalam segala hal—dan prinsip ini seharusnya menjadi pijakan dalam setiap kebijakan publik, termasuk dalam pengelolaan anggaran negara.
Pemerintahan yang efisien bukanlah pemerintahan yang sekadar mengurangi anggaran, tetapi yang mampu memastikan setiap anggaran digunakan secara efektif untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa, sebagaimana berpuasa.
Jangan sampai kebijakan efisiensi justru menjadi diet ekstrem yang hanya mengurangi beban jangka pendek, tetapi merusak kesehatan ekonomi negara dalam jangka panjang.
Penulis: M. Yunasri Ridhoh, Dosen FEB UNM.